Oleh: Ramdan Nugraha
Saya ingin memulai dengan sebuah ungkapan berdasarkan
olah kata pemikiran dan keterlibatan nilai-nilai tulus dari hati; “kebenaran absolut hanyalah milik Sang
Pencipta yaitu ALLAH SWT”. ketika kata-kata tersebut terungkap setelah
selesai melewati proses interpretasi yang menjadi premis dari berbagai input
baik yang jelas atau abstrak, semua bersatu dalam muara akhir untuk kesadaran yang
klimaks bahwa: “nilai kebenaran kehidupan
tidaklah absolut bila dilihat dari sudut pandang interpretasi manusia, semua
tetap berada dalam track penafsiran dengan kadar yang berbeda-beda dan patut
untuk dihargai dan dihormati kendati memiliki tingkat pandangan kebenaran yang
keliru dari masyarakat mayoritas atau dominan.”
Berdasarkan uraian singkat diatas, tulisan ini akan
dibawa ke dalam ranah analitis terkait fenomena “jastifikasi kebenaran
absolut” yang telah dimulai puluhan bahkan ratusan tahun lalu hingga kini
dan mulai banyak di anut oleh banyak kalangan sebagai suatu gerakan pemikiran
yang diyakini benar dan bergerak secara dominan. Saya akan membatasi fenomena
pandangan kebenaran absolut yang terjadi di Indonesia. Saya akan memulai dengan
isu gerakan militan kelompok Islam ekstrimis pasca kemerdekaan Republik
Indonesia yang sudah dimulai secara militan jauh sebelum diproklamirkannya
kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Nama kelompok
tersebut adalah Darul Islam (DI)
yang diprakarsai oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo yang kemudian secara utuh diproklamirkan pada tahun
1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya ( Jawa Barat. Pasukan perang dari DI ini dinamakan Tentara
Islam Indonesia (TII) Gerakan ini didasari oleh nilai perjuangan untuk
mendirikan negara Islam Indonesia dan menentang ideologi pancasila sebagai
haluan negara. Ideologi selain Syari’ah Islam dinilai haram dan pengikutnya
dianggap pembangkang Islam (kafir).
Kemudian pada tanggal 1 Juli 1972, berdiri suatu kelompok
baru bernama Lembaga Karyawan Dakwah Islam (LEMKARI) di
Surabaya, Jawa timur, atas arahan Pangdam VIII Brawijaya, Mayjen TNI Wijoyo
Suyono. Kelompok ini bergerak dengan interpretasi mandiri terkait nilai-nilai
syari’ah Islam. Namun, keyakinan interpretasi golongan ini yang begitu kuat
memberi keyakinan terhadap para pengikutnya bahwa golongan atau ajaran
yang mereka anut adalah secara absolut yang
paling benar. Sebagai konsekwensinya, mereka menganggap bahwa organisasi Islam
lain yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka adalah sesat atau
menyimpang. Maka dikenalah golongan ini sebagai golongan eksklusif bahkan
tempat ibadahnya saja pantang disinggahi oleh kelompok diluar kelompok mereka
karena dianggap membawa najis dan harus dibersihkan. Namun, pada tahun 1990
setelah kelompok ini diperingatkan oleh Majelis Ulama Indonesia, mereka
menyatakan diri bertaubat dan ingin merubah pola pikir dan pandangan
ke-Islamannya kembali kepada jalan yang secara umum disetujui di Indonesia. Ada
jumlah jemaah yang tidak sedikit keluar dan meninggalkan LDII, mereka
mendirikan counter movement untuk
memberi kesaksian terkait apa yang mereka alami baik dalam interaksi sosial
ataupun ajaran dan nilai-nilai ke-Islaman yang mereka terima. Namun, jemaah
yang masih setia bergabung di LDII mengecam semua bentuk pemberitaan dan mereka
menganggap itu semua fitnah dari pihak-pihak yang telah murtad. Begitulah permasalahan
yang timbul dari kelompok Islam yang satu ini.
Dan kelompok terbaru yang menunjukan militansinya di
Indonesia adalah kelompok yang pemikirannya lahir dari timur tengah (Yordania)
dan mereka bergerak dalam ranah politik. Nama kelompok yang diprakarsai oleh
kaum intelektual fundamentalis ini adalah (hizb
al-tahrir al-islami) atau sekarang lebih dikenal dengan nama Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyyuddin
An Nabhani (1905-1978) pada tahun 1952 di Al Quds berdasarkan aqidah
Islam yang mempunyai makna partai
pembebasan. Mereka berasumsi bahwa syari’ah dan khilafah yang pada zaman
sahabat rasulullah pernah dibangun selama puluhan tahun hingga akhirnya tumbang
disebabkan konspirasi politik besar kompetitornya baik di internal Islam maupun
pihak eksternal non-Islam. HT berpendapat bahwa dunia ini terutama negeri yang
dominasinya diduduki oleh penganut Islam tidak akan pernah berdiri kokoh dan
aman bila sistem pemerintahan khilafah tidak di tegakkan. Dengan alasan itu,
mereka bergerak secara militan dengan sangat masiv lewat dakwah-dakwah ilmiah
yang memberikan bukti dan fakta kelebihan dan ke-absolutan khilafah dibanding
dengan sistem pemerintahan apapun yang ada di seluruh negara di dunia. Doktrin-doktrin
syari’ah begitu akrab dalam prosesi dakwah kecil dan dakwah dalam skala
internasional. Jaringan HT pun sudah terbangun sedemikian luas di negara-negara
berbasis Islam dominan yang dimotori para intelektual kampus atau tokoh-tokoh
besar dan memiliki posisi penting dalam negara. Di Indonesia sendiri terjadi
kontradiksi yang cukup ironis, yakni HT tidak pernah ingin masuk ranah politik
pemerintah dan tidak menjadi kepartaian secara formal dengan alasan tidak ingin
menjadi bagian yang mendukung hukum orang-orang kafir (baca: demokrasi). Namun gerakan
militannya terlihat begitu politis dalam menggiring opini publik terkait nilai
absolut kebenaran syari’ah.
Tibalah saya sebagai penulis untuk memberikan cara
pandang terhadap tiga fenomena pergerakan besar yang pernah bahkan ada yang
masih berjalan begitu kuat di negara Indonesia saat ini. Satu hal yang ingin
saya kemukakan terlebih dulu bahwa tak satupun dari ormas atau kelompok yang telah
disebutkan saya jastifikasi “KAFIR atau
SESAT”. Mengapa? Karena semua pergerakan tersebut lahir dari buah pemikiran
atau ijtihad dari masing-masing
penggagasnya dengan kajian alasan dan tujuan yang tidak bisa kita anggap
prematur. Semua kelompok diatas menginginkan satu benang merah; “Negara Islam”.
Sebagai seorang muslim, saya tidak keberatan bila nilai-nilai Islam secara utuh
diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Namun yang jadi
pertimbangnan mendalam adalah “Nilai-nilai
Islam yang seperti apa yang seharusnya ada dan diaplikasikan?”.
Nilai kehidupan yang sudah dimulai sejak dihidupkannya
manusia pertama Adam a.s. Yang menempati syurga Allah yang kemudian diturunkan
ke Bumi atas suatu kesalahan Adam yang akhirnya menjadi awal kehidupan manusia
Bumi. Usia Adam yang diriwayatkan sekitar ratusan tahun memberikan gambaran
nilai hidup yang implementatif dengan kebaikan-kebaikan yang bersifat ilahiyah.
Nilai-nilai hidup itu kemudian terus bergulir sampai pada kelahiran nabi
terakhir yaitu Muhammad saw. Pada masa Rasululllah inilah Islam mencapai titik tertinggi
dari suatu peradaban yang pernah ada di muka Bumi. Apakah instrumen penentu
keberhasilan Rasulullah saat itu dalam membangun peradaban dalam waktu yang
bisa dikatakan singkat untuk suatu pencapaian yang tidak akan ada yang mampu
menyainginya? Jawabannya adalah Al-qur’an.
Ada apa dengan Al-Qur’an? Sebelum Al-qur’an turun, sudah diturunkan terlebih
dulu kitab Taurat yang wahyukan kepada nabi Musa as., kemudian dilanjutkan
dengan Zabur kepada nabi Daud a.s., dan Injil yang disebarkan ajarannya oleh
nabi Isa a.s. Namun ketiga kitab terdahulu hukum dan nilainya secara dominan
berlaku dan terbatas pada masa nabi-nabi yang membawa ajaran kitab tersebut dan
dalam rentan waktu tertentu. Kedatangan Al-qur’an adalah absolute values of life (nilai-nilai hidup mutlak). Namun apakah
ketika Rasulullah hadir dengan Al-qur’an kemudian sudah ada “syari’ah” saat itu
yang mengatur segala permasalahan kehidupan masyarakat suatu negara atau kaum?
Jawabannya adalah belum. Karena Rasulullah berhadapan dengan begitu banyaknya
hambatan dan penentangan dari segala penjuru Mekah saat itu. Yang Rasulullah
lakukan adalah merepresentasikan Islam dalam nilai-nilai perbuatan individunya
dengan semua kebaikan dan kebermanfaatan untuk orang disekitarnya.
Al-qur’an sendiri diwahyukan kepada rasulullah
berangsur-angsur dan tidak menyeluruh dalam waktu singkat. Ada ayat-ayat yang
diturunkan di Mekah dan ada yang diturunkan di Madinah. Saya tidak akan
membahas sejarah diturunkannya Al-qur’an secara mendalam. Kembali pada syari’ah
yang pertama di kenal dan diformalisasi sebagai aturan hukum adalah pada masa
Dinasti setelah Khulafaurosyidin. Disinilah
dimulainya pandangan kebenaran absolut terhadap syari’ah. Aturan Islam yang
merupakan interpretasi Al-qur’an pada masa dinasti itu memang sangat
representatif dalam berbagai urusan hukum sehingga dijadikan rujukan dalam
pengambilan putusan secara utuh. Syari’ah pun bertahan selama ratusan tahun sampai
pada runtuhnya kekhalifahan dibawah dinasti-dinasti Islam di timur tengah.
Sekarang mari kita lihat kembali kepada tiga gerakan
Islam besar yang dibahas di awal tulisan ini, apakah memang syari’ah yang
pernah begitu representatif diterapkan pada masa dinasti Islam terdahulu masih
bisa secara mutlak utuh untuk diterapkan kembali pada saat ini? Tentu jawaban
yang mungkin muncul bisa saja beragam, namun adanya doktrin raja-raja terdahulu
yang menilai bahwa syari’ah adalah mutlak dan pihak yang ingin mengkaji ulang
syari’ah diklaim sesat, maka akan mempengaruhi jawaban yang mungkin saja lahir dengan
berbagai pemahaman akhirnya pupus karena ketakutan menjadi sesat hanya karena
klaim manusia Islam mayoritas. Inilah yang menjadi alasan tiga kelompok Islam
memaksakan kehendak mereka untuk menjadikan syari’ah sebagai aturan utuh yang
tidak dapat dirubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman. Sehingga bila ada
pihak atau kelompok memiliki pemahaman berbeda, maka mungkin akan dijauhi dan
disesatkan, atau lebih ekstrim akan diperangi secara fisik sekalipun jumlah
pihak yang tidak setuju jauh lebih banyak. Semua pergerakan melalui
interpretasi keabsolutan syari’ah itu akhirnya menumbuhkan benih-benih radikal
yang siap menumpas kelompok-kelompok berbeda yang tidak setuju dan tidak mau
mengikuti.
Sejenak kita kembali pada masa Rasulullah hijrah ke
Madinah disebabkan keadaan Mekah yang semakin genting dan membahayakan diri
Rasulullah sendiri. Di Madinah terdiri dari masyrakat heterogen (Muslim,
Yahudi, Majusi, dll), pertanyaannya adalah, apakah Rasulullah dengan membawa
jumlah jemaah muslim yang banyak itu kemudian secara langsung memaksakan aturan
kepada penduduk di Madinah dan menyesatkan perbedaan faham dengan beliau? Dan apakah
secara tiba-tiba syari’ah ditegakkan di Madinah? Saya rasa inilah piciknya
kelompok yang mengaku mencintai Rasulullah, namun mencoba meninggalkan esensi
nilai kehidupan yang dipraktikan secara jelas dan representatif dari
nilai-nilai Al-qur’an. Rasulullah telah begitu gamblang mempresentasikan Islam
sebagai agama kedamaian dan siapapun, dengan kepercayaan apapun, dengan status
sosial bagaimanapun, mampu menerima cara pandang muslim menjalankan
ke-Islamannya, yang pada akhirnya mereka sadar dengan penuh keyakinan bahwa
Islam lah agama yang benar.
Bila Allah melalui Al-qur’an telah begitu jelas mengatakan
dan menjelaskan aturan hidup manusia secara utuh, maka apalah gunanya
interpretasi? Al-qur’an adalah pedoman yang ada kalam Allah didalamnya yang
wajib kita interpretasi melalui ijtihad keilmuan yang tinggi. Bahasa al-qur’an
tidak dapat secara keseluruhan diterjemahkan secara langsung, namun banyak
diantara ayat-ayatnya yang perlu ijtihad interpretasi yang mendalam. Sebagai contoh:
QS.
Al-Ma’un ayat 4: “maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, ayat 5:
yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya. Penulis pernah menghadiri
beberapa pengajian dan menjelaskan kandungan ayat-ayat ini. Namun yang penulis
dapat untuk kandungan ayat 5 surat Al-Ma’un adalah kita harus sholat tepat
waktu dan jangan sampai dilalaikan. Menurut saya, sholat tepat waktu adalah
keharusan, namun apakah esensial bila seorang muslim telat sholat dianggap
mereka akan celaka? Sesempit itukah makna sholat yang hanya diterjemahkan
melalui takbir, ruku, sujud, tahiyat, kemudian diakhiri salam dan doa? Sejujurnya
saya sangat sedih mengetahui pendistorsian kandungan nilai sholat menurut para “ulama” tertentu ini. Ketika seorang
muslim melaksanakan sholat dengan penuh pemaknaan, maka secara automatis
perilakunya akan merepresentasikan nilai-nilai sholat itu sendiri. Bila seorang
yang setiap hari sholat berjamaah di mesjid lalu dilanjutkan sunnah-sunnahnya
namun dia masih korupsi, masih berzinah, masih mabuk-mabukan, masih bergunjing,
maka sholatnya tidaklah lebih dari takbir, ruku, sujud, salam tak bermakna.
Maka bila dikaitkan dengan pemaknaan syari’ah sebagai
aturan absolut yang tidak boleh dikaji ulang, saya rasa akan ada banyak friksi
dan pertikaian di muka Bumi seperti banyaknya gerakan Islam radikal yang telah
sukses membunuh karakter Islam dengan sindrom ISLAMOPHOBIA untuk masyarakat
dunia. Namun bila syari’ah melaui ijtihad tinggi para ulamanya dikaji ulang dan
disesuaikan dengan keadaan tanpa merubah esensi suci Al-qur’an yang sempurna,
maka akan terwujud kebenaran dinamis yang tidak beku dan akan diterima bahkan
oleh golongan non-muslim tanpa ada peperangan yang begitu dahsyat yang
membasahi Bumi dengan darah-darah manusia yang menjadi korban para intelektual
Islam yang tidak mau lelah berijtihad demi tercapainya peradaban Islam besar
seperti sedia kala. Terakhir saya ingin mengatakan bahwa yang suci dan sakral
adalah Al-qur’an, syari’ah adalah bentuk ijtihad untuk menterjemahkan Al-qur’an
secara relevan dan siap menjawab permasalahan jaman apapun, bukan hanya jaman
dinasti yang sudah runtuh. Semoga Islam dengan segala kedamaian dan nilai-nilai
luhurnya akan menjadi kepercayaan terakhir yang dipeluk dan diyakini manusia di
Bumi ini.
(Ramdan Nugraha, Ketua CAAW;
Community of Aliens Are Watching)