Rasanya baru kemarin atau minggu lalu kaki
ini melangkah menuju hiruk pikuk kota bernama Jakarta. Hari pertama ketika aku
melanjutkan jenjang pendidikan pada fase yang lebih jauh. Hari itu Selasa
seingatku, setelah sekitar satu minggu absen di awal perkuliahan karena harus
menunaikan tugas ‘Persyarikatan’ yang mendukung ku untuk belajar di Perguruan
Tinggi yang memakai nama besar tokoh intelektual Islam bernama Prof. Dr. Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Aku masih ingat dua kawan yang telah aku
kenal sejak kuliah Strata Satu, yang juga sama-sama melanjutkan studi mereka
dikelas dan jadwal yang sama, memberi tahu bahwa ada tugas presentasi untuk
mata kuliah Academic Speaking di
semester pertama itu. Dengan rasa bersalah karena telah absen selama satu
minggu, maka ku niatkan penebusan dosa yang aku terjemahkan sebagai presentasi
yang harus ku lakukan. Paling tidak, keberadaan ku kembali dipercaya ‘ada’,
karena dua kawan ku bilang kalau beberapa orang dikelas bertanya dan sebagian
mengusulkan agar aku dipindah saja ke kelas lain karena ketidakjelasan
kehadiran pada saat itu. Maka presentasi menjadi jalan untuk mengucapkan salam
di kelas yang sudah ku duga akan berbeda.
Universitas Profesor Doktor Haji Abdul Malik
Karim Amrullah atau disingkat UHAMKA merupakan salah satu Universitas Swasta
tertua di Jakarta dan dipayungi oleh Persyarikatan besar Muhammadiyah, persyarikatan
yang juga menjadi tempat ku bekerja dan mengamalkan keilmuan ku yang tidak
seberapa. Anda boleh saja secara stereotype
berasumsi bahwa Universitas Swasta umumnya tidak lebih baik dari Universitas
Negeri, namun aku berani buktikan bahwa kondisi dan atmosfir belajar dikelas
tempat ku belajar sangat kompetitif dan seakan tidak ada celah untuk bisa
memonopoli predikat mahasiswa cerdas di kelas, “lah faktanya semuanya cerdas, semuanya ambisius!”.
Waktu begitu setia menemani ku melewati hari
ke hari menciptakan kedekatan yang lebih dan semakin akrab dengan orang-orang
di kelas pada tiap pertemuannya. Aku mulai berani untuk menjadi diri ku yang
seutuhnya dalam lingkup sosial yang baru ini. Gelak tawa yang khas dan
terdengar sampai lobi kelas sudah tak canggung ku lakukan. Membuka
percakapan-percakapan ‘centil’ dengan orang-orang dikelas menjadi semakin
wajar.
Bulan ke bulan berlalu dan waktu semakin jauh
berjalan namun chemistry kelas
semakin dekat tanpa sekat yang begitu berarti. Aku semakin mengenal “orang-orang”
yang nomenklaturnya secara natural bermetamorfosa menjadi “kawan”. Semester
satu berakhir dan semester dua membawa kami (aku dan kawan-kawan) pada fase
akademis-analitis. Semester dua memberikan tantangan yang lumayan memberi
keringat dingin untuk tiap presentasi kelompok maupun individual. Aku dan
kawan-kawan semakin menghambakan diri pada materi diskusi dan terkadang terbius
dalam banyak perdebatan di kelas mengenai perbedaan pendapat atas paparan teori
yang disampaikan satu sama lain. Jelas sekali ini bukanlah perdebatan kusir
yang biasa dikonsumsi oleh para akademisi-media-sosial semacam Facebook dan
semacamnya. Diskusi kami lebih jauh dari diskusi-diskusi yang mungkin sekarang
anda yang membaca artikel ini prediksi. Uniknya adalah seberapapun kami berbeda
dalam diskusi kelas dan sekeras apapun kritikan yang dilontarkan satu sama lain,
semua itu hanya hidup dalam kadar dan waktunya. Tidak pernah kami bawa
permusuhan diskusi ke luar kelas dan inilah indikator kedewasaan kelas para
magister.
Aspek lain yang dirasa membawa ku menjadi
lebih baik adalah kualitas dosen di kelas yang kemampuan bidangnya sudah sangat
terukur sehingga menjadi stimulus kepada mahasiswa untuk tertarik menggali
lebih jauh dari apa yang mereka sampaikan di kelas. Info yang beredar, dosen
kami itu “orang-orang besar” juga. Menjadi sebuah kebanggaan bagi ku ketika menyaksikan
langsung tiga dosen pengampu mata kuliah di undang oleh stasiun televisi swasta
sebagai narasumber utama dalam waktu, channel, dan topik yang berbeda
masing-masingnya. Ternyata, mereka adalah orang-orang yang cukup berpengaruh di
pemerintahan. Ini menjadi masuk akal ketika tugas yang mereka bebankan cukup
membuat kami berpikir dengan segala kompleksitasnya. Namun jelas sekali kami
rasakan bahwa semua itu tidak hanya sekadar menjadi tugas, namun memberi kami
pemahaman yang lebih aktual menyikapi isu-isu yang sedang populer terjadi di
negara ini. Artinya, mereka memberi rangsangan teoretis, kemudian kami diminta
secara empiris menyikapi fenomena masyarakat yang semakin beragam.
Setelah semua hal yang ku lewati bersama
kawan-kawan, entah mengapa waktu berlalu semakin cepat, mungkin kenyamanan yang
membuatnya seperti itu. Semester demi semester telah berlalu sampai pada hari
terakhir kami bertemu di semester tiga yaitu hari Ujian Komprehensif, Minggu 14
Februari 2016, yang menyisakan satu mata kuliah saja. Setelah selesai ujian,
kami memang sudah mengatur semacam acara perpisahan sebelum masing-masing sibuk
dengan bimbingan penulisan thesisnya. Acara yang dikemas sederhana mulai dari
pembukaan, sambutan ketua kelas, sambutan salah satu dosen (kata sebagian kawan
sih favorit), nonton video kelas, tukar kado, doa, dan penutup. Acara ini
menjadi semacam ‘happy ending story’ yang sengaja diciptakan sebagai apresiasi
kami terhadap kelas yang sudah mempertemukan dan mengenalkan kami satu sama
lain.
Aku tak ingin menangis, namun nada melankolis
sudah otomatis bermain begitu saja pada hari itu dan menjadi backsound of farewell meeting saat itu. Aku ingat Eka (Ketua Kelas kami)
menyampaikan kesan pesannya yang ku baca mencoba tegar namun terlihat rapuh di
dalam, tawanya pun tidak sebiasa ketika menggoda young ladies di kelas. Dia menjadi satu-satunya musuh bebuyutan ku
dalam setiap diskusi, namun tidak pernah ada sedikitpun kebencian antara kami
(semoga saja, haha) ketika sudah selesai diskusi. Aku pun cukup kaget ketika
mendengar pengakuannya yang menyatakan bahwa kawan yang memberinya inspirasi
adalah Nunu (nama ku).
Hari itu kami tutup dengan gelak tawa penuh
kehangatan, seakan masing-masing dari kami akan pergi dan melanjutkan misi yang
berbeda-beda dengan jarak dan waktu yang juga tidak akan lagi sama.
Aku, Ramdan
Nugraha yang kalian panggil Nunu,
mengucapkan terimakasih banyak untuk segala hal yang kita alami bersama,
baik-buruk, suka-duka, pundung-tawa, garing-lucu, semuanya, menjadi rekaman
yang tak akan pernah kusut sampai kita mungkin akan kembali bertemu beberapa,
atau puluhan tahun mendatang. Sampai jumpa lagi kawan-kawan dan doa terbaik
kupanjatkan untuk kalian.. ;)
No comments:
Post a Comment