Thursday, 18 February 2016

UHAMKA & "KITA"



Rasanya baru kemarin atau minggu lalu kaki ini melangkah menuju hiruk pikuk kota bernama Jakarta. Hari pertama ketika aku melanjutkan jenjang pendidikan pada fase yang lebih jauh. Hari itu Selasa seingatku, setelah sekitar satu minggu absen di awal perkuliahan karena harus menunaikan tugas ‘Persyarikatan’ yang mendukung ku untuk belajar di Perguruan Tinggi yang memakai nama besar tokoh intelektual Islam bernama Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Aku masih ingat dua kawan yang telah aku kenal sejak kuliah Strata Satu, yang juga sama-sama melanjutkan studi mereka dikelas dan jadwal yang sama, memberi tahu bahwa ada tugas presentasi untuk mata kuliah Academic Speaking di semester pertama itu. Dengan rasa bersalah karena telah absen selama satu minggu, maka ku niatkan penebusan dosa yang aku terjemahkan sebagai presentasi yang harus ku lakukan. Paling tidak, keberadaan ku kembali dipercaya ‘ada’, karena dua kawan ku bilang kalau beberapa orang dikelas bertanya dan sebagian mengusulkan agar aku dipindah saja ke kelas lain karena ketidakjelasan kehadiran pada saat itu. Maka presentasi menjadi jalan untuk mengucapkan salam di kelas yang sudah ku duga akan berbeda.
Universitas Profesor Doktor Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau disingkat UHAMKA merupakan salah satu Universitas Swasta tertua di Jakarta dan dipayungi oleh Persyarikatan besar Muhammadiyah, persyarikatan yang juga menjadi tempat ku bekerja dan mengamalkan keilmuan ku yang tidak seberapa. Anda boleh saja secara stereotype berasumsi bahwa Universitas Swasta umumnya tidak lebih baik dari Universitas Negeri, namun aku berani buktikan bahwa kondisi dan atmosfir belajar dikelas tempat ku belajar sangat kompetitif dan seakan tidak ada celah untuk bisa memonopoli predikat mahasiswa cerdas di kelas, “lah faktanya semuanya cerdas, semuanya ambisius!”.
Waktu begitu setia menemani ku melewati hari ke hari menciptakan kedekatan yang lebih dan semakin akrab dengan orang-orang di kelas pada tiap pertemuannya. Aku mulai berani untuk menjadi diri ku yang seutuhnya dalam lingkup sosial yang baru ini. Gelak tawa yang khas dan terdengar sampai lobi kelas sudah tak canggung ku lakukan. Membuka percakapan-percakapan ‘centil’ dengan orang-orang dikelas menjadi semakin wajar.
Bulan ke bulan berlalu dan waktu semakin jauh berjalan namun chemistry kelas semakin dekat tanpa sekat yang begitu berarti. Aku semakin mengenal “orang-orang” yang nomenklaturnya secara natural bermetamorfosa menjadi “kawan”. Semester satu berakhir dan semester dua membawa kami (aku dan kawan-kawan) pada fase akademis-analitis. Semester dua memberikan tantangan yang lumayan memberi keringat dingin untuk tiap presentasi kelompok maupun individual. Aku dan kawan-kawan semakin menghambakan diri pada materi diskusi dan terkadang terbius dalam banyak perdebatan di kelas mengenai perbedaan pendapat atas paparan teori yang disampaikan satu sama lain. Jelas sekali ini bukanlah perdebatan kusir yang biasa dikonsumsi oleh para akademisi-media-sosial semacam Facebook dan semacamnya. Diskusi kami lebih jauh dari diskusi-diskusi yang mungkin sekarang anda yang membaca artikel ini prediksi. Uniknya adalah seberapapun kami berbeda dalam diskusi kelas dan sekeras apapun kritikan yang dilontarkan satu sama lain, semua itu hanya hidup dalam kadar dan waktunya. Tidak pernah kami bawa permusuhan diskusi ke luar kelas dan inilah indikator kedewasaan kelas para magister.
Aspek lain yang dirasa membawa ku menjadi lebih baik adalah kualitas dosen di kelas yang kemampuan bidangnya sudah sangat terukur sehingga menjadi stimulus kepada mahasiswa untuk tertarik menggali lebih jauh dari apa yang mereka sampaikan di kelas. Info yang beredar, dosen kami itu “orang-orang besar” juga. Menjadi sebuah kebanggaan bagi ku ketika menyaksikan langsung tiga dosen pengampu mata kuliah di undang oleh stasiun televisi swasta sebagai narasumber utama dalam waktu, channel, dan topik yang berbeda masing-masingnya. Ternyata, mereka adalah orang-orang yang cukup berpengaruh di pemerintahan. Ini menjadi masuk akal ketika tugas yang mereka bebankan cukup membuat kami berpikir dengan segala kompleksitasnya. Namun jelas sekali kami rasakan bahwa semua itu tidak hanya sekadar menjadi tugas, namun memberi kami pemahaman yang lebih aktual menyikapi isu-isu yang sedang populer terjadi di negara ini. Artinya, mereka memberi rangsangan teoretis, kemudian kami diminta secara empiris menyikapi fenomena masyarakat yang semakin beragam.
Setelah semua hal yang ku lewati bersama kawan-kawan, entah mengapa waktu berlalu semakin cepat, mungkin kenyamanan yang membuatnya seperti itu. Semester demi semester telah berlalu sampai pada hari terakhir kami bertemu di semester tiga yaitu hari Ujian Komprehensif, Minggu 14 Februari 2016, yang menyisakan satu mata kuliah saja. Setelah selesai ujian, kami memang sudah mengatur semacam acara perpisahan sebelum masing-masing sibuk dengan bimbingan penulisan thesisnya. Acara yang dikemas sederhana mulai dari pembukaan, sambutan ketua kelas, sambutan salah satu dosen (kata sebagian kawan sih favorit), nonton video kelas, tukar kado, doa, dan penutup. Acara ini menjadi semacam ‘happy ending story’ yang sengaja diciptakan sebagai apresiasi kami terhadap kelas yang sudah mempertemukan dan mengenalkan kami satu sama lain.
Aku tak ingin menangis, namun nada melankolis sudah otomatis bermain begitu saja pada hari itu dan menjadi backsound of farewell meeting saat itu. Aku ingat Eka (Ketua Kelas kami) menyampaikan kesan pesannya yang ku baca mencoba tegar namun terlihat rapuh di dalam, tawanya pun tidak sebiasa ketika menggoda young ladies di kelas. Dia menjadi satu-satunya musuh bebuyutan ku dalam setiap diskusi, namun tidak pernah ada sedikitpun kebencian antara kami (semoga saja, haha) ketika sudah selesai diskusi. Aku pun cukup kaget ketika mendengar pengakuannya yang menyatakan bahwa kawan yang memberinya inspirasi adalah Nunu (nama ku).

Hari itu kami tutup dengan gelak tawa penuh kehangatan, seakan masing-masing dari kami akan pergi dan melanjutkan misi yang berbeda-beda dengan jarak dan waktu yang juga tidak akan lagi sama.

Aku, Ramdan Nugraha yang kalian panggil Nunu, mengucapkan terimakasih banyak untuk segala hal yang kita alami bersama, baik-buruk, suka-duka, pundung-tawa, garing-lucu, semuanya, menjadi rekaman yang tak akan pernah kusut sampai kita mungkin akan kembali bertemu beberapa, atau puluhan tahun mendatang. Sampai jumpa lagi kawan-kawan dan doa terbaik kupanjatkan untuk kalian.. ;)















No comments: