Oleh: Ramdan Nugraha
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengutip secara mutlak
paragraf-paragraf yang dirasa perlu untuk diketengahkan sebagai informasi yang
bisa menjadi bahan kajian baru atau sekadar stimulus yang merangsang kita
sebagai umat Islam untuk mampu bangkit lagi dari tidur yang apatis beserta
mimpi-mimpi euporia masa lalu yang semakin imajinatif. Kutipan-kutipan penting
ini saya ambil secara parsial namun tidak mengurangi esensi kajian yang
diketengahkan dari buku “Islam, Negara,
& Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer” yang diterbitkan
Paramadina dengan merangkum sekitar 22 tulisan dari 22 intelektual muda muslim
Indonesia yang membedah pemikiran tokoh intelektual muslim Munawir Sjadzali.
Setiap kutipan akan saya beri judul besarnya agar mudah memberi kodifikasi
kepada pembaca tentang apa yang menjadi bahasan dari setiap kutipan.
PRAWACANA
PULANGNYA SI ANAK HILANG: Posisi
Munawir Sjadzali di Tengah Pemikiran Islam Kontemporer
“Singgungan Atas Pancasila Yang
Dianggap Sekuler dan Korelasinya Dengan Negara Islam, oleh: Prof.Dr. M. Dawam
Rahardjo, hal. 5-7”
“...Pancasila dinilai sebagai suatu faham sekuler, walaupun sebenarnya
tidak, karena Pancasila, setelah dirumuskan dalam Piagam Djakarta dan menjadi mukaddimah
UUD 1945, tidak lagi sekuler, melainkan religius.
Letak perbedaan hakikinya adalah bahwa gerakan Islam menghendaki
dilaksanakannya Piagam Djakarta yang asli yang memuat ketentuan “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya” yang telah dihapuskan dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Tapi
dalam perdebatan di Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955, partai-partai dan
tokoh-tokoh Islam mengajukan “call
tinggi”dengan mengusulkan dasar Negara Islam sehingga Indonesia menjadi Negara
Islam. Konsep Negara Islam itu sebenarnya merupakan perkembangan pemikiran yang
lebih tinggi, sebab ketika itu, para pimpinan partai Islam tidak hanya
mengusulkan konsep simbolis saja, tetapi juga telah mengemukakan “teori-teori”
yang dikenal dalam ilmu politik. Ketika
itu juga mulai dikembangkan teori-teori hukum ketatanegaraan yang dikembangkan
dari fiqih siyasah. Dua orang pemikir
yang terkemuka adalah Prof. Hashby Assiddiqie dan K.H. Munawar Khalil. Munawir
Sjadzali punya hubungan kekeluargaan dengan ulama ini melalui istrinya. Ia
pernah berguru dan menganggap ulama besar Semarang – yang merupakan tiga
serangkai ulama Jawa Tengah dengan K.H. Ghazali dari Solo dan K.H. Maksum dari
Yogya – itu sebagai orangtua angkat.
Namun menjadi pertanyaan tentang di mana posisi Munawir Sjadzali? Sejak
awal ia yang mengenal fiqih siyasah dari pembelajarannya di Madrasah Mamba’ul
Ulum itu sudah punya pandangan yang orisinal mengenai konsep Negara Islam,
yaitu tercermin dalam tulisan yang menarik Bung Hatta itu¹⁾. Pandangan itu kira-kira sejalan dengan pemikiran Syaikh Ali Abdul
Raziq dari Mesir, yang mengatakan bahwa konsep Negara Islam itu tidak ada. Demikian
pula yang disebut “Negara Islam”. Sebenarnya konsep Negara Islam itu adalah
sebuah produk pemikiran baru yang berasal dari gagasan pendirian Negara Islam
Pakistan yang diusulkan oleh Mohammad Iqbal. Filsuf Pakistan itu sendiri tidak
memiliki teori yang rinci mengenai Negara Islam. Konsep itu sendiri baru
dikembangkan terutama oleh Mohammad Assad, seorang mu’alaf asal Polandia,
terutama melalui bukunya, “Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Islam”.
Konsep itu sendiri sebenarnya cukup orisinal, dan dari situ kemudian berkembang
teori-teori politik Islam.
Sebenarnya, konsep Negara Pancasila adalah hasil pemikiran orisinal yang
berasal dari Sukarno. Kedudukannya adalah sejajar dengan konsep negara Islam,
Iqbal. Keduanya adalah hasil ijtihad kontemporer. Munawir Sjadzali, secara
orisinal berpendapat bahwa konsep Negara Islam itu tidak ada secara tekstual,
dan secara historis juga tidak pernah ada. Jika
yang dimaksud negara Islam itu adalah negara dengan model pada masa Nabi SAW
atau Khulafa’al Rasyidin, maka itu adalah pula hasil ijtihad pada masanya dan
bahkan merupakan hasil pemikiran kolektif. Sebagaimana dikemukakan oleh Ali
Abdul Raziq, Islam maupun Nabi SAW tidak memberikan petunjuk kongkret mengenai
pemilihan dan suksesi kepala negara umpamanya, apalagi sebuah model
pemerintahan. Yang ada hanyalah sunnah yang bisa dianalogikan dalam menghadapi
persoalan-persoalan kongkret. Tapi konsep itu tidak memiliki sanksi keagamaan.
Al-qur’an itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai sebuah konstitusi atau Hukum
Dasar, melainkan hanyalah sumber hukum, tapi bukan satu-satunya sumber hukum.
Karena itu maka Al-Qur’an harus diinterpretasikan terlebih dahulu dan kemudian
dikembangkan, umumnya melalui metode analogi (qiyas) dan ijma’ (konsensus) diantara para ulama.
Munawir Sjadzali mengakui eksistensi tradisi pemikiran Islam itu. Bahkan
Munawir menolak pemikiran modern yang di klaim sebagai pemikiran Islam. Karena
itu maka Munawir bersikap sinis terhadap beberapa pemimpin Masyumi , terutama Mohammad Natsir yang mengklaim konsep
Negara Islam, tetapi tidak didasarkan pada analisis fiqih siyasah. Sebaliknya,
ia menganjurkan pengembangan fiqih siyasah yang dikombinasikan dengan
teori-teori politik modern. Tapi pemikiran itu tidak berhak dengan pembenaran
keagamaan.
Pemikiran Munawir itu memberi jalan bagi penerimaan Pancasila sebagai
ideologi umat Islam. Persoalannya dengan demikian adalah bagaimana mengisi
Pancasila yang merupakan ideologi terbuka itu dengan ajaran-ajaran Islam.”
Refleksi
Kutipan diatas memberi benang merah seputar perdebatan sebagian kecil
kelompok umat Islam yang masih berambisi menegakkan Negara Islam (syariat) dan
berhadapan dengan kelompok Islam dominan yang telah menerima Pancasila sebagai
falsafah negara yang samasekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Semoga pandangan luas dari seorang Munawir Sjadzali bisa lebih membuka
cakrawala berpikir kaum muda Islam yang ada saat ini, sehingga tidak perlu lagi
menghabiskan energi dalam setiap perdebatan teoritis lalu meninggalkan
substansi otentik sebagai seorang muslim yang semakin jauh dari adab dan etika
dakwah yang seharusnya, penuh fitnah dan praduga yang memecah belah. Mari
kembali memakai ilmu dalam dakwah, tidak sebatas dogma yang begitu angkuh dan
tertutup seperti hidup dalam goa dan memperdebatkan kenapa goa itu gelap.
No comments:
Post a Comment