Wednesday, 10 February 2016

Membaca Seorang Munawir Sjadzali: Singgungan Atas Pancasila Yang Dianggap Sekuler dan Korelasinya Dengan Negara Islam



Oleh: Ramdan Nugraha

Pada kesempatan kali ini saya ingin mengutip secara mutlak paragraf-paragraf yang dirasa perlu untuk diketengahkan sebagai informasi yang bisa menjadi bahan kajian baru atau sekadar stimulus yang merangsang kita sebagai umat Islam untuk mampu bangkit lagi dari tidur yang apatis beserta mimpi-mimpi euporia masa lalu yang semakin imajinatif. Kutipan-kutipan penting ini saya ambil secara parsial namun tidak mengurangi esensi kajian yang diketengahkan dari buku “Islam, Negara, & Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer” yang diterbitkan Paramadina dengan merangkum sekitar 22 tulisan dari 22 intelektual muda muslim Indonesia yang membedah pemikiran tokoh intelektual muslim Munawir Sjadzali. Setiap kutipan akan saya beri judul besarnya agar mudah memberi kodifikasi kepada pembaca tentang apa yang menjadi bahasan dari setiap kutipan.

PRAWACANA
PULANGNYA SI ANAK HILANG: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah Pemikiran Islam Kontemporer
“Singgungan Atas Pancasila Yang Dianggap Sekuler dan Korelasinya Dengan Negara Islam, oleh: Prof.Dr. M. Dawam Rahardjo, hal. 5-7”

“...Pancasila dinilai sebagai suatu faham sekuler, walaupun sebenarnya tidak, karena Pancasila, setelah dirumuskan dalam Piagam Djakarta dan menjadi mukaddimah UUD 1945, tidak lagi sekuler, melainkan religius.
Letak perbedaan hakikinya adalah bahwa gerakan Islam menghendaki dilaksanakannya Piagam Djakarta yang asli yang memuat ketentuan “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” yang telah dihapuskan dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Tapi dalam perdebatan di Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955, partai-partai dan tokoh-tokoh Islam mengajukan “call tinggi”dengan mengusulkan dasar Negara Islam sehingga Indonesia menjadi Negara Islam. Konsep Negara Islam itu sebenarnya merupakan perkembangan pemikiran yang lebih tinggi, sebab ketika itu, para pimpinan partai Islam tidak hanya mengusulkan konsep simbolis saja, tetapi juga telah mengemukakan “teori-teori” yang dikenal dalam ilmu politik.  Ketika itu juga mulai dikembangkan teori-teori hukum ketatanegaraan yang dikembangkan dari fiqih siyasah. Dua orang pemikir yang terkemuka adalah Prof. Hashby Assiddiqie dan K.H. Munawar Khalil. Munawir Sjadzali punya hubungan kekeluargaan dengan ulama ini melalui istrinya. Ia pernah berguru dan menganggap ulama besar Semarang – yang merupakan tiga serangkai ulama Jawa Tengah dengan K.H. Ghazali dari Solo dan K.H. Maksum dari Yogya – itu sebagai orangtua angkat.
Namun menjadi pertanyaan tentang di mana posisi Munawir Sjadzali? Sejak awal ia yang mengenal fiqih siyasah dari pembelajarannya di Madrasah Mamba’ul Ulum itu sudah punya pandangan yang orisinal mengenai konsep Negara Islam, yaitu tercermin dalam tulisan yang menarik Bung Hatta itu¹⁾. Pandangan itu kira-kira sejalan dengan pemikiran Syaikh Ali Abdul Raziq  dari Mesir, yang mengatakan bahwa konsep Negara Islam itu tidak ada. Demikian pula yang disebut “Negara Islam”. Sebenarnya konsep Negara Islam itu adalah sebuah produk pemikiran baru yang berasal dari gagasan pendirian Negara Islam Pakistan yang diusulkan oleh Mohammad Iqbal. Filsuf Pakistan itu sendiri tidak memiliki teori yang rinci mengenai Negara Islam. Konsep itu sendiri baru dikembangkan terutama oleh Mohammad Assad, seorang mu’alaf asal Polandia, terutama melalui bukunya, “Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Islam”. Konsep itu sendiri sebenarnya cukup orisinal, dan dari situ kemudian berkembang teori-teori politik Islam.
Sebenarnya, konsep Negara Pancasila adalah hasil pemikiran orisinal yang berasal dari Sukarno. Kedudukannya adalah sejajar dengan konsep negara Islam, Iqbal. Keduanya adalah hasil ijtihad kontemporer. Munawir Sjadzali, secara orisinal berpendapat bahwa konsep Negara Islam itu tidak ada secara tekstual, dan secara historis juga tidak pernah ada. Jika yang dimaksud negara Islam itu adalah negara dengan model pada masa Nabi SAW atau Khulafa’al Rasyidin, maka itu adalah pula hasil ijtihad pada masanya dan bahkan merupakan hasil pemikiran kolektif. Sebagaimana dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq, Islam maupun Nabi SAW tidak memberikan petunjuk kongkret mengenai pemilihan dan suksesi kepala negara umpamanya, apalagi sebuah model pemerintahan. Yang ada hanyalah sunnah yang bisa dianalogikan dalam menghadapi persoalan-persoalan kongkret. Tapi konsep itu tidak memiliki sanksi keagamaan. Al-qur’an itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai sebuah konstitusi atau Hukum Dasar, melainkan hanyalah sumber hukum, tapi bukan satu-satunya sumber hukum. Karena itu maka Al-Qur’an harus diinterpretasikan terlebih dahulu dan kemudian dikembangkan, umumnya melalui metode analogi (qiyas) dan ijma’ (konsensus) diantara para ulama.
Munawir Sjadzali mengakui eksistensi tradisi pemikiran Islam itu. Bahkan Munawir menolak pemikiran modern yang di klaim sebagai pemikiran Islam. Karena itu maka Munawir bersikap sinis terhadap beberapa pemimpin Masyumi , terutama Mohammad Natsir yang mengklaim konsep Negara Islam, tetapi tidak didasarkan pada analisis fiqih siyasah. Sebaliknya, ia menganjurkan pengembangan fiqih siyasah yang dikombinasikan dengan teori-teori politik modern. Tapi pemikiran itu tidak berhak dengan pembenaran keagamaan.
Pemikiran Munawir itu memberi jalan bagi penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam. Persoalannya dengan demikian adalah bagaimana mengisi Pancasila yang merupakan ideologi terbuka itu dengan ajaran-ajaran Islam.”

Refleksi
Kutipan diatas memberi benang merah seputar perdebatan sebagian kecil kelompok umat Islam yang masih berambisi menegakkan Negara Islam (syariat) dan berhadapan dengan kelompok Islam dominan yang telah menerima Pancasila sebagai falsafah negara yang samasekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Semoga pandangan luas dari seorang Munawir Sjadzali bisa lebih membuka cakrawala berpikir kaum muda Islam yang ada saat ini, sehingga tidak perlu lagi menghabiskan energi dalam setiap perdebatan teoritis lalu meninggalkan substansi otentik sebagai seorang muslim yang semakin jauh dari adab dan etika dakwah yang seharusnya, penuh fitnah dan praduga yang memecah belah. Mari kembali memakai ilmu dalam dakwah, tidak sebatas dogma yang begitu angkuh dan tertutup seperti hidup dalam goa dan memperdebatkan kenapa goa itu gelap.

No comments: