Tampaknya saya harus menuliskan hal
yang perlu saya sampaikan dalam tulisan saya kali ini terkait dengan peran “akal” manusia dalam kehidupan. Kejadian
yang telah berlalu beberapa bulan lalu teringat kembali dan dirasa perlu untuk
ditanggapi karena ditakutkan akan memberikan jejak bias yang rentan dan dekat
dengan jejak kebodohan.
Saya masih sangat ingat kejadian itu
dimulai seusai saya menghadiri pengajian cabang Muhammadiyah yang digelar di
Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kebetulan penceramah pada acara pengajian
cabang Muhammadiyah tersebut adalah dosen saya di kelas Pasca Sarjana di sebuah
perguruan tinggi Muhammadiyah di Jakarta. Beliau memberi mata kuliah “The
Philosophy of Muhammadiyah” ketika saya berada di semester satu kelas
Pasca Sarjana. Saya mencatat poin-poin penting yang beliau sampaikan dalam
ceramahnya siang itu seperti kebiasaan saya bila menghadiri forum atau kajian
keilmuan di berbagai tempat. Salah satu poin penting dari ceramah yang
disampaikan dosen saya itu adalah:
“... Ada 3 jenis kebenaran:
1. Kebenaran menurut hukum Tuhan
2. Kebenaran menurut akal manusia
3. Kebenaran menurut ilmu pengetahuan”
Tidak
lama setelah saya mem-posting status
diatas pada dinding Facebook, muncul
komentar yang cukup menggelitik pemikiran saya dan memberi rangsangan untuk segera
merespon. Orang tersebut berasal dari etnis Sunda sama seperti saya dan
kebetulan saya mengenal beliau di kampus ketika berada di strata satu dulu. Maka
kami secara spontan berkomentar dengan memakai bahasa Sunda demi komunikasi
yang lebih akrab. Komentar-komentar tersebut kurang lebih seperti ini setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
Komentator: “menurut
saya yang benar itu adalah nomor 1(kebenaran hukum Tuhan), yang nomor 2
(kebenaran akal manusia) itu reaksi kimia dan psikologi, nomor 3 (kebenaran
ilmu pengetahuan) itu berasal dari otak
manusia yang bisa direkayasa.”
Saya: “namun
tanpa melibatkan nomor 2 dan nomor 3, interpretasi nomor satu akan mengalami
kelemahan dan tertutup dari dinamika dan kompleksitas masalah.”
Komentator: “Tidak akan
laaah! Nomor 1 itu adalah firman Tuhan yang tidak bisa disanggah dan mutlak
hukumnya. Malahan menurut saya, manusia terlalu banyak memakai nomor 2 dan
nomor 3 jadi agak menyimpang pengaruhnya baik bagi dirinya maupun orang lain.
Setuju kalau 70 adalah porsi untuk nomor 1, dan masing-masing nomor 2 dan 3
mendapat porsi 15. Kalau porsinya kurang dari itu, manusia akan menjadi seenak
jidatnya. Apalagi kalau yang seperti itu (nomor 2 dan 3) dijadikan sumber
kebenaran.”
Adapun komentar lain yang datang berikutnya
namun dengan intensi yang cukup memberikan cara pandang yang semakin membuat keruh
dengan dasar pembenaran yang dipaksakan. Maka saya rasa tidak perlu menambahkan
komentar lain yang sudah keluar dari pokok bahasan status yang saya buat. Mari
kita bahas fenomena diatas.
Saya yakin bila anda membaca status
yang saya posting ke Facebook diatas jelas dan mudah sekali
difahami, yaitu menyebutkan tiga jenis kebenaran yang dipaparkan oleh sang
penceramah. Tidak ada klaim yang saya utarakan yang menjurus pada level
kebenaran mana yang paling kuat dan level kebenaran mana yang lemah. Saya lebih
melihat bahwa ke-tiga jenis kebenaran tersebut adalah mendukung satu sama lain
dan tidak dapat dipisahkan (integrated).
Komentator yang hadir dalam kolom
komentar mengklaim bahwa kebenaran hukum Tuhan adalah mutlak diatas segalanya
dan terlihat dua kebenaran lainnya tidak terlalu penting dengan memberikan
persentase 15 poin untuk kebenaran logika (akal) manusia dan kebenaran ilmu
pengetahuan. Hal yang menarik dari komentar kawan saya itu adalah adanya
kontradiksi fakta; bagaimana kita mampu menafsirkan kebenaran hukum Tuhan bila
akal dan ilmu pengetahuan yang kita pakai itu minim dan terbatas? Sudah barang
tentu hukum Tuhan yang sakral dan mutlak itu akan diterjemahkan dalam tafsir
yang tidak bermutu pula atau bahkan mendapat deviasi akut (penyimpangan). Bahkan
kemulyaan akal pun dibahas oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin sebagai berikut:
“Akal adalah
sumber ilmu, tempat timbul dan sendi ilmu. Ilmu itu, berlaku dari akal,
sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon kayu, sinar dari matahari dan
penglihatan dari mata.”
“Wahai
manusia, pakailah akal untuk mengenal Tuhanmu, nasehat-menasehatilah dengan
menggunakan akal, niscaya kamu ketahui apa yang diperintahkan kepadamu dan apa
yang dilarang. Ketahuilah bahwa akal itu menolong kamu di sisi Tuhanmu.
Ketahuilah bahwa orang yang berakal ialah orang yang menta'ati Allah, meskipun
mukanya tidak cantik, dirinya hina, kedudukannya rendah dan bentuknya buruk.
Dan orang yang bodoh ialah orang mendurhakai Allah Ta'ala, meskipun mukanya
cantik, dia orang besar, kedudukannya mulia, bentuknya bagus, lancar dan pandai
berbicara. Beruk dan khinzir lebih berakal pada sisi Allah Ta'ala daripada
orang yang mendurhakaiNya. Engkau jangan tertipu dengan penghormatan penduduk
dunia kepadamu, sebab mereka itu termasuk orang yang merugi". (Diriwayatkan dari Dawud bin AI Majar dari Abi
Hurairah)
Dari paparan diatas jelas sekali
kedudukan akal dan ilmu pengetahuan begitu penting perannya dalam memahami
kebesaran Allah swt. Kita mustahil mengetahui bagaimana cara menjadi seorang
yang taqwa bila kita tidak mengetahui ilmunya. Allah memberikan akal kepada
manusia untuk mampu bertindak dengan sebaik-baiknya dalam hidup, karena
tindakan atau amal yang dilakukan tanpa didasari keilmuan hanyalah tindakan
yang tidak bermakna samasekali.
Al-qur’an dan as-Sunnah sendiri
memerintahkan kaum muslimin untuk selalu menggunakan akal dalam memahami segala
sesuatu yang ada, termasuk dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan
as-Sunnah beserta seluruh ciptaan Allah swt, seperti dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka” [QS. Ali Imran (3): 190-191]
Semoga menjadi refleksi dari kebutaan dan
kefanatikan pandangan yang mencampakan akal dan ilmu pengetahuan dan rela
meninggalkan kebodohan, aamiin.