Friday, 30 October 2015

Tiga Jenis Manusia Yang Membuat Kita Semakin Bertaqwa



Ini bukanlah tulisan akademis nan scientific yang didukung oleh daftar kutipan teori dari berbagai ahli yang sudah kesohor namanya. Ini lebih kepada curhatan warga sipil yang melihat kejanggalan akut yang semakin biasa ditengah gencarnya gerakan keagamaan yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran atas nama Tuhan. Saya harap pembaca tidak men-generalisir poin-poin bahasan tertentu sehingga menimbulkan premis prematur yang tidak esensial. Bila anda mengharapkan kajian mendalam tentang suatu fenomena kontemporer yang hangat dan menarik untuk diperdebatkan, maka anda akhiri dengan click ‘x’ pada sisi kanan atas desktop monitor anda, lalu carilah tulisan lain yang segar dan memuaskan birahi baca anda. Selamat membaca (bagi yang tertarik).
Dalam kehidupan terdapat berbagai macam karakter manusia yang memberi warna tersendiri untuk setiap episode hidup yang dilewati. Ada manusia dengan karakter penyayang, sabar, riang, semangat, rajin, rendah hati, disiplin, cerdas, jujur, sabar, adil, dan lainnya yang tampaknya menjadi reinkarnasi dari karakter kenabian yang pernah Tuhan turunkan untuk mengemban misi masing-masing dengan benang merah yang sama (baca: pendidik akhlak). Mereka adalah manusia terpilih yang ditugaskan untuk membawa misi perdamaian di dunia dengan segala macam sifat dan karakter humanismenya.
Konon, para ulama dan kiayi adalah manusia yang memiliki atau melanjutkan sifat dan karakter kenabian. Sayangnya, kenyataan hari ini terdapat banyak aspek kehidupan sosial nabi yang diikuti oleh ulama yang sifatnya debatable seperti poligami, memanjangkan jenggot dan memakai atribut orang Arab, yang pada intinya tidak menyentuh ranah substantif sunnah yang konstruktif samasekali. Kebanyakan dari ulama sekarang mendefinisikan diri sebagai ulama dengan atribut kasar yang bisa langsung dilihat dari penampilan yang dirasa merepresentasikan karakter mereka.
Saya kira prolog diatas mulai semakin jauh dari bahasan yang ingin saya sajikan pada tulisan saya ini, mohon maaf sedikit terbawa nafsu judging karena realita umat yang makin menyedihkan. Namun semoga prolog diatas masih mampu menjembatani topik yang akan saya bahas. Kali ini saya ingin memuat daftar orang Indonesia dengan karakter dan tingkah laku yang kurang lebih kontrakdiktif yang paradoksinya bisa anda nilai sendiri.

1.    Anti Barat dan Yahudi; karakter orang jenis ini di Indonesia kalau boleh di hitung mungkin jumlahnya akan mengalahkan jumlah pengikut agama manapun, dan itupun setelah jumlah tiap pengikut agama digabungkan (jangan serius dengan metafora, renungkan saja). Bagaimana tidak, hampir setiap saat saya membuka akun facebook, tiada home tanpa kutukan terhadap Barat dan Yahudi dengan menjadikan penderitaan bangsa-bangsa terjajah semacam Palestina, Afghanistan, Libia, dan negara timur tengah lainnya yang sudah sangat lama mengalami banyak pertikaian, sebagai fakta untuk melegitimasi kutukan, cacian, dan segala bentuk kegiatan yang tampaknya semakin mereduksi nilai mereka sebagai manusia. Kenyataan ini memperlihatkan insting mereka untuk bermutasi menjadi hewan semakin jelas arahnya.
Di sisi lain, orang-orang yang mengklaim anti Barat dan Yahudi ini tidak pernah lepas dari perangkat kehidupan yang diciptakan oleh orang-orang barat dan Yahudi seperti; broadcast “mari kita boikot segala macam produk Barat dan Yahudi selama beberapa hari untuk menyelamatkan Indonesia dari rong-rongan asing” (sambil click “send” pada gadget semacam Blackberry atau iphone masing-masing yang software-nya saja banyak berlisensi Barat). Bila fakta ini diketengahkan kehadapan mereka, dengan picik dan tanpa malu mereka menjawab; “kalau untuk kepentingan dakwah umat, gak salah dong”. Itu seperti jual ganja untuk biaya jihad peperangan.
2.    Copy-paste-share – based; karakter jenis kedua inipun tidak kalah banyaknya. Bahkan mereka yang terkategori Anti Barat dan Yahudi seperti tersebut diatas juga sebagian besar menjadi pengikut –isme kedua ini secara otomatis. Hal ini bisa secara sederhana diilustrasikan seperti orang yang mengayuh sepeda, kaki kanan dan kaki kirinya akan secara otomatis saling bersautan mengayuh pedal sepeda untuk bisa menjalankan sepedanya. Hal demikian tidaklah keliru atau boleh jadi adalah usaha yang baik dengan syarat sepeda itu tidak ada kerusakan, kaki-kaki si pengemudi itu masih mampu berkreasi dengan gerakan-gerakan tersendiri sesuai dengan kebutuhan dan arah perjalanan yang dituju. Jadi tidak hanya mengayuh mengikuti putaran roda begitu saja yang entah kapan berhenti dan kemana sepeda itu berjalan.
Fakta ini terjadi disebabkan kurangnya minat mengkaji keabsahan berita atau informasi yang diterima secara liar dalam media online yang dapat dibuat dan diakses siapa saja yang berkepentingan. Tanpa filter yang baik, kegiatan meng-copy-paste kemudian di share (bahkan kadang informasinya tidak dibaca utuh) membawa mereka pada penyimpangan pemikiran yang secara tidak sadar menjadi candu sejenis nikotin pada rokok, yang mereka tahu itu tidaklah baik namun tetap ‘enak’ untuk dilakukan demi memenuhi hasrat kebencian atas individu, kelompok, public figure, agama, suku, negara, faham, dll.
Secara paradoks, orang-orang penganut –isme ini akan jauh lebih memuliakan postingan tokoh yang dikaguminya dibandingkan ayat-ayat dalam kitab suci untuk men-generalisir cara pandangnya terhadap sesuatu hal. Padahal kalau boleh berburuk sangka, kajian pemikiran tokoh-tokohnya pun masih jauh dari nilai-nilai kontekstual kitab suci. Lantas bagaimana bisa menjadi instrument ukur pokok dan ijma untuk penyelesaian masalah yang kompleksitasnya lebih ‘lebat’ daripada jenggot pria-pria Arab.
Satu hal lagi yang perlu saya sampaikan bahwa ketika postingan mereka diperdebatkan dalam kolom komentar oleh orang-orang yang berbeda pendapat secara ekstrim, penganut Copy-paste-share – based ini seringkali menjawab; “anda bacalah banyak informasi dan jangan sembarang percaya dengan orang-orang berpemikiran sesat!”. Sayapun tak henti tertawa atas kebinguan alasan yang bisa membuat saya tertawa.
3.    Words’ Worshipper; nomenklatur karakter ketiga ini sebetulnya bukanlah –isme kontemporer yang seksi atau semacamnya. Saya hanya mencoba untuk membuatnya bisa terbaca lebih “what fuckin’ is this?” oleh anda yang sedang membaca tulisan saya saat ini. Ini adalah pengalaman pribadi usai mengikuti perkuliahan di kelas Pasca Sarjana di Jakarta. Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa setidaksetuju-apapun saya terhadap suatu hal atau pemikiran seseorang, tidak akan menjadi alasan untuk saya menjauhi atau antipati terhadap orang-orang tersebut (kecuali bila sudah masuk tindakan fisik warisan Arab kuno itu). Saya memiliki kawan yang sangat berambisi untuk menegakkan aturan Tuhan di muka bumi dengan berlandaskan sebuah perkataan Nabi yang entah kalau serius dikaji keabsahannya pasti akan menimbulkan perpecahan yang parah antar pengikut agamanya. Saya melihat alasan itu lebih politis dibanding skenario Ustad tertentu dengan penyanyi dangdut yang menjadi mainstream pembunuhan (atau nampaknya pengungkapan) karakter sebenarnya para Ustad di partai politik.
Kembali pada pembahasan kawan saya tadi, kami pulang bareng ke arah stasiun kereta. Sesampainya disana, kawan saya ini harus top-up kartu karena limit saldo yang bisa saja membuatnya kena penalti atas keterbatasan saldo kartu kereta. Dia memutuskan untuk ikut antri sebagai warga negara yang patuh hukum. Selesai kartu yang sudah tersisi, dengan cara jalan yang santai dia menghampiri saya sambil melempar kertas bukti top-up kartu kereta. Yang membuat saya bingung kemana arah lemparannya itu karena tempat sampah berada sekitar tiga meter didepan kami. Sambil ngobrol saya melihat gulungan kertas yang diremas itu jatuh tidak pada tempat yang seharusnya. Saya tahu pelanggaran itu mungkin tidak akan membawanya ke jeruji, namun secara tidak langsung dia telah menjadi salah satu orang yang menghancurkan ajaran agama yang mencatat bahwa kebersihan adalah bagian dari keimanan. Dengan kejadian itu, saya melihat nilai agama tidak ada yang dicuri oleh Barat atau bahkan oleh para ateis, namun nilai-nilai itu dibuang begitu saja hanya karena tak ada ancaman jeruji di negara ini. Padahal bila dikaji serius, kesadaran manusia terhadap kebersihan lengkungan menjadi salah satu indikator utama negara itu maju atau mundur seperti yang dikatakan oleh Pak Dr. Hajriyanto Y. Thohari dalam salah satu majelis ilmu.
Saya memiliki pengalaman lain yang kurang lebih sama terkait orang-orang yang jago menghafal tapi jauh dari meng-amalkan. Kejadian ini terjadi ketika saya berangkat ke tempat mengajar yang dimulai siang hari pukul 14.00 wib. Hari itu saya telah di-sms ayah agar berangkat kerja lebih awal karena akan ada pawai besar peserta lomba MTQ se-kabupaten tempat saya tinggal. Saya terbiasa berangkat satu jam sebelum masuk mengajar, jadi agak sulit untuk berangkat lebih awal karena kopi saya yang habis tak bisa menghentikan aktifitas membaca halaman buku yang sudah hampir tamat di perpustakaan pribadi saya di rumah.
Benar adanya saya terjebak macet yang Jakarta saja nampaknya belum pernah mengalami macet separah ini. Jalan menjadi samudra manusia yang bahkan tidak memberi hak kendaraan untuk berjalan sebagaimana mestinya. Syukur saya kepada Tuhan bahwa diberikan jalan untuk terjebak macet dan bisa menyaksikan fenomena yang membuat saya hampir mati rasa. Saya sempatkan parkir motor dipinggir jalan dan pergi membeli somay karena perut yang keroncongan dan keyakinan bahwa petaka ini tidak akan cepat selesai. Dari tempat saya makan somay lah saya melihat satu aktifitas yang mungkin dianggap biasa karena dilihat dari banyaknya jumlah pelaku kegiatan tersebut. Setiap regu MTQ dari masing-masing wilayah membawa air minum gelas yang mereka minum guna mengurangi dahaga dibawah terik mentari sepanjang jalan pawai. Namun perilaku orang-orang berjubah, bersorban, beberapa memakai kacamata koboi hitam yang terlihat gagah itu, dengan tanpa dosa membuang gelas plastik yang airnya telah habis mereka minum ditengah jalan raya yang mengingatkan saya pada orang badui yang katanya tidak beragama dan mundur peradabannya, tapi saya lihat orang badui lebih tau bagaimana menjaga kebersihan dibanding para cendikiawan ini. Ditambah dengan puntung rokok yang melukis jalan raya menjadi abstraksi yang sangat sulit dibaca dan indah pun tidak. Sungguh paradoksi yang begitu agung terbungkus oleh kata, nasihat, wejangan, yang biasa mereka sampaikan dimajelis-majelis ilmu, terlebih kegiatan ini adalah lomba “menghafal” ayat dalam kitab suci, namun mengapa begitu jauh dari mengamalkannya dalam kehidupan.

Sebagai penutup, saya berharap kita jangan terlalu mensakralkan kata-kata terlebih bila kata-kata itu keluar dari mulut orang tertentu yang kelakuannya tidak lebih banyak dari jumlah jenggot kambingnya. Dari ketiga karakter manusia diatas, tidak ada satupun yang pantas kita semua contoh, namun berpikirlah lebih bijak bahwa keberadaan mereka di dunia adalah penyeimbang bisa tegaknya kebenaran di atas kejahatan.

Fastabiqul Khairat!

Ramdan Nugraha
28 Oktober 2015

Sunday, 4 October 2015

Sabda Ku Lewat Mercusuar Logika



Oleh: Ramdan Nugraha
Ingin rasanya aku berperang melawan pengikut hawa nafsu
Atas nama Tuhan yang telah mereka gadai demi meraih imperium
Akan kujadikan Al-Qur’an sebagai peluru
Ku tembakan melalui meriam pemikiran
Semoga mereka berdarah-darah memahaminya
dan kehausan meminum ibrah-nya
hingga matilah kekultusannya
lalu menjelma ruh-ruh abadi setelahnya
dalam puncak pencerahan paripurna