Ini bukanlah tulisan akademis nan scientific
yang didukung oleh daftar kutipan teori dari berbagai ahli yang sudah kesohor
namanya. Ini lebih kepada curhatan warga sipil yang melihat kejanggalan akut
yang semakin biasa ditengah gencarnya gerakan keagamaan yang memperjuangkan
nilai-nilai kebenaran atas nama Tuhan. Saya harap pembaca tidak men-generalisir
poin-poin bahasan tertentu sehingga menimbulkan premis prematur yang tidak
esensial. Bila anda mengharapkan kajian mendalam tentang suatu fenomena
kontemporer yang hangat dan menarik untuk diperdebatkan, maka anda akhiri
dengan click ‘x’ pada sisi kanan atas desktop monitor anda, lalu carilah
tulisan lain yang segar dan memuaskan birahi baca anda. Selamat membaca (bagi
yang tertarik).
Dalam kehidupan terdapat berbagai macam karakter manusia yang memberi warna
tersendiri untuk setiap episode hidup yang dilewati. Ada manusia dengan
karakter penyayang, sabar, riang, semangat, rajin, rendah hati, disiplin,
cerdas, jujur, sabar, adil, dan lainnya yang tampaknya menjadi reinkarnasi dari
karakter kenabian yang pernah Tuhan turunkan untuk mengemban misi masing-masing
dengan benang merah yang sama (baca: pendidik akhlak). Mereka adalah manusia
terpilih yang ditugaskan untuk membawa misi perdamaian di dunia dengan segala
macam sifat dan karakter humanismenya.
Konon, para ulama dan kiayi adalah manusia yang memiliki atau melanjutkan
sifat dan karakter kenabian. Sayangnya, kenyataan hari ini terdapat banyak
aspek kehidupan sosial nabi yang diikuti oleh ulama yang sifatnya debatable seperti poligami, memanjangkan
jenggot dan memakai atribut orang Arab, yang pada intinya tidak menyentuh ranah
substantif sunnah yang konstruktif
samasekali. Kebanyakan dari ulama sekarang mendefinisikan diri sebagai ulama
dengan atribut kasar yang bisa langsung dilihat dari penampilan yang dirasa
merepresentasikan karakter mereka.
Saya kira prolog diatas mulai semakin jauh dari bahasan yang ingin saya
sajikan pada tulisan saya ini, mohon maaf sedikit terbawa nafsu judging karena realita umat yang makin
menyedihkan. Namun semoga prolog diatas masih mampu menjembatani topik yang
akan saya bahas. Kali ini saya ingin memuat daftar orang Indonesia dengan
karakter dan tingkah laku yang kurang lebih kontrakdiktif yang paradoksinya
bisa anda nilai sendiri.
1.
Anti
Barat dan Yahudi; karakter
orang jenis ini di Indonesia kalau boleh di hitung mungkin jumlahnya akan
mengalahkan jumlah pengikut agama manapun, dan itupun setelah jumlah tiap
pengikut agama digabungkan (jangan serius dengan metafora, renungkan saja).
Bagaimana tidak, hampir setiap saat saya membuka akun facebook, tiada home
tanpa kutukan terhadap Barat dan Yahudi dengan menjadikan penderitaan
bangsa-bangsa terjajah semacam Palestina, Afghanistan, Libia, dan negara timur
tengah lainnya yang sudah sangat lama mengalami banyak pertikaian, sebagai
fakta untuk melegitimasi kutukan, cacian, dan segala bentuk kegiatan yang
tampaknya semakin mereduksi nilai mereka sebagai manusia. Kenyataan ini
memperlihatkan insting mereka untuk bermutasi menjadi hewan semakin jelas
arahnya.
Di sisi lain, orang-orang
yang mengklaim anti Barat dan Yahudi ini tidak pernah lepas dari perangkat
kehidupan yang diciptakan oleh orang-orang barat dan Yahudi seperti; broadcast
“mari kita boikot segala macam produk Barat
dan Yahudi selama beberapa hari untuk menyelamatkan Indonesia dari rong-rongan
asing” (sambil click “send” pada gadget
semacam Blackberry atau iphone masing-masing yang software-nya saja banyak berlisensi Barat). Bila fakta ini
diketengahkan kehadapan mereka, dengan picik dan tanpa malu mereka menjawab;
“kalau untuk kepentingan dakwah umat, gak salah dong”. Itu seperti jual ganja
untuk biaya jihad peperangan.
2.
Copy-paste-share
– based; karakter jenis kedua
inipun tidak kalah banyaknya. Bahkan mereka yang terkategori Anti Barat dan Yahudi seperti tersebut
diatas juga sebagian besar menjadi pengikut –isme
kedua ini secara otomatis. Hal ini bisa secara sederhana diilustrasikan seperti
orang yang mengayuh sepeda, kaki kanan dan kaki kirinya akan secara otomatis
saling bersautan mengayuh pedal sepeda untuk bisa menjalankan sepedanya. Hal
demikian tidaklah keliru atau boleh jadi adalah usaha yang baik dengan syarat
sepeda itu tidak ada kerusakan, kaki-kaki si pengemudi itu masih mampu
berkreasi dengan gerakan-gerakan tersendiri sesuai dengan kebutuhan dan arah
perjalanan yang dituju. Jadi tidak hanya mengayuh mengikuti putaran roda begitu
saja yang entah kapan berhenti dan kemana sepeda itu berjalan.
Fakta ini terjadi
disebabkan kurangnya minat mengkaji keabsahan berita atau informasi yang
diterima secara liar dalam media online
yang dapat dibuat dan diakses siapa saja yang berkepentingan. Tanpa filter yang
baik, kegiatan meng-copy-paste kemudian di share (bahkan kadang informasinya tidak dibaca utuh) membawa mereka
pada penyimpangan pemikiran yang secara tidak sadar menjadi candu sejenis
nikotin pada rokok, yang mereka tahu itu tidaklah baik namun tetap ‘enak’ untuk
dilakukan demi memenuhi hasrat kebencian atas individu, kelompok, public figure, agama, suku, negara, faham,
dll.
Secara paradoks,
orang-orang penganut –isme ini akan
jauh lebih memuliakan postingan tokoh yang dikaguminya dibandingkan ayat-ayat
dalam kitab suci untuk men-generalisir cara pandangnya terhadap sesuatu hal.
Padahal kalau boleh berburuk sangka, kajian pemikiran tokoh-tokohnya pun masih
jauh dari nilai-nilai kontekstual kitab suci. Lantas bagaimana bisa menjadi
instrument ukur pokok dan ijma untuk penyelesaian
masalah yang kompleksitasnya lebih ‘lebat’ daripada jenggot pria-pria Arab.
Satu hal lagi yang
perlu saya sampaikan bahwa ketika postingan mereka diperdebatkan dalam kolom
komentar oleh orang-orang yang berbeda pendapat secara ekstrim, penganut Copy-paste-share
– based ini seringkali menjawab; “anda bacalah banyak informasi dan
jangan sembarang percaya dengan orang-orang berpemikiran sesat!”. Sayapun tak
henti tertawa atas kebinguan alasan yang bisa membuat saya tertawa.
3.
Words’
Worshipper; nomenklatur karakter
ketiga ini sebetulnya bukanlah –isme
kontemporer yang seksi atau semacamnya. Saya hanya mencoba untuk membuatnya
bisa terbaca lebih “what fuckin’ is this?”
oleh anda yang sedang membaca tulisan saya saat ini. Ini adalah pengalaman
pribadi usai mengikuti perkuliahan di kelas Pasca Sarjana di Jakarta.
Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa setidaksetuju-apapun saya terhadap suatu
hal atau pemikiran seseorang, tidak akan menjadi alasan untuk saya menjauhi
atau antipati terhadap orang-orang tersebut (kecuali bila sudah masuk tindakan
fisik warisan Arab kuno itu). Saya memiliki kawan yang sangat berambisi untuk
menegakkan aturan Tuhan di muka bumi dengan berlandaskan sebuah perkataan Nabi
yang entah kalau serius dikaji keabsahannya pasti akan menimbulkan perpecahan
yang parah antar pengikut agamanya. Saya melihat alasan itu lebih politis
dibanding skenario Ustad tertentu dengan penyanyi dangdut yang menjadi
mainstream pembunuhan (atau nampaknya pengungkapan) karakter sebenarnya para
Ustad di partai politik.
Kembali pada
pembahasan kawan saya tadi, kami pulang bareng ke arah stasiun kereta.
Sesampainya disana, kawan saya ini harus top-up
kartu karena limit saldo yang bisa saja membuatnya kena penalti atas
keterbatasan saldo kartu kereta. Dia memutuskan untuk ikut antri sebagai warga
negara yang patuh hukum. Selesai kartu yang sudah tersisi, dengan cara jalan
yang santai dia menghampiri saya sambil melempar kertas bukti top-up kartu kereta. Yang membuat saya
bingung kemana arah lemparannya itu karena tempat sampah berada sekitar tiga
meter didepan kami. Sambil ngobrol saya melihat gulungan kertas yang diremas
itu jatuh tidak pada tempat yang seharusnya. Saya tahu pelanggaran itu mungkin
tidak akan membawanya ke jeruji, namun secara tidak langsung dia telah menjadi
salah satu orang yang menghancurkan ajaran agama yang mencatat bahwa kebersihan
adalah bagian dari keimanan. Dengan kejadian itu, saya melihat nilai agama
tidak ada yang dicuri oleh Barat atau bahkan oleh para ateis, namun nilai-nilai
itu dibuang begitu saja hanya karena tak ada ancaman jeruji di negara ini. Padahal
bila dikaji serius, kesadaran manusia terhadap kebersihan lengkungan menjadi
salah satu indikator utama negara itu maju atau mundur seperti yang dikatakan
oleh Pak Dr. Hajriyanto Y. Thohari dalam salah satu majelis ilmu.
Saya memiliki
pengalaman lain yang kurang lebih sama terkait orang-orang yang jago menghafal
tapi jauh dari meng-amalkan. Kejadian ini terjadi ketika saya berangkat ke
tempat mengajar yang dimulai siang hari pukul 14.00 wib. Hari itu saya telah
di-sms ayah agar berangkat kerja lebih awal karena akan ada pawai besar peserta
lomba MTQ se-kabupaten tempat saya tinggal. Saya terbiasa berangkat satu jam
sebelum masuk mengajar, jadi agak sulit untuk berangkat lebih awal karena kopi
saya yang habis tak bisa menghentikan aktifitas membaca halaman buku yang sudah
hampir tamat di perpustakaan pribadi saya di rumah.
Benar adanya saya
terjebak macet yang Jakarta saja nampaknya belum pernah mengalami macet separah
ini. Jalan menjadi samudra manusia yang bahkan tidak memberi hak kendaraan
untuk berjalan sebagaimana mestinya. Syukur saya kepada Tuhan bahwa diberikan
jalan untuk terjebak macet dan bisa menyaksikan fenomena yang membuat saya
hampir mati rasa. Saya sempatkan parkir motor dipinggir jalan dan pergi membeli
somay karena perut yang keroncongan dan keyakinan bahwa petaka ini tidak akan
cepat selesai. Dari tempat saya makan somay lah saya melihat satu aktifitas
yang mungkin dianggap biasa karena dilihat dari banyaknya jumlah pelaku
kegiatan tersebut. Setiap regu MTQ dari masing-masing wilayah membawa air minum
gelas yang mereka minum guna mengurangi dahaga dibawah terik mentari sepanjang
jalan pawai. Namun perilaku orang-orang berjubah, bersorban, beberapa memakai
kacamata koboi hitam yang terlihat gagah itu, dengan tanpa dosa membuang gelas
plastik yang airnya telah habis mereka minum ditengah jalan raya yang
mengingatkan saya pada orang badui yang katanya tidak beragama dan mundur
peradabannya, tapi saya lihat orang badui lebih tau bagaimana menjaga
kebersihan dibanding para cendikiawan ini. Ditambah dengan puntung rokok yang
melukis jalan raya menjadi abstraksi yang sangat sulit dibaca dan indah pun
tidak. Sungguh paradoksi yang begitu agung terbungkus oleh kata, nasihat,
wejangan, yang biasa mereka sampaikan dimajelis-majelis ilmu, terlebih kegiatan
ini adalah lomba “menghafal” ayat dalam kitab suci, namun mengapa begitu jauh
dari mengamalkannya dalam kehidupan.
Sebagai penutup,
saya berharap kita jangan terlalu mensakralkan kata-kata terlebih bila
kata-kata itu keluar dari mulut orang tertentu yang kelakuannya tidak lebih
banyak dari jumlah jenggot kambingnya. Dari ketiga karakter manusia diatas,
tidak ada satupun yang pantas kita semua contoh, namun berpikirlah lebih bijak
bahwa keberadaan mereka di dunia adalah penyeimbang bisa tegaknya kebenaran di
atas kejahatan.
Fastabiqul Khairat!
Ramdan Nugraha
28 Oktober 2015