Agama dan keyakinan apapun yang Kau anut,
Surga itu tempatnya orang beretika,
Ritual apapun yang setiap saat Kau lakukan
Neraka tetap untuk mereka dengan adab yang celaka
Jadilah kelompok kritis yang beradab
tidaklah retorika cukup dengan baju kebodohan
lalu Kau naikkan urat leher pada siapa saja
Tak ada hak mu mengkritik tentang kejahatan
Karena kritikan mu pun memakai kemunafikan
Kau mengenal Tuhan namun tidak nilai-nilainya
Kau ber-ritual namun abal-abal
Lalu Kau pun menyempal
berakhir dengan cangkang-cangkang tak bermoral
“Tidak ada kekayaan yang lebih berguna daripada akal dan tidak ada kemiskinan yang lebih berbahaya daripada kebodohan” – Ali bin Abi Thalib
Friday, 22 April 2016
Wednesday, 20 April 2016
JANGAN BERI TUHAN PROPOSAL KEMUNAFIKAN
Oleh: Ramdan Nugraha
Apakah kau seorang
dermawan,
menyebar gambar kakek
tua renta berjualan,
lalu meminta kawan maya
mengucap “AMIN”?
Apakah kau seorang
humanis,
menyebar gambar jenazah
korban bom,
penuh luka dan darah,
lalu sederhana kau minta
kawan maya berucap “AMIN”?
Apakah kau seorang yang
taqwa,
menyebar foto Ka’bah
yang ramai lautan manusia,
dan mengajak kawan maya
mu mengucap “AMIN”?
Apakah Kau seorang
aktifis pemersatu,
dengan kau kutuk
kelompok lain beda pandang
lalu Kau hasut kawan
maya mu mengucap “AMIN”?
Apakah Kau calon
penghuni Surga,
Sedang Kau minta ajab
Tuhan turun
untuk mereka yang Kau
cap sesat,
dengan tambahan ucap
kawan maya mu “AMIN”
Apakah Kau masih MANUSIA
dengan jutaan AMIN itu?
Amin..
20 April 2016
Makam Kebenaran
20 April 2016
Makam Kebenaran
Wednesday, 13 April 2016
MENYOAL AGAMA YANG JADI OBJEK UNTUK DIBENTURKAN
Ramdan Nugraha, 13 April 2016
Dewasa ini makin marak dagangan
pemikiran dalam bungkus agama yang disebarkan di Indonesia -- negeri plural
dengan beragam tradisi, etnis, bahasa, budaya, dan juga kepercayaan. Gerakan
yang menjual agama sebagai alat legitimasi aksi yang menentang etika dan
kemanusiaan yang dilakukan oleh para pengikutnya ini saya namakan neo-fundamentalis
(meminjam istilah dari Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif). Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, kata fundamental memiliki
makna sangat mendasar atau pokok sekali. Bila kata ini kita
sematkan akhiran –is menjadi fundamentalis, maka makna yang terbentuk
condong merujuk pada kelompok gerakan keagamaan yang keras, fanatik, dan
reaksioner terhadap fenomena yang terjadi tanpa mengetengahkan logika dan
etika.
Pasca reformasi 1998 dengan
paksaan masyarakat yang dimobilisasi kelompok intelektual mahasiswa, otoritas
Soeharto sebagai Presiden Indonesia berakhir dan dimulailah masa awal transisi
otoriter ke arah demokrasi. Saat ini, bangunan demokrasi belum sepenuhnya
terbangun kokoh, namun aspek kebebasan berpendapat sebagai salah satu muatan
utamanya, menjadi pintu yang terbuka lebar bagi kelompok-kelompok asing keluar
masuk ke rumah besar bernama Indonesia, tidak terkecuali faham-faham agama yang
bersifat transnasional yang dalam hal ini lebih bersegmentasi kepada agama
Islam.
Adanya bom Bali 1 dan 2, bom JW
Marriot, dan yang masih hangat beritanya yaitu bom Sarinah, semua itu terjadi
atas dasar gerakan yang mungkin berbeda tapi memakai baju yang sama (baca:
Islam). Bahkan yang paling monumental adalah nine-eleven (11 September 2001)
yang menjadi awal dari penghancuran image Islam sebagai agama penuh kedamaian
berubah drastis menjadi agama teror yang faktanya jauh dari nilai otentik Islam
itu sendiri. Terlepas siapa dalang dibalik peristiwa tersebut, kejadian itu
harus dibayar mahal oleh hilangnya kepercayaan dunia terhadap Islam sehingga
membuka ruang lebih luas bagi para misionaris yang berkepentingan untuk meramu
isu dan doktrin pemikiran yang membawa dunia antipati terhadap Islam.
Atas dasar kejadian
nine-eleven, negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis,
dan yang lainnya mulai bergerak dalam misi pemberantasan teroris yang dominan
terdeteksi di negara-negara Islam di Timur Tengah seperti Afghanistan, Iraq,
Iran, Mesir, Palestina, dan yang lainnya. Hal ini jelas tidak dapat dipandang
sederhana, ini bukan seutuhnya tentang “pembersihan terorisme”namun juga
terkait banyak kepentingan dari banyak pihak baik dari aspek politik, ekonomi,
dan banyak aspek lainnya.
Dalam situasi inilah,
kelompok-kelompok Islam radikal menemukan momentumnya untuk bergerak dengan
pola dan dasar pemikiran yang monolitik dan sangat subjektif untuk meluapkan
emosi atas ketertindasan yang telah lama dirasakan. Jalan yang diambil oleh
kelompok garis keras ini adalah perlawanan fisik secara langsung terhadap
segala hal yang berbau Barat seperti Bali yang dijadikan sasaran karena
terdapat banyaknya tempat hiburan dan orang pengunjung Barat yang menurut
mereka harus dibinasakan. Bahkan ketika ada warga Indonesia muslim pun mereka
pukul rata demi hasrat menuntut ketertindasan yang sudah tidak terbendung.
Indonesia sebagai negara yang
tidak luput dari meledaknya beberapa serangan kelompok radikal terhadap
pemerintahan, maka dibentuklah Detasemen Khusus (DENSUS) anti teror yang secara
khusus diarahkan untuk menangani gerakan-gerakan teror atau pun pencegahan atas
isu-isu teror yang berkembang. Dibentuknya DENSUS ini menjadi bahan bakar yang
ampuh untuk membakar semangat kelompok radikal untuk melakukan perlawanan yang
lebih agresif. Sampai saat ini, ledakan bom belum bisa sepenuhnya diantisipasi
oleh pemerintah karena teror itu pada dasarnya adalah mampu hadir dalam situasi
yang tidak terduga, itulah pesan dan alasan utama kenapa teror itu dilakukan.
Akhirnya, keadaan yang telah
terbentuk sekarang adalah Islam versus Barat yang semakin mengkristal terutama
pada tataran akar rumput masyarakat yang hidup dalam keadaan ekonomi yang
memprihatinkan sehingga menjadi objek yang paling mudah untuk di cuci otak
dengan alasan untuk keluar dari ketertindasan keadaan yang tidak adil. Keadaan
ini semakin hitam putih dan semakin kabur kemana arah penyelesaiannya
disebabkan doktrin ketidakadilan sudah merambah pada tingkat elite dan kaum
intelektual kampus. Kaum elite dan intelektual yang tidak memiliki dasar aqidah
Islam yang kuat, maka akan mudah sekali menjadi agen-agen teror yang berakhir
tragis. Aqidah itu ibarat air, dan kecerdasan manusia adalah ladang hijau yang
apabila kurang mendapatkan air, akan menjadi tandus dan mudah hangus terbakar
api.
Dilain pihak, terdapat banyak
individu dan kelompok elite yang memiliki banyak uang yang mampu memainkan
drama berdarah dengan menggunakan boneka-boneka fundamentalis yang mudah
dibakar demi mencapai kepentingan politik sepihak namun berimplikasi dahsyat
terhadap bangsa dan negara. Maka berbenturanlah berbagai macam gerakan dengan
ragam dasar pemikiran namun sepenanggungan dalam sejarah ketertindasan –
gerakan Islam radikal yang sangat berhasrat membinasakan Barat, kelompok Islam
politis yang ingin menguasai Indonesia dengan konsep negara agama dan
meniadakan falsafah bangsa PANCASILA dan Bhineka Tunggal Ika, dan kelompok
politik elite yang sama-sama ingin berkuasa dan mengeruk kekayaan
sebanyak-banyaknya demi kepentingan sepihak.
Ditengah gelapnya bumi
Indonesia, terdapat harapan yang telah menemui urgensinya untuk segera
dilakukan. Salah satu harapan utama adalah PENDIDIKAN. Awal dari semua
pemikiran yang termanifestasi ke dalam gerakan adalah pendidikan. Harus diakui
bahwa pendidikan pada beberapa dasawarsa terakhir di Indonesia mengalami kemerosotan
hasil yang terutama hancur pada aspek etika. Remaja yang disuguhi berbagai
macam gaya hidup dan informasi yang tidak mampu mereka bendung, berimplikasi
langsung pada tradisi dan budaya hidup remaja yang jauh dari adab.
Beberapa masalah lain adalah
filterasi mahasiswa di kampus terhadap ajaran atau paradigma berfikir garis
keras sehingga tidak heran ditemukan banyak mahasiswa yang di cuci otaknya
untuk menjadi eksekutor kebiadaban suatu kelompok.
Arah pendidikan yang perlu
diketengahkan sebagai mainstream produk kurikulum baik sekolah maupun perguruan
tinggi adalah sebuah pemikiran terbuka (inklusif) dalam menyikapi berbagai hal,
namun tidak permisif tanpa filter sehingga menjadi bebas tanpa batas yang ini
pun akan berbahaya terhadap nilai-nilai universal kebenaran. Juga memberikan
nilai-nilai otentik keagamaan yang dirujuk langsung pada sumber yang benar,
tidak mempelajari agama berdasarkan perilaku pengikutnya yang jauh dari nilai
otentik ajaran agamanya.
Sudah saatnya pemeluk agama
sadar bahwa agama tidak akan pernah menjadi satu nomenklatur, namun nilai
kebenarannya sangat mungkin bertemu pada tataran universal kemanusiaan.
Toleransi akan menjadi jembatan komunikasi yang harmonis tanpa harus selalu
bergesekan satu sama lain. Semua agama memiliki benang merah yang sama – menuju
kepada-Nya meski dengan cara dan jalan yang berbeda-beda. Semoga pendidikan di
Indonesia akan menjadi pondasi untuk bangunan peradaban yang lebih baik dan
harmonis kedepan. Aamiin.
Subscribe to:
Posts (Atom)