Oleh: Ramdan Nugraha
Kesurupan bukan merupakan sesuatu
hal baru dalam kehidupan manusia. Fenomena ini telah dikenal oleh
masyarakat dunia tidak hanya di Indonesia. Ada beberapa kisah nyata yang
kemudian diangkat menjadi sebuah karya audio-visual
dalam bentuk film seperti The Conjuring (disutradarai
oleh James Wan, 2013) yang cukup
sukses menjadi magnet dengan mendatangkan begitu banyak penonton yang rela
antri panjang di bioskop dan kemudian membeli tiket film untuk mereka nikmati dengan
cara menutup mata mereka sendiri selama hampir seluruh durasi film. Terlepas
dari benar atau tidaknya fenomena kesurupan itu disebabkan oleh makhluk halus yang
berhasil menguasai tubuh manusia yang dirasukinya, menarik ketika penulis
melihat adanya perlakuan diskriminatif kepada objek astral yang telah dikenal
akrab dengan sebutan setan.
Dalam lima tahun ke belakang, beberapa stasiun televisi di Indonesia
rajin menayangkan program atau acara yang menyuguhkan konten-konten mistis. Misalnya
Dunia Lain dan Pemburu Hantu yang pernah sangat digandrungi setiap episodenya oleh
masyarakat Indonesia meskipun tidak semua. Konten utama dari acara semacam ini
adalah bagaimana “dunia astral” dapat menjadi daya tarik untuk dipertontonkan
bahkan diperbincangkan secara langsung sebagai bagian dari konten program untuk
memberikan rasa penasaran atau ketakutan yang addictive bagi penonton sehingga mereka akan terus tertarik untuk
menyimak setiap episode dalam program tersebut. Dampaknya adalah rating program yang terus naik dan
menguntungkan bagi penyelenggara program.
Lebih jauh, kesurupan, sebagai salah satu konten utama yang menjadikan
program komersial ini bisa bertahan dan memiliki umat yang setia, melibatkan
dua aspek utama yang tidak bisa kita lepaskan yaitu setan dan manusia.
Sebagaimana tradisi kepercayaan semua agama semitik, bahwa setan
dipersonifikasi sebagai sesuatu yang hidup sebagaimana manusia namun memiliki
kemampuan dan ruang atau dimensi yang berbeda. Dan sebagian besar umat beragama
sepakat bahwa setan adalah sosok yang diasosiasikan dengan segala hal yang
bersifat jahat. Di lain pihak, manusia adalah makhluk yang hampir selalu
menjadi korban dari kejahatan setan itu sendiri.
Dari cara pandang tersebut, penulis melihat bahwa manusia telah
benar-benar secara simplistis menciptakan image
branding terhadap setan yang pada satu sisi memberi banyak keuntungan bagi
manusia, namun di sisi lain lari dari fitrahnya sebagai makhluk yang tidak bisa
luput dari khilaf dan menyeret setan untuk menjadi sosok yang selalu dipersalahkan
atas segala kekhilafan yang seringkali manusia lakukan. Dari pencitraan setan
yang jahat itu, terciptalah sebuah paradigma yang mengakar bahwa ketika manusia
melakukan sesuatu yang jahat, itu pasti disebabkan oleh pengaruh setan.
Disinilah kemudian diskriminasi terhadap setan semakin serius. Sementara
manusia sepakat bahwa musuh yang paling jelas adalah setan, padahal, para
pembawa pesan spiritual tidak jarang mengingatkan bahwa musuh utama dan paling
besar manusia adalah hawa nafsunya sendiri.
Ada beberapa fakta yang memperlihatkan sesuatu yang ganjil dalam
fenomena kesurupan. Yang pertama, kesurupan pada umumnya, bahkan bisa
dipastikan selalu terjadi di tempat atau ruang yang dihuni oleh lebih dari satu
bahkan oleh banyak orang saat kejadian berlangsung. Hal ini masuk akal karena bila
seseorang kesurupan sendirian di ruang yang hanya ada dia sendiri, siapa pula
yang akan berpura-pura panik dan memberikan perhatian yang memang sangat
didambakan oleh orang yang kesurupan tersebut.
Keganjilan yang kedua, orang yang perutnya kenyang karena telah cukup makan
tidak pernah kesurupan. Dalam banyak kasus, mereka yang kesurupan adalah
orang-orang yang sangat lelah baik fisiknya terlebih lagi batinnya. Oleh sebab
itu, beralasan sekali ketika dalam pandangan ilmiah, kesurupan lebih identik
dengan masalah kejiwaan seseorang. Jiwa yang ingin diperhatikan, jiwa yang
lapar akan kasih sayang. Mereka perlu mengekspresikan emosi yang terpendam
dalam bentuk yang histeris dan juga dramatis di depan publik.
Yang ketiga, orang-orang yang kesurupan umumnya melakukan hal atau
gerakan yang mudah untuk ditiru semisal berteriak dengan sangat lantang,
batuk-batuk plus ngorok, atau kalau vokalnya bagus, dia akan melantunkan lagu
yang kemungkinan pernah terekam dalam memori otaknya. Penulis belum pernah
melihat seorang yang kesurupan mencari kolam renang lalu melompat ke kolam
dengan riang. Atau misalnya, kalau yang kesurupan adalah seorang siswa sekolah,
tiba-tiba mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) matematika yang sangat ruwet yang
jawabannya biasa dia dapatkan dari hasil contekan.
Dari semua itu, penulis prihatin dengan tingkah beberapa dan sementara
manusia yang menjadikan kesurupan sebagai media untuk mengambil keuntungan
secara sepihak tanpa mempertimbangkan setan yang boleh jadi telah menjadi
korban. Memandang hal ini dengan kacamata keyakinan, mutlak akan membawa
jawaban yang seragam bahwa setan, sejak pertamakali menolak titah Tuhan dengan
kesombongannya, telah di cap sebagai makhluk terkutuk sampai hari kiamat kelak.
Namun, mengasosiasikan kesurupan dengan ulah setan alih-alih dengan ketegangan
kejiwaan, adalah cara berpikir egosentris yang menolak akal sehat. Lebih parah
lagi, mencari keuntungan dengan cara mengeksploitasi setan dalam bisnis hiburan
adalah melelang kewarasan dan membangun dunia fantasi yang semakin basi.