Oleh: Ramdan Nugraha
Kompleksnya kondisi sosio-politik Indonesia hari
ini yang telah ditandai terutama sejak kasus penistaan agama Islam yang
dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada masa sebelum kontestasi
pilkada Jakarta yang berlangsung pada bulan April lalu, rupanya memiliki radius
sosial yang masih sangat kuat terasa sampai hari ini. Meskipun telah ada pasangan
Anis-Sandi sebagai pemenang pilkada Jakarta tersebut dan juga telah
diputuskannya vonis hukum terhadap Ahok untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telah dia lakukan dengan konsekuensi penjara selama dua tahun tanpa ada banding
darinya.
Dalam panasnya situasi politik bangsa saat ini,
hadir seorang gadis belia yang baru saja menyelesaikan studinya di bangku SMA
di daerah Banyuwangi Jawa Timur. Dia hadir di panggung media sosial yang hampir
seluruh penduduk negeri ini berinteraksi satu sama lain didalamnya. Dengan
keterampilannya menulis, Afi Nihaya
Faradisa yang akrab dipanggil Afi dalam akun facebooknya, dengan jujur dan
berani menuliskan segala bentuk kegelisahan yang sangat jarang bisa dirasakan
oleh umumnya anak seusianya. Dia menyampaikan segala keluh-kesahnya terhadap
corak pemikiran dan gaya bersikap sebagian penduduk Indonesia kontemporer yang
belum lama ini berseteru disebabkan perbedaan pilihan dan pandangan politik.
Tulisan-tulisan Afi bernada persuasif-kritis
dengan menawarkan ide-ide pluralisme dan inklusivisme ketengah masyarakat
heterogen Indonesia yang semakin kehilangan nilai-nilai toleransinya dalam
interaksi sosial kemasyarakatan. Dengan kemasan kalimat yang sangat jujur dan
memang pada beberapa bagian terlihat sangat berani untuk menentang kejahatan
yang terjadi, Afi rupanya telah berhasil menyampaikan kritik tajam terhadap
tidak sedikit pihak yang belum mampu sedewasa dan seterbuka dirinya dalam menanggapi
suatu hal atau peristiwa yang terjadi di sekitar. Namun sayang, kritikan Afi
yang dia sampaikan melalui tulisan-tulisannya yang dia unggah pada laman akun facebook miliknya rupanya tidak bisa
diterima oleh beberapa pihak. Dengan arogan, kelompok-kelompok yang tidak suka
dengan ide-ide dan kritik Afi itu kemudian memberi respon dengan sangat tidak
dewasa.
“Agama Warisan” dan Respon Reaktif-Destruktif
Dari sekian banyak tulisan yang telah Afi tulis
dan dibagikan melalui akun facebooknya,
tulisan dengan judul “Agama Warisan” yang belakangan secara berani dia akui
sebagai tulisan yang dia copy dari
seorang bernama Mita, menjadi yang paling ramai mendapat respon baik positif
maupun negatif. Tulisan itu telah ribuan kali dibagikan ulang dengan ribuan
komentar yang muncul secara beragam. Tulisan yang pesan utamanya adalah
mengajak masyarakat untuk bisa menghargai para pemeluk agama yang berbeda dan
hidup harmonis dalam bingkai kebhinekaan Indonesia. Banyak orang baik muda
maupun tua memberikan dukungan mereka terhadap Afi. Namun tidak sedikit juga
yang mendiskriminasi Afi secara berlebihan dalam kolom komentar pada tiap
tulisannya.
Diskriminasi itu dilakukan dalam bentuk olokan
(bullying). Salah satu contohnya adalah ketika Afi disebut anak ingusan yang
tidak paham agama atau pemahaman keagamaan Afi yang dangkal sehingga menjadi
sesat dalam berpendapat, juga dengan mengatakan bahwa Afi adalah korban
pendidikan yang gagal karena begitu dekat dengan paham pluralisme yang dianggap
sesat oleh sebagian dan sementara kelompok masyarakat yang tidak menyukainya, dan
diskriminasi-diskriminasi lainnya.
Sampai setelah keramaian itu, ada akun facebook lain dengan nama Gilang Kazuya Shimura yang mendadak
populer namanya karena menulis semacam counter
opinion untuk tulisan “Agama Warisan” yang disebarkan Afi. Secara umum
sudah bisa kita duga, tulisan Gilang tersebut mendapatkan dua jenis respon
sebagaimana tulisan-tulisan Afi. Yang disayangkan, narasi Gilang dalam
tulisannya terlihat sangat menggurui. Dengan menggunakan panggilan “Dek Afi”
yang mencoba untuk terlihat akrab namun juga terasa sangat jelas bahwa Gilang menempatkan
dirinya sebagai sosok superior
terhadap Afi yang inferior dimatanya.
Gilang seperti ingin menegaskan dengan jelas bahwa apa yang digagas Afi dalam
tulisan-tulisannya adalah salah dan perlu untuk segera dibenarkan dengan
mengajukan cara pandang yang seharusnya. Tentu cara pandang dalam ukuran dan
perspektif seorang Gilang.
Orang-orang yang sudah membenci Afi seperti
mendapatkan Shot Gun dengan peluru
yang penuh untuk kemudian menembakkannya secara membabi buta kepada Afi. Adalah
tulisan Gilang yang dijadikan Shot Gun
tersebut sebagai ide yang sangat mewakili mereka yang sudah memendam emosi yang
menunggu untuk segera diluapkan namun miskin dengan ide untuk melakukan counter. Ditambah, pengakuan “plagiarisme”
yang dia lakukan dalam “Agama Warisan” menambah mudah untuk orang-orang atau
kelompok yang anti dengan pluralisme untuk segera mungkin menghabisi anak yang
sedang berjuang untuk mengajak Indonesia sadar tentang telah hilangnya etika dalam
memberi reaksi terhadap gejala sosial yang terjadi.
Saya sendiri telah membaca tulisan-tulisan Afi
terutama sejak “Agama Warisan” menjadi buah bibir netizen belakangan ini. Yang saya lihat dari tulisan-tulisan Afi
adalah tulisan jujur yang tidak memiliki potensi provokasi-destruktif
samasekali. Sebaliknya, bila kita mau secara tulus membuka diri untuk menyelami
nilai-nilai inti dari tulisan-tulisan Afi, kita akan melihat sebuah kegelisahan
dari seorang anak yang menginginkan segala pertengkaran saudara-saudaranya di
rumah besar bernama Indonesia, itu seharusnya bisa selesai dengan saling
memahami perbedaan sebagai fitrah dari Tuhan dan kemudian saling memaafkan
kesalahan yang terlanjur dilakukan.
Ketika saya membaca tulisan Gilang yang seharusnya
bisa lebih dewasa terhitung dia adalah seorang mahasiswa kedokteran di kota dan
negara berpemikiran maju dan moderat seperti Dresden, Jerman. Faktanya, usia
dan tempatnya belajar kurang begitu berkorelasi terhadap pemikirannya. Dia
terlihat ingin meraih simpati publik atau kelompok yang telah membenci Afi agar
diwakili perasaannya dengan adanya tulisan yang dia buat dan terkesan sangat menghakimi
dengan menganut kebenaran keyakinan dan menghadapkannya dengan logika Afi. Saya
tidak melihat itu sebagai ajakan untuk sadar, sebaliknya, memperuncing
perbedaan pandang secara lebih jauh dan mengajak pada perdebatan yang sangat kontra-produktif.
Gilang dengan jelas memosisikan dirinya sebagai
seorang oposisi yang pemikirannya sedang bertarung dan harus menang demi
memuaskan birahi kebencian para pembenci Afi. Dengan kalimat-kalimat dalam
tulisannya yang dimaksudkan untuk meluruskan pemikiran dan gagasan Afi yang dia
anggap menyimpang, Gilang malah terlihat begitu arogan dan tidak mau sebatas mencoba
untuk mengenal Afi lebih jauh demi validitas penghakimannya yang seharusnya
bisa lebih adil dan objektif. Namun bila Gilang sendiri memang sudah tak ingin
adil sejak dalam pikiran, maka tulisan yang dia tujukan kepada Afi adalah
sebuah bentuk perlawanan yang jelas dan harus dia menangkan.
Dalam banyak status yang dia tulis pasca
pro-kontra tulisan tanggapannya terhadap Afi, Gilang semakin percaya diri dengan
banyaknya orang yang membagikan dan menyukai status-status facebooknya dan menganggap dirinya sebagai pendakwah terkhusus
untuk meluruskan orang seperti Afi Nihaya Faradisa. Contoh kalimat dalam
statusnya banyak yang bernilai persuasif-menghakimi seperti “perasaan, saya teh update status untuk
meluruskan nalar adik kecil SMA kita deh, kok pada bawa2 kuliah saya disini
yah?” (20/05/2017), atau status lainnya seperti “Kita nasehatin dek Afi, karena dia muslimah dan punya pemahaman yang
belum Islami. Adalah kewajiban kita meluruskan,..” (24/05/2017). dan bahkan
yang terlihat begitu jelas bahwa Gilang merasa Afi memang sedang tersesat
pemikiran keislamannya dengan mengatakan, “semua
orang butuh proses untuk menjemput hidayah karena hidayah itu mahal. Mungkin
dek Afi lelah ..” (21/05/2017). Terlihat sekali bahwa Gilang dengan segala
kiasan persuasifnya, ingin mengatakan bahwa Afi adalah orang tersesat dan belum
mendapat hidayah dari Allah dan dia adalah orang yang sedang membantu Allah
untuk memberi hidayah itu kepada Afi.
Logika Seorang Afi Melawan Keyakinan Fanatik
Bila anda sudah mengikuti tulisan-tulisan Afi,
anda akan melihat ide-ide yang sederhana dan sangat mudah dimengerti oleh
pembaca tingkat apapun. Dalam banyak tulisannya, Afi lebih mengedepankan logika
diantara setiap kegelisahan emosional yang dia rasakan dalam hatinya. Dia tidak
mengutip ayat secara literal kalimatnya dalam rangka melegitimasi ide-idenya seperti
apa yang Gilang telah lakukan sehingga bisa diterima oleh pembaca dan penikmat
keyakinan yang skriptural, namun Afi lebih menawarkan pembaca untuk menyentuh
ranah substansi nilai keagamaan (Islam) lebih dalam yang dia perlihatkan pada
banyak kasus-kasus empiris yang dia lihat disekitarnya.
Sedangkan Gilang sebagai oposisi pemikiran dari
Afi, melakukan atau merespon ide-ide yang Afi tulis dengan cara yang sangat
konvensional dan memang ingin aman. Gilang tidak berani keluar zona dogma yang
menuntutnya untuk bisa lebih rasional, kritis dan tidak cukup hanya dengan yakin.
Gilang mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah banyak juga direspon oleh
pemerhati makna dan tafsir pada bidang tersebut yang menyatakan banyak
pemaknaan Gilang yang kurang tepat terhadap ayat-ayat yang dengan sederhana disodorkan
dan sedikit memaksa untuk diamini oleh Afi dan sekaligus oleh pengagumnya.
Saya teringat dalam kajian filsafat, bahwa
fenomena yang sering terjadi ketika seorang rasionalis ingin memaparkan
kebenaran logis dan universal kepada seorang fanatis buta, maka kebenaran itu
akan tetap disalahkan atas nama keyakinan. Semakin anda menunjukkan kesalahan
berpikir seorang fanatis, maka semakin mereka merasa benar dengan dirinya.
Meskipun ini terlalu terburu-buru, namun saya melihat potensi fanatisme dari tulisan
Gilang sebagai responnya terhadap Afi ini jelas hidup dan terlihat.
Kemunduran Literasi Dari Generasi ke Generasi
Aspek yang paling krusial yang ingin saya bahas
sebagai penutup kolom opini ini adalah tentang miskinnya kualitas dan kapabilitas
masyarakat hari ini terutama kaum muda-pemula dalam dunia literasi. Media
sosial semacam facebook adalah salah
satu media paling bebas menampilkan segala bentuk tulisan yang sangat
provokatif. Facebook sendiri sudah
dibekali piranti terbarunya untuk mendeteksi kiriman atau tulisan yang
berpotensi menimbulkan efek provokatif-destruktif dengan cara pelaporan dari
penggunanya yang dilengkapi dengan alasan-alasan mengapa pengguna facebook tersebut merasa harus
melaporkan tulisan atau unggahan yang berpotensi negatif. Namun saya melihat tools yang dirancang facebook masih jauh dari mampu untuk
mengatasi hancurnya literasi di media sosial yang diakses oleh miliaran manusia
di planet ini.
Masyarakat pembaca media sosial umumnya adalah
mereka yang termasuk pada golongan junk-readers
yang saya istilahkan secara pribadi. Mereka yang memahami berbagai kajian
sosial secara instan yang hanya bersumber dari tulisan 3-4 paragraf dan merasa
cukup sebagai sumber primer untuk menjadi landasan bersikap terkait banyak isu
yang terjadi. Terdapat lebih banyak kelompok komentator dibanding verifikator
informasi. Ketika para pembaca instan ini telah terbangun sebagai seorang
fanatik dengan nilai-nilai yang begitu sempit, maka mereka hanya akan dan mau
menerima informasi menurut selera “keyakinan” nya masing-masing saja.
Contohnya adalah banyak netizen yang telah
tergiring opini tentang adanya media
kafir, media sekular dan media Islami.
Sehingga ketika mereka mendapat atau membaca informasi dari sumber-sumber yang
telah mereka klasifikasi secara sempit itu, maka hanya akan ada dua hal yang
muncul – berita yang mereka anggap hoax
(bila kabar berasal dari media yang bersebrangan) dan factual (bila dari media yang mereka “yakini” benar). Inilah
penyakit akut para netizen yang
kemudian termanifestasi ke dalam tindakan-tindakan mereka misalnya adalah dengan
mudah menyebarkan hoax dan malah
membantah segala bentuk informasi faktual lantaran mindset mereka yang telah tertutup fanatisme buta untuk tidak suka
dengan medianya dan dengan informasi yang terasa memojokkan kelompoknya meski
hal itu memang faktual sebagaimana adanya.
Terlepas dengan plagiarisme Afi pada “Agama
Warisan” yang tidak bisa kita benarkan sama sekali, satu hal yang terlihat
jelas melalui sikap yang ditunjukkan oleh netizen oposisi Afi adalah tentang
penentangan ide pluralisme dan inklusivismenya. Mungkin diantara para
pengkritiknya, adalah mereka yang rajin melakukan copy-paste tulisan dari orang-orang yang datang dengan ide yang
sama, dengan selera yang sama meski tanpa menyertakan nama penulis aslinya,
yang penting satu selera dan sudah pasti boleh di copy-paste semaunya. Mereka dengan gembira menggunakan kenyataan plagiarisme
sebagai senjata pamungkas untuk menghabisi IDE besar yang Afi bawa. Sekali lagi
ini tentang kebencian terhadap ide.
Fenomena ini menjadi era penjajahan kemerdekaan
berpikir kritis sebagian masyarakat kita hari ini. Lebih jauh, banyak orang
dibentuk untuk menjadi prematur dalam berpendapat menyikapi berbagai isu sosial
masyarakat. Sebagai kalimat penutup, saya ingin tegaskan bahwa kasus Afi adalah
satu diantara banyaknya kasus tentang kemiskinan kualitas literasi masyarakat
yang masih dalam proses bertransisi dari media manual-tradisional ke media progesif-digital,
juga pembangunan karakter keilmuan yang instan yang tidak mampu menyaring
informasi secara lebih kritis atas faktualitasnya.