Monday, 19 June 2017

Serangan Terhadap Ide-Ide Pluralisme dan Inklusivisme Seorang Afi Nihaya Faradisa

Oleh: Ramdan Nugraha



Kompleksnya kondisi sosio-politik Indonesia hari ini yang telah ditandai terutama sejak kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada masa sebelum kontestasi pilkada Jakarta yang berlangsung pada bulan April lalu, rupanya memiliki radius sosial yang masih sangat kuat terasa sampai hari ini. Meskipun telah ada pasangan Anis-Sandi sebagai pemenang pilkada Jakarta tersebut dan juga telah diputuskannya vonis hukum terhadap Ahok untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dia lakukan dengan konsekuensi penjara selama dua tahun tanpa ada banding darinya.
Dalam panasnya situasi politik bangsa saat ini, hadir seorang gadis belia yang baru saja menyelesaikan studinya di bangku SMA di daerah Banyuwangi Jawa Timur. Dia hadir di panggung media sosial yang hampir seluruh penduduk negeri ini berinteraksi satu sama lain didalamnya. Dengan keterampilannya menulis, Afi Nihaya Faradisa yang akrab dipanggil Afi dalam akun facebooknya, dengan jujur dan berani menuliskan segala bentuk kegelisahan yang sangat jarang bisa dirasakan oleh umumnya anak seusianya. Dia menyampaikan segala keluh-kesahnya terhadap corak pemikiran dan gaya bersikap sebagian penduduk Indonesia kontemporer yang belum lama ini berseteru disebabkan perbedaan pilihan dan pandangan politik.
Tulisan-tulisan Afi bernada persuasif-kritis dengan menawarkan ide-ide pluralisme dan inklusivisme ketengah masyarakat heterogen Indonesia yang semakin kehilangan nilai-nilai toleransinya dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Dengan kemasan kalimat yang sangat jujur dan memang pada beberapa bagian terlihat sangat berani untuk menentang kejahatan yang terjadi, Afi rupanya telah berhasil menyampaikan kritik tajam terhadap tidak sedikit pihak yang belum mampu sedewasa dan seterbuka dirinya dalam menanggapi suatu hal atau peristiwa yang terjadi di sekitar. Namun sayang, kritikan Afi yang dia sampaikan melalui tulisan-tulisannya yang dia unggah pada laman akun facebook miliknya rupanya tidak bisa diterima oleh beberapa pihak. Dengan arogan, kelompok-kelompok yang tidak suka dengan ide-ide dan kritik Afi itu kemudian memberi respon dengan sangat tidak dewasa.



“Agama Warisan” dan Respon Reaktif-Destruktif
Dari sekian banyak tulisan yang telah Afi tulis dan dibagikan melalui akun facebooknya, tulisan dengan judul “Agama Warisan” yang belakangan secara berani dia akui sebagai tulisan yang dia copy dari seorang bernama Mita, menjadi yang paling ramai mendapat respon baik positif maupun negatif. Tulisan itu telah ribuan kali dibagikan ulang dengan ribuan komentar yang muncul secara beragam. Tulisan yang pesan utamanya adalah mengajak masyarakat untuk bisa menghargai para pemeluk agama yang berbeda dan hidup harmonis dalam bingkai kebhinekaan Indonesia. Banyak orang baik muda maupun tua memberikan dukungan mereka terhadap Afi. Namun tidak sedikit juga yang mendiskriminasi Afi secara berlebihan dalam kolom komentar pada tiap tulisannya.
Diskriminasi itu dilakukan dalam bentuk olokan (bullying). Salah satu contohnya adalah ketika Afi disebut anak ingusan yang tidak paham agama atau pemahaman keagamaan Afi yang dangkal sehingga menjadi sesat dalam berpendapat, juga dengan mengatakan bahwa Afi adalah korban pendidikan yang gagal karena begitu dekat dengan paham pluralisme yang dianggap sesat oleh sebagian dan sementara kelompok masyarakat yang tidak menyukainya, dan diskriminasi-diskriminasi lainnya.
Sampai setelah keramaian itu, ada akun facebook lain dengan nama Gilang Kazuya Shimura yang mendadak populer namanya karena menulis semacam counter opinion untuk tulisan “Agama Warisan” yang disebarkan Afi. Secara umum sudah bisa kita duga, tulisan Gilang tersebut mendapatkan dua jenis respon sebagaimana tulisan-tulisan Afi. Yang disayangkan, narasi Gilang dalam tulisannya terlihat sangat menggurui. Dengan menggunakan panggilan “Dek Afi” yang mencoba untuk terlihat akrab namun juga terasa sangat jelas bahwa Gilang menempatkan dirinya sebagai sosok superior terhadap Afi yang inferior dimatanya. Gilang seperti ingin menegaskan dengan jelas bahwa apa yang digagas Afi dalam tulisan-tulisannya adalah salah dan perlu untuk segera dibenarkan dengan mengajukan cara pandang yang seharusnya. Tentu cara pandang dalam ukuran dan perspektif seorang Gilang.
Orang-orang yang sudah membenci Afi seperti mendapatkan Shot Gun dengan peluru yang penuh untuk kemudian menembakkannya secara membabi buta kepada Afi. Adalah tulisan Gilang yang dijadikan Shot Gun tersebut sebagai ide yang sangat mewakili mereka yang sudah memendam emosi yang menunggu untuk segera diluapkan namun miskin dengan ide untuk melakukan counter. Ditambah, pengakuan “plagiarisme” yang dia lakukan dalam “Agama Warisan” menambah mudah untuk orang-orang atau kelompok yang anti dengan pluralisme untuk segera mungkin menghabisi anak yang sedang berjuang untuk mengajak Indonesia sadar tentang telah hilangnya etika dalam memberi reaksi terhadap gejala sosial yang terjadi.
Saya sendiri telah membaca tulisan-tulisan Afi terutama sejak “Agama Warisan” menjadi buah bibir netizen belakangan ini. Yang saya lihat dari tulisan-tulisan Afi adalah tulisan jujur yang tidak memiliki potensi provokasi-destruktif samasekali. Sebaliknya, bila kita mau secara tulus membuka diri untuk menyelami nilai-nilai inti dari tulisan-tulisan Afi, kita akan melihat sebuah kegelisahan dari seorang anak yang menginginkan segala pertengkaran saudara-saudaranya di rumah besar bernama Indonesia, itu seharusnya bisa selesai dengan saling memahami perbedaan sebagai fitrah dari Tuhan dan kemudian saling memaafkan kesalahan yang terlanjur dilakukan.
Ketika saya membaca tulisan Gilang yang seharusnya bisa lebih dewasa terhitung dia adalah seorang mahasiswa kedokteran di kota dan negara berpemikiran maju dan moderat seperti Dresden, Jerman. Faktanya, usia dan tempatnya belajar kurang begitu berkorelasi terhadap pemikirannya. Dia terlihat ingin meraih simpati publik atau kelompok yang telah membenci Afi agar diwakili perasaannya dengan adanya tulisan yang dia buat dan terkesan sangat menghakimi dengan menganut kebenaran keyakinan dan menghadapkannya dengan logika Afi. Saya tidak melihat itu sebagai ajakan untuk sadar, sebaliknya, memperuncing perbedaan pandang secara lebih jauh dan mengajak pada perdebatan yang sangat kontra-produktif.
Gilang dengan jelas memosisikan dirinya sebagai seorang oposisi yang pemikirannya sedang bertarung dan harus menang demi memuaskan birahi kebencian para pembenci Afi. Dengan kalimat-kalimat dalam tulisannya yang dimaksudkan untuk meluruskan pemikiran dan gagasan Afi yang dia anggap menyimpang, Gilang malah terlihat begitu arogan dan tidak mau sebatas mencoba untuk mengenal Afi lebih jauh demi validitas penghakimannya yang seharusnya bisa lebih adil dan objektif. Namun bila Gilang sendiri memang sudah tak ingin adil sejak dalam pikiran, maka tulisan yang dia tujukan kepada Afi adalah sebuah bentuk perlawanan yang jelas dan harus dia menangkan.
Dalam banyak status yang dia tulis pasca pro-kontra tulisan tanggapannya terhadap Afi, Gilang semakin percaya diri dengan banyaknya orang yang membagikan dan menyukai status-status facebooknya dan menganggap dirinya sebagai pendakwah terkhusus untuk meluruskan orang seperti Afi Nihaya Faradisa. Contoh kalimat dalam statusnya banyak yang bernilai persuasif-menghakimi seperti “perasaan, saya teh update status untuk meluruskan nalar adik kecil SMA kita deh, kok pada bawa2 kuliah saya disini yah?” (20/05/2017), atau status lainnya seperti “Kita nasehatin dek Afi, karena dia muslimah dan punya pemahaman yang belum Islami. Adalah kewajiban kita meluruskan,..” (24/05/2017). dan bahkan yang terlihat begitu jelas bahwa Gilang merasa Afi memang sedang tersesat pemikiran keislamannya dengan mengatakan, “semua orang butuh proses untuk menjemput hidayah karena hidayah itu mahal. Mungkin dek Afi lelah ..” (21/05/2017). Terlihat sekali bahwa Gilang dengan segala kiasan persuasifnya, ingin mengatakan bahwa Afi adalah orang tersesat dan belum mendapat hidayah dari Allah dan dia adalah orang yang sedang membantu Allah untuk memberi hidayah itu kepada Afi.


Logika Seorang Afi Melawan Keyakinan Fanatik
Bila anda sudah mengikuti tulisan-tulisan Afi, anda akan melihat ide-ide yang sederhana dan sangat mudah dimengerti oleh pembaca tingkat apapun. Dalam banyak tulisannya, Afi lebih mengedepankan logika diantara setiap kegelisahan emosional yang dia rasakan dalam hatinya. Dia tidak mengutip ayat secara literal kalimatnya dalam rangka melegitimasi ide-idenya seperti apa yang Gilang telah lakukan sehingga bisa diterima oleh pembaca dan penikmat keyakinan yang skriptural, namun Afi lebih menawarkan pembaca untuk menyentuh ranah substansi nilai keagamaan (Islam) lebih dalam yang dia perlihatkan pada banyak kasus-kasus empiris yang dia lihat disekitarnya.
Sedangkan Gilang sebagai oposisi pemikiran dari Afi, melakukan atau merespon ide-ide yang Afi tulis dengan cara yang sangat konvensional dan memang ingin aman. Gilang tidak berani keluar zona dogma yang menuntutnya untuk bisa lebih rasional, kritis dan tidak cukup hanya dengan yakin. Gilang mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah banyak juga direspon oleh pemerhati makna dan tafsir pada bidang tersebut yang menyatakan banyak pemaknaan Gilang yang kurang tepat terhadap ayat-ayat yang dengan sederhana disodorkan dan sedikit memaksa untuk diamini oleh Afi dan sekaligus oleh pengagumnya.
Saya teringat dalam kajian filsafat, bahwa fenomena yang sering terjadi ketika seorang rasionalis ingin memaparkan kebenaran logis dan universal kepada seorang fanatis buta, maka kebenaran itu akan tetap disalahkan atas nama keyakinan. Semakin anda menunjukkan kesalahan berpikir seorang fanatis, maka semakin mereka merasa benar dengan dirinya. Meskipun ini terlalu terburu-buru, namun saya melihat potensi fanatisme dari tulisan Gilang sebagai responnya terhadap Afi ini jelas hidup dan terlihat.

Kemunduran Literasi Dari Generasi ke Generasi
Aspek yang paling krusial yang ingin saya bahas sebagai penutup kolom opini ini adalah tentang miskinnya kualitas dan kapabilitas masyarakat hari ini terutama kaum muda-pemula dalam dunia literasi. Media sosial semacam facebook adalah salah satu media paling bebas menampilkan segala bentuk tulisan yang sangat provokatif. Facebook sendiri sudah dibekali piranti terbarunya untuk mendeteksi kiriman atau tulisan yang berpotensi menimbulkan efek provokatif-destruktif dengan cara pelaporan dari penggunanya yang dilengkapi dengan alasan-alasan mengapa pengguna facebook tersebut merasa harus melaporkan tulisan atau unggahan yang berpotensi negatif. Namun saya melihat tools yang dirancang facebook masih jauh dari mampu untuk mengatasi hancurnya literasi di media sosial yang diakses oleh miliaran manusia di planet ini.
Masyarakat pembaca media sosial umumnya adalah mereka yang termasuk pada golongan junk-readers yang saya istilahkan secara pribadi. Mereka yang memahami berbagai kajian sosial secara instan yang hanya bersumber dari tulisan 3-4 paragraf dan merasa cukup sebagai sumber primer untuk menjadi landasan bersikap terkait banyak isu yang terjadi. Terdapat lebih banyak kelompok komentator dibanding verifikator informasi. Ketika para pembaca instan ini telah terbangun sebagai seorang fanatik dengan nilai-nilai yang begitu sempit, maka mereka hanya akan dan mau menerima informasi menurut selera “keyakinan” nya masing-masing saja.
Contohnya adalah banyak netizen yang telah tergiring opini tentang adanya media kafir, media sekular dan media Islami. Sehingga ketika mereka mendapat atau membaca informasi dari sumber-sumber yang telah mereka klasifikasi secara sempit itu, maka hanya akan ada dua hal yang muncul – berita yang mereka anggap hoax (bila kabar berasal dari media yang bersebrangan) dan factual (bila dari media yang mereka “yakini” benar). Inilah penyakit akut para netizen yang kemudian termanifestasi ke dalam tindakan-tindakan mereka misalnya adalah dengan mudah menyebarkan hoax dan malah membantah segala bentuk informasi faktual lantaran mindset mereka yang telah tertutup fanatisme buta untuk tidak suka dengan medianya dan dengan informasi yang terasa memojokkan kelompoknya meski hal itu memang faktual sebagaimana adanya.
Terlepas dengan plagiarisme Afi pada “Agama Warisan” yang tidak bisa kita benarkan sama sekali, satu hal yang terlihat jelas melalui sikap yang ditunjukkan oleh netizen oposisi Afi adalah tentang penentangan ide pluralisme dan inklusivismenya. Mungkin diantara para pengkritiknya, adalah mereka yang rajin melakukan copy-paste tulisan dari orang-orang yang datang dengan ide yang sama, dengan selera yang sama meski tanpa menyertakan nama penulis aslinya, yang penting satu selera dan sudah pasti boleh di copy-paste semaunya. Mereka dengan gembira menggunakan kenyataan plagiarisme sebagai senjata pamungkas untuk menghabisi IDE besar yang Afi bawa. Sekali lagi ini tentang kebencian terhadap ide.
Fenomena ini menjadi era penjajahan kemerdekaan berpikir kritis sebagian masyarakat kita hari ini. Lebih jauh, banyak orang dibentuk untuk menjadi prematur dalam berpendapat menyikapi berbagai isu sosial masyarakat. Sebagai kalimat penutup, saya ingin tegaskan bahwa kasus Afi adalah satu diantara banyaknya kasus tentang kemiskinan kualitas literasi masyarakat yang masih dalam proses bertransisi dari media manual-tradisional ke media progesif-digital, juga pembangunan karakter keilmuan yang instan yang tidak mampu menyaring informasi secara lebih kritis atas faktualitasnya.