Oleh: Ramdan Nugraha
Malala, Perempuan di Tengah Kondisi Sosial Masyarakat Pakistan
Posisi perempuan dalam kehidupan sosial rupanya masih saja dilihat oleh
sebagian dan sementara kelompok sebagai
suatu entitas yang perlu untuk diisolasi di dalam ruang- ruang terbatas dan
hanya perlu disibukkan oleh urusan dapur dan kasur semata. Suara perempuan
didengar sebelah telinga dan pendapat-pendapat mereka hanya menjadi semacam
rengekan kelompok yang tidak mengerti apapun dalam forum-forum diskusi yang
tidak perlu dipertimbangkan ide dan gagasannya ketika disuarakan.
Bahkan diskriminasi semacam inipun sampai harus dilegitimasi oleh
hukum-hukum agama yang ditafsirkan secara paksa—oleh sementara ahli agama
pragmatis yang melakukan perlawanan terhadap modernisme—bahwa wanita lahir
hanya untuk mengurus berbagai hal ihwal rumah tangga dan anak saja. Pandangan
sempit yang dengan segala cara mencoba mendapat dukungan dari banyak kalangan
ini adalah produk tradisi lama yang sudah tidak relevan sama sekali di era post-modernisme yang sedang kita jalani
hari ini.
Terlahir sebagai seorang gadis keturunan suku Pashtun (Pakistan), Malala Yousafzai adalah satu diantara
sedikit sekali wanita muda di dunia yang berani tampil ke permukaan untuk
menyuarakan gagasannya secara lantang meski harus berjuang ditengah hegemoni
sosial politik yang sangat riskan dan ekstrim yang terjadi disekeliling tempat
dia tinggal. Dalam usianya yang saat itu baru 14 tahun, Malala tercatat sebagai
aktivis wanita termuda yang mendermakan perjuangannya untuk kemanusiaan dan hak
pendidikan wanita terutama di negaranya yang sedang terlibat dalam konflik
politik dengan kelompok teroris Taliban.
Tradisi kelompok masyarakat (Pashtun) Pakistan yang menganggap kelahiran
bayi laki- laki adalah berkah yang patut dirayakan secara seremonial,
sebaliknya, kelahiran seorang bayi perempuan tidak memberikan keistimewaan dan
tidak perlu adanya perayaan. Namun ayah Malala, Ziauddin
Yousafzai, berpandangan lain dengan mengatakan “aku melihat ada sesuatu
yang berbeda dari anak ini“ (Mcloughlin, 2014).
Dalam artikel yang diterbitkan oleh Dominican Youth Forum, Mcloughlin
(2014) juga menambahkan bahwa nama Malala sendiri ternyata merupakan nama salah
satu pahlawan wanita terkenal di Afghanistan pada abad 19 ketika perang antara
Britania dan Afghanistan sedang berkecamuk. Ketika para pejuang laki-laki
Afghanistan terpuruk dan hampir menyerah, seorang wanita bernama Malala
mencopot kerudungnya ditengah medan perang dan mengajak semua pejuang untuk
tidak menjadi pecundang. Tokoh yang namanya diturunkan pada bayi dari kedua
orang tua bernama Ziauddin Yousafzai dan Tor Pekai Yousafzai ini yang kemudian
menjadi semacam inspirasi dan kebanggaan untuk Malala kecil ketika setiap kali
mendengar cerita heroik tentang sang pejuang wanita yang sering diceritakan
ayahnya itu.
Sebagai seorang remaja, Malala memiliki kepekaaan sosial yang boleh jadi
sama-sama dirasakan oleh banyak anak perempuan lain seusianya tidak hanya di
Pakistan, namun diberbagai negara di dunia yang mengalami intimidasi oleh
kelompok-kelompok yang masih memandang perempuan sebagai makhluk inferior yang
jauh lebih lemah di mata mereka. Namun, keberanian Malala untuk menyuarakan
semangat pembebasan hak perempuan terutama untuk mendapat pendidikan ternyata
begitu ditentang oleh Taliban sebagai kelompok teror yang menerjemahkan
nilai-nilai Islam secara serampangan.
Ayah Malala, Ziauddin Yousafzai adalah seorang sastrawan, anggota
aktivis perdamaian (Swat’s Peace Jirga),
aktivis pendidikan dan pemilik sekolah (Chai, Gordon, dan Johnson, 2014: 2)
yang mendirikan sekolah Khushal School yang
juga merupakan tempat dimana Malala dan teman-teman perempuannya mendapatkan
pengetahuan dan proses pembelajaran formal. Namun disebabkan sang ayah yang
selalu menjadi “oposisi” Taliban yang sangat vokal dalam setiap aktivitas
perlawanannya terhadap Taliban terutama dengan mendirikan sekolah yang
menampung siswa perempuan didalamnya, keluarga Yousafzai menjadi target khusus
Taliban. Dalam catatan Malala dan Lamb (2013), Zahid Khan yang merupakan salah
satu teman dekat Ziauddin, ditembak wajahnya oleh Taliban dalam perjalanan
untuk menunaikan sholat. Setelah kejadian itu, semua orang disekeliling
keluarga Yousafzai mengatakan “berhati-hatilah, anda akan menjadi yang
selanjutnya” (hal. 9).
Kondisi sosial politik yang seharusnya membuat Malala takut karena nyawa
sudah menjadi teruhan untuk
perjuangannya itu, sama
sekali tidak bisa
memadamkan api semangatnya untuk
mengajak dunia mau mendengar jeritan seorang gadis—yang keamanan hidupnya
menjadi seorang aktivis pendidikan tidak ada satu pihak pun yang bisa
menjamin—tentang perjuangannya membebaskan perempuan dari intimidasi dan perampasan
hak. Ini yang kemudian menjadi pembeda antara Malala dan banyak gadis lainnya
yang mendapat perlakukan yang sama namun memilih untuk diam dan menjalani
penderitaan dan intimidasi sebagai jalan hidup mereka di tengah kelompok
radikal dan pandir yang secara paksa mengatur tradisi masyarakat menurut apa
yang mereka yakini secara egosentris.
Kegelisahan Malala Yousafzai
Lahir sebagai seorang perempuan di suatu daerah dengan kondisi pola pikir
masyarakat—terutama pria dan kelompok konservatif Pakistan pada umumnya—yang
tidak menghormati perempuan, Malala merasakan suatu kegelisahan atas situasi
diskriminatif dimana hak-hak kesetaraan yang dimiliki perempuan telah dirampas
dan dijajah oleh superioritas laki-laki yang melarang perempuan untuk
mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Lebih jauh, eksistensi
kelompok teror Taliban telah memperburuk kondisi ini yang kemudian menjadi
suatu kejahatan kemanusiaan yang berlangsung dengan umum karena diamnya
masyarakat baik laki-laki terlebih perempuan untuk melawan penguasaan Taliban
di Pakistan. Taliban mengancam siapa saja yang tidak mau mengikuti hukum sosial
yang mereka perintahkan atas nama agama dan siap melakukan eksekusi pembunuhan
bila ada yang berani untuk tetap melawan.
Diskriminasi terhadap perempuan ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Di
berbagai negara yang hidup dengan latar belakang sejarah atau pemikiran
masyarakatnya yang masih primitif dan tidak pernah direinterpretasi,
menciptakan kondisi yang memaksa perempuan untuk tetap berada dibawah dan
dibelakang laki-laki. Perempuan dianggap lebih lemah dalam banyak hal dibanding
laki-laki. Orang seringkali terperangkap dalam stereotyping gender dimana pandangannya telah terpengaruh oleh
indoktrinasi cara pandang sempit masa lalu. Sebagai contoh yang paling sering
ditemui misalnya bila seorang laki-laki tidak berani melakukan sesuatu yang
umumnya dilakukan oleh laki-laki lain, dia akan dicemooh dengan
pernyataan-pernyataan yang membawa unsur perempuan didalamnya semisal: “kalau
tidak berani, kamu pakai gincu saja”. Kata gincu digunakan untuk menyatakan
bahwa orang itu seperti
perempuan yang lemah
karena gincu sendiri
umumnya dipakai oleh perempuan.
Pernyataan umum lainnya misalnya “lambat sekali nyetir mobilnya, jangan-jangan supirnya perempuan”.
Tanpa kita sadari, paradigma berpikir seperti tersebut diatas telah
menjadi biasa dan berlangsung pada banyak konteks kehidupan masyarakat
sehari-hari. Fenomena tersebut tidak terjadi secara instan namun telah
mengalami proses panjang dan turun-temurun pada setiap generasi. Kondisi ini
akan sulit berhenti bila tidak ada upaya penyadaran secara substantif pada pola
pikir masyarakatnya terutama bagi sementara kaum laki-laki yang selalu menganggap diri mereka adalah
superior dan perempuan adalah inferior.
Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi temuan penelitian Hafazah (2015:
501) yang mengungkapkan bahwa hak hidup perempuan, bahkan sejak dalam kandungan
telah banyak yang tidak terpenuhi. Seperti yang pernah terjadi di India dan
Cina ketika janin yang terdeteksi berjenis kelamin perempuan kemudian janin
tersebut akhirnya harus diaborsi hanya karena adanya kebijakan family planning yang mengharuskan sebuah
keluarga hanya mempunyai satu anak saja dan lebih mengutamakan anak laki-laki
dibanding perempuan sebab dianggap lebih ‘bernilai’ secara ekonomi dan sosial.
Ini menjadi temuan yang sangat ironis dimana masalah diskriminasi gender telah
begitu memfosil kuat bahkan ditengah arus globalisasi dan modernisme yang
seharusnya bisa lebih membebaskan.
Hal-hal tersebut diatas menjadi kegelisahan dan mendorong seorang gadis
Pashtun 14 tahun—yang seharusnya bisa hidup tenang dalam pergaulan
remajanya—berani bersuara lantang menentang intimidasi sosial yang tidak bisa
berhenti dengan sendirinya. Malala meyakini bahwa pendidikan adalah
satu-satunya kunci hidup yang beradab dengan pernyataan yang ia sampaikan sebagai
penutup pidatonya pada 12 Juli 2013 yang sekaligus dijadikan Malala Day sebagai simbol perlawanan
atas diskriminasi hak pendidikan untuk perempuan (Chai, Gordon, dan Johnson,
2014: 3). Dalam penutup pidatonya, dia berkata “One child, one teacher, one pen and one book can change the world.
Education is the only solution. Education first”.
Perjuangan Malala dan Nilai-Nilai Reflektif
Pada tanggal 9 Oktober 2012, Malala mendapatkan episode hidupnya
yang mungkin tidak pernah dia bayangkan
sama sekali dengan ditembakannya peluru milik teroris Taliban yang mengenai
lekuk mata bagian kiri, serta peluru-peluru lainnya yang juga berhasil menyasar teman-temannya di dalam bus sekolah. Namun darah dan rasa sakit
yang dia rasakan tak
membuatnya diam dan menyerah dalam trauma, sebaliknya, Malala semakin berani
dan lantang melanjutkan perjuangan yang telah dia mulai bahkan dengan daya
jangkau dan akses yang jauh lebih luas lintas negara dan benua pasca dia
sembuh.
Kehadiran seorang Malala Yousafzai tentu telah memberikan kontribusi
yang sangat positif terhadap dunia dan
kemanusiaan yang hari ini—bagi kelompok-kelompok
konservatif-radikal—memosisikan perdamaian sebagai suatu hal yang asing bahkan
harus diberangus ketika hal itu mengganggu semangat jihad parsial-sempit
kelompok egois yang menawarkan “kebenaran” milik mereka tanpa menghormati dan
toleran terhadap kebenaran universal kemanusiaan.
Ada beberapa aspek penting yang telah dibawa dan digaungkan oleh Malala.
Yang pertama adalah pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia. Malala
belajar banyak dari ayahnya—Ziauddin Yousafzai—tentang peran dan fungsi
pendidikan yang telah merubah pola pikirnya
sejak awal. Malala teringat ayahnya yang sangat percaya bahwa lemahnya
pendidikan adalah akar dari seluruh masalah di Pakistan (Malala and Lamb, 2013:
26). Indoktrinasi tradisional masyarakat Pakistan yang umumnya percaya bahwa
perempuan tidak harus sekolah dan tidak akan pernah setara dengan laki-laki
dalam bidang pendidikan telah begitu kuat terbentuk dan menghalangi mimpi serta
harapan para perempuan untuk maju dan percaya diri mengisi pembangunan
negaranya. Malala hadir untuk meruntuhkan dinding kebodohan demi terbentuknya
perempuan-perempuan yang mampu memenuhi haknya untuk bisa setara dengan
laki-laki dalam dunia pendidikan.
Aspek yang kedua adalah keberanian berpendapat dihadapan para pembunuh
kemanusiaan ketika apa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang benar dan
bermanfaat secara luas dan universal. Taliban adalah kelompok teroris besar
dengan pasukan yang siap membunuh kapanpun dan siapapun yang mereka temui
sebagai musuh dan menghambat perjuangan mereka. Malala sadar nyawanya telah
begitu terancam, namun diam menurutnya bukanlah sebuah jalan keselamatan untuk
mengakhiri semua jenis intimidasi. Dia bahkan telah berpikir jauh sebelum hari
dimana Taliban menembaknya:
“Aku pernah membayangkan ketika perjalanan pulang ke rumah, bisa saja
seorang teroris menghampiri dan menembak ku. Aku tidak tahu apa yang akan ku
lakukan. Mungkin akan ku lepas sepatu dan melemparnya ke arah teroris itu. Tapi
kemudian aku berpikir bila aku melakukannya, maka tidak ada bedanya antara aku
dan teroris itu. Lebih baik aku katakan: baik, tembaklah tapi dengarkan
aku
dulu.
Apa
yang
kamu
lakukan
itu
salah.
Aku
tidak menyerang mu
secara pribadi, aku
hanya ingin setiap
perempuan bisa
sekolah”.
(Malala and Lamb, 2013: 9)
Aspek paling penting lainnya adalah kepekaan dan kepedulian terhadap
lingkungan sosial disekitar kita. Malala tidak hanya peka terhadap kondisi
sosial dilingkungannya, namun dia juga
peduli dengan cara berjuang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang gadis 14
tahun yang sudah mampu menulis dan berpendapat di berbagai kesempatan dan forum
tentang pentingnya pendidikan dan mengajak seluruh perempuan untuk berani
melawan tirani yang sangat mengintimidasi mereka dengan cara menimba ilmu ke
sekolah. Kampanye pendidikan yang kerap ia lakukan bersama ayahnya bukan tanpa
resiko, namun kepedulian sosialnya terlampau
besar dan mengalahkan segala bentuk ketakutannya.
REFERENSI
Chai, Jaclyn, Gordon, Rachel and Johnson, Paula A. (2014). Malala Yousafzai:
A Young
Female Activist. Harvard Global Health Institute
Hafazah, Iklimatul (2015). Ketidakadilan Terhadap Perempuan Dalam Novel I’am Malala Karya Malala
Yousafzai Dan Cristina Lamb. NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015. Hal.
497-507
Mcloughlin, Pamela (2014). Who is Malala. Dominican Youth Forum, diunduh
dari google pada 10 Juli 2017, pukul 21.17 WIB.
Yousafzai, Malala and Lamb, Christina (2013). I am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and was
Shot by the Taliban. Eidenfeld & Nicolson, London.