Wednesday, 20 December 2017

Mendiskreditkan Setan Melalui Kesurupan

Oleh: Ramdan Nugraha

Kesurupan bukan merupakan sesuatu  hal baru dalam kehidupan manusia. Fenomena ini telah dikenal oleh masyarakat dunia tidak hanya di Indonesia. Ada beberapa kisah nyata yang kemudian diangkat menjadi sebuah karya audio-visual dalam bentuk film seperti The Conjuring (disutradarai oleh James Wan, 2013) yang cukup sukses menjadi magnet dengan mendatangkan begitu banyak penonton yang rela antri panjang di bioskop dan kemudian membeli tiket film untuk mereka nikmati dengan cara menutup mata mereka sendiri selama hampir seluruh durasi film. Terlepas dari benar atau tidaknya fenomena kesurupan itu disebabkan oleh makhluk halus yang berhasil menguasai tubuh manusia yang dirasukinya, menarik ketika penulis melihat adanya perlakuan diskriminatif kepada objek astral yang telah dikenal akrab dengan sebutan setan.
Dalam lima tahun ke belakang, beberapa stasiun televisi di Indonesia rajin menayangkan program atau acara yang menyuguhkan konten-konten mistis. Misalnya Dunia Lain dan Pemburu Hantu yang pernah sangat digandrungi setiap episodenya oleh masyarakat Indonesia meskipun tidak semua. Konten utama dari acara semacam ini adalah bagaimana “dunia astral” dapat menjadi daya tarik untuk dipertontonkan bahkan diperbincangkan secara langsung sebagai bagian dari konten program untuk memberikan rasa penasaran atau ketakutan yang addictive bagi penonton sehingga mereka akan terus tertarik untuk menyimak setiap episode dalam program tersebut. Dampaknya adalah rating program yang terus naik dan menguntungkan bagi penyelenggara program.
Lebih jauh, kesurupan, sebagai salah satu konten utama yang menjadikan program komersial ini bisa bertahan dan memiliki umat yang setia, melibatkan dua aspek utama yang tidak bisa kita lepaskan yaitu setan dan manusia. Sebagaimana tradisi kepercayaan semua agama semitik, bahwa setan dipersonifikasi sebagai sesuatu yang hidup sebagaimana manusia namun memiliki kemampuan dan ruang atau dimensi yang berbeda. Dan sebagian besar umat beragama sepakat bahwa setan adalah sosok yang diasosiasikan dengan segala hal yang bersifat jahat. Di lain pihak, manusia adalah makhluk yang hampir selalu menjadi korban dari kejahatan setan itu sendiri.
Dari cara pandang tersebut, penulis melihat bahwa manusia telah benar-benar secara simplistis menciptakan image branding terhadap setan yang pada satu sisi memberi banyak keuntungan bagi manusia, namun di sisi lain lari dari fitrahnya sebagai makhluk yang tidak bisa luput dari khilaf dan menyeret setan untuk menjadi sosok yang selalu dipersalahkan atas segala kekhilafan yang seringkali manusia lakukan. Dari pencitraan setan yang jahat itu, terciptalah sebuah paradigma yang mengakar bahwa ketika manusia melakukan sesuatu yang jahat, itu pasti disebabkan oleh pengaruh setan. Disinilah kemudian diskriminasi terhadap setan semakin serius. Sementara manusia sepakat bahwa musuh yang paling jelas adalah setan, padahal, para pembawa pesan spiritual tidak jarang mengingatkan bahwa musuh utama dan paling besar manusia adalah hawa nafsunya sendiri.
Ada beberapa fakta yang memperlihatkan sesuatu yang ganjil dalam fenomena kesurupan. Yang pertama, kesurupan pada umumnya, bahkan bisa dipastikan selalu terjadi di tempat atau ruang yang dihuni oleh lebih dari satu bahkan oleh banyak orang saat kejadian berlangsung. Hal ini masuk akal karena bila seseorang kesurupan sendirian di ruang yang hanya ada dia sendiri, siapa pula yang akan berpura-pura panik dan memberikan perhatian yang memang sangat didambakan oleh orang yang kesurupan tersebut.
Keganjilan yang kedua, orang yang perutnya kenyang karena telah cukup makan tidak pernah kesurupan. Dalam banyak kasus, mereka yang kesurupan adalah orang-orang yang sangat lelah baik fisiknya terlebih lagi batinnya. Oleh sebab itu, beralasan sekali ketika dalam pandangan ilmiah, kesurupan lebih identik dengan masalah kejiwaan seseorang. Jiwa yang ingin diperhatikan, jiwa yang lapar akan kasih sayang. Mereka perlu mengekspresikan emosi yang terpendam dalam bentuk yang histeris dan juga dramatis di depan publik.
Yang ketiga, orang-orang yang kesurupan umumnya melakukan hal atau gerakan yang mudah untuk ditiru semisal berteriak dengan sangat lantang, batuk-batuk plus ngorok, atau kalau vokalnya bagus, dia akan melantunkan lagu yang kemungkinan pernah terekam dalam memori otaknya. Penulis belum pernah melihat seorang yang kesurupan mencari kolam renang lalu melompat ke kolam dengan riang. Atau misalnya, kalau yang kesurupan adalah seorang siswa sekolah, tiba-tiba mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) matematika yang sangat ruwet yang jawabannya biasa dia dapatkan dari hasil contekan.

Dari semua itu, penulis prihatin dengan tingkah beberapa dan sementara manusia yang menjadikan kesurupan sebagai media untuk mengambil keuntungan secara sepihak tanpa mempertimbangkan setan yang boleh jadi telah menjadi korban. Memandang hal ini dengan kacamata keyakinan, mutlak akan membawa jawaban yang seragam bahwa setan, sejak pertamakali menolak titah Tuhan dengan kesombongannya, telah di cap sebagai makhluk terkutuk sampai hari kiamat kelak. Namun, mengasosiasikan kesurupan dengan ulah setan alih-alih dengan ketegangan kejiwaan, adalah cara berpikir egosentris yang menolak akal sehat. Lebih parah lagi, mencari keuntungan dengan cara mengeksploitasi setan dalam bisnis hiburan adalah melelang kewarasan dan membangun dunia fantasi yang semakin basi.