Monday, 23 November 2015

The Classification of Language Acquisition in General

By: Ramdan Nugraha




According to some of the experts on the field of language learning, Djonhar (2012, p.1) sums up that language acquisition classified into three categories; 1) First language, 2) Second language, and 3) Foreign language. She goes further to explain each category with their implication on the teaching of English as Foreign Language (EFL).
Based on many research it is defined that language is a matter of agreement where people or community agree to speak and write using the language they use for communication. The first category named First language (L1) is the language which has been rocognised by people since they were as babies and it was listened in people daily activities. Djonhar (2012, p.1) states L1 or native language or mother tongue is the language primarily learned and used by children or native speakers in a community where the language is spoken.
For the second category named Second language (L2) is defined as the language which is learned by non-native speakers in the environment of community where that language is spoken (Djonhar: 2012, p.1). It could be an example that India is the country who have their own mother tongue (L1) but they decide that English is dominantly spoken as the second language (L2) by the people in many opportunities dealing with the communication in that country.
The last category of language acquisition, Djonhar (2012, p.2) confirms Foreign language is language which refers to a non-native language which is learned and used by non-native speakers in the environment of non-native language. In Indonesia, there are many languages that consist of national language which is Indonesian that used by Indonesian to communicate among different area or ethnic , and then there are the local languages that have big number from each ethnic around Indonesia such as Sundanese, Javanese, and so on. The last one is English as International language and the foreign language at once.
In conclusion, each language category used by countries has its own functions and positions to the people who live in those countries. In addition, it obviously influences the Teaching English as Foreign Language (TEFL) especially for those countries who define English as foreign language must have different approaches with those who have English as the second language or even the mother tongue.

Tuesday, 10 November 2015

EDUCATION ACCORDING TO THE MUSLIM SCHOLARS

Oleh: Ramdan Nugraha



I believe that education is the root of human civilization since it brings ideas and builds the meaning of life in every generation of the mankind. From education, there are a lot of aspects born and influence what people do on earth such as justice, honesty, humanity, morality, cleanliness, tolerance, respectability, belief, etc. It shows that education seems to be the mother of all the good things exist in life.
Besides, the importance of education can be seen from the school curriculum that changes very often adapting the needs of the learners and goals of learning. Most of the countries around the world put more attention to education. Further, Indonesia is the only one country allocating the goverment’s budgeting 20% for education. Those facts are clear enough to define that education has its high position on the top of the states’ priority. In this short writing I would like to figure out the essence of education according to some muslim’s scholars who have been dealing with the field of education with the well-experienced paradigm.
Ahmad Dahlan (1868-1923) is one of the greatest muslim scholars in Indonesia who chose education as the main area for establishing and sharing his thoughts to people in Yogyakarta in order to develop Islamic understanding by directly implemented the Islamic values which popularly called as The Spirit of Al-Ma’un. Kiayi Dahlan believes that education is the important aspect to help people change their mind paradigm to be the better social creature for creating and implemeting good deeds in the social enviroment.
Kiayi Dahlan established Islamic movement that focusing on education namely Muhammadiyah in 1912. He believes that Muhammadiyah as the social organization can bridge and maintain the paradigm direction among its members to the surroundings. Besides, education which is built up in term of organization will easily create cadres with the expected thoughts and paradigm that keep struggling on the right track of doing good things. In this case, the education of religion is the way to run the organization effectively.
Another scholars, Abdul Mu’ti and Fajar Riza Ul Haq (2009) state specifically that education of religion have the meaningful role to create the generation with good character and have more tolerance among society. Since there are a lot of problems happened in Indonesia caused by the less of morality and being intolerance among the believers of religions, the position of education is crucial to be the problem-solving. In further, Sudhamek (2010) assumes education should be viewed as the knowledge industry that can be professionally maintained by the new paradigm.
Education is found to be important too according to Ali bin Abi Thalib (in Rinaldi, 2014) as the fourth Caliphate of Islam who stated that the position of knowledge is much more important than the wealth and there is no serious poverty except the stupidity. It obviously shows that knowledge can be gained through education as the meaningful value in life. That statement clearly defines the role of education has higher level than any other aspects of life such as wealth which means money, houses, clothes, cars, and so on. In fact, education leads and guides human to reach those kind of life’s components or the secondary needs.
In brief, education is strongly integrated with human civilization in shaping the view points to run the life better. I could say that education has become the main aspect for building up the states as what we still remember when Hiroshima and Nagasaki were exploded by America by using the atomic bom in the world war 2. The first question uttered by the survivor was “are there any teachers still alive?”.




References

AWS, Sudhamek (2010). Tantangan dan Rejuvenasi Peran Strategis Muhammadiyah. Jakarta: MAARIF Vol. 5, No. 1 – Juni 2010, p.61-70

Mu’ti, Abdul and Haq, Fajar Riza Ul (2009). Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen Dalam Pendidikan. Ciputat: Al-Wasat Publishing House

Rinaldi, John (2014). Nasihat-Nasihat Emas Khulafau Rasyidin: Pesan-Pesan Agung Dari Penduduk Surga. Yogyakarta: Sabil

Salam, Junus (2009). K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. Ciputat: Al-Wasat Publishing House
 

Friday, 30 October 2015

Tiga Jenis Manusia Yang Membuat Kita Semakin Bertaqwa



Ini bukanlah tulisan akademis nan scientific yang didukung oleh daftar kutipan teori dari berbagai ahli yang sudah kesohor namanya. Ini lebih kepada curhatan warga sipil yang melihat kejanggalan akut yang semakin biasa ditengah gencarnya gerakan keagamaan yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran atas nama Tuhan. Saya harap pembaca tidak men-generalisir poin-poin bahasan tertentu sehingga menimbulkan premis prematur yang tidak esensial. Bila anda mengharapkan kajian mendalam tentang suatu fenomena kontemporer yang hangat dan menarik untuk diperdebatkan, maka anda akhiri dengan click ‘x’ pada sisi kanan atas desktop monitor anda, lalu carilah tulisan lain yang segar dan memuaskan birahi baca anda. Selamat membaca (bagi yang tertarik).
Dalam kehidupan terdapat berbagai macam karakter manusia yang memberi warna tersendiri untuk setiap episode hidup yang dilewati. Ada manusia dengan karakter penyayang, sabar, riang, semangat, rajin, rendah hati, disiplin, cerdas, jujur, sabar, adil, dan lainnya yang tampaknya menjadi reinkarnasi dari karakter kenabian yang pernah Tuhan turunkan untuk mengemban misi masing-masing dengan benang merah yang sama (baca: pendidik akhlak). Mereka adalah manusia terpilih yang ditugaskan untuk membawa misi perdamaian di dunia dengan segala macam sifat dan karakter humanismenya.
Konon, para ulama dan kiayi adalah manusia yang memiliki atau melanjutkan sifat dan karakter kenabian. Sayangnya, kenyataan hari ini terdapat banyak aspek kehidupan sosial nabi yang diikuti oleh ulama yang sifatnya debatable seperti poligami, memanjangkan jenggot dan memakai atribut orang Arab, yang pada intinya tidak menyentuh ranah substantif sunnah yang konstruktif samasekali. Kebanyakan dari ulama sekarang mendefinisikan diri sebagai ulama dengan atribut kasar yang bisa langsung dilihat dari penampilan yang dirasa merepresentasikan karakter mereka.
Saya kira prolog diatas mulai semakin jauh dari bahasan yang ingin saya sajikan pada tulisan saya ini, mohon maaf sedikit terbawa nafsu judging karena realita umat yang makin menyedihkan. Namun semoga prolog diatas masih mampu menjembatani topik yang akan saya bahas. Kali ini saya ingin memuat daftar orang Indonesia dengan karakter dan tingkah laku yang kurang lebih kontrakdiktif yang paradoksinya bisa anda nilai sendiri.

1.    Anti Barat dan Yahudi; karakter orang jenis ini di Indonesia kalau boleh di hitung mungkin jumlahnya akan mengalahkan jumlah pengikut agama manapun, dan itupun setelah jumlah tiap pengikut agama digabungkan (jangan serius dengan metafora, renungkan saja). Bagaimana tidak, hampir setiap saat saya membuka akun facebook, tiada home tanpa kutukan terhadap Barat dan Yahudi dengan menjadikan penderitaan bangsa-bangsa terjajah semacam Palestina, Afghanistan, Libia, dan negara timur tengah lainnya yang sudah sangat lama mengalami banyak pertikaian, sebagai fakta untuk melegitimasi kutukan, cacian, dan segala bentuk kegiatan yang tampaknya semakin mereduksi nilai mereka sebagai manusia. Kenyataan ini memperlihatkan insting mereka untuk bermutasi menjadi hewan semakin jelas arahnya.
Di sisi lain, orang-orang yang mengklaim anti Barat dan Yahudi ini tidak pernah lepas dari perangkat kehidupan yang diciptakan oleh orang-orang barat dan Yahudi seperti; broadcast “mari kita boikot segala macam produk Barat dan Yahudi selama beberapa hari untuk menyelamatkan Indonesia dari rong-rongan asing” (sambil click “send” pada gadget semacam Blackberry atau iphone masing-masing yang software-nya saja banyak berlisensi Barat). Bila fakta ini diketengahkan kehadapan mereka, dengan picik dan tanpa malu mereka menjawab; “kalau untuk kepentingan dakwah umat, gak salah dong”. Itu seperti jual ganja untuk biaya jihad peperangan.
2.    Copy-paste-share – based; karakter jenis kedua inipun tidak kalah banyaknya. Bahkan mereka yang terkategori Anti Barat dan Yahudi seperti tersebut diatas juga sebagian besar menjadi pengikut –isme kedua ini secara otomatis. Hal ini bisa secara sederhana diilustrasikan seperti orang yang mengayuh sepeda, kaki kanan dan kaki kirinya akan secara otomatis saling bersautan mengayuh pedal sepeda untuk bisa menjalankan sepedanya. Hal demikian tidaklah keliru atau boleh jadi adalah usaha yang baik dengan syarat sepeda itu tidak ada kerusakan, kaki-kaki si pengemudi itu masih mampu berkreasi dengan gerakan-gerakan tersendiri sesuai dengan kebutuhan dan arah perjalanan yang dituju. Jadi tidak hanya mengayuh mengikuti putaran roda begitu saja yang entah kapan berhenti dan kemana sepeda itu berjalan.
Fakta ini terjadi disebabkan kurangnya minat mengkaji keabsahan berita atau informasi yang diterima secara liar dalam media online yang dapat dibuat dan diakses siapa saja yang berkepentingan. Tanpa filter yang baik, kegiatan meng-copy-paste kemudian di share (bahkan kadang informasinya tidak dibaca utuh) membawa mereka pada penyimpangan pemikiran yang secara tidak sadar menjadi candu sejenis nikotin pada rokok, yang mereka tahu itu tidaklah baik namun tetap ‘enak’ untuk dilakukan demi memenuhi hasrat kebencian atas individu, kelompok, public figure, agama, suku, negara, faham, dll.
Secara paradoks, orang-orang penganut –isme ini akan jauh lebih memuliakan postingan tokoh yang dikaguminya dibandingkan ayat-ayat dalam kitab suci untuk men-generalisir cara pandangnya terhadap sesuatu hal. Padahal kalau boleh berburuk sangka, kajian pemikiran tokoh-tokohnya pun masih jauh dari nilai-nilai kontekstual kitab suci. Lantas bagaimana bisa menjadi instrument ukur pokok dan ijma untuk penyelesaian masalah yang kompleksitasnya lebih ‘lebat’ daripada jenggot pria-pria Arab.
Satu hal lagi yang perlu saya sampaikan bahwa ketika postingan mereka diperdebatkan dalam kolom komentar oleh orang-orang yang berbeda pendapat secara ekstrim, penganut Copy-paste-share – based ini seringkali menjawab; “anda bacalah banyak informasi dan jangan sembarang percaya dengan orang-orang berpemikiran sesat!”. Sayapun tak henti tertawa atas kebinguan alasan yang bisa membuat saya tertawa.
3.    Words’ Worshipper; nomenklatur karakter ketiga ini sebetulnya bukanlah –isme kontemporer yang seksi atau semacamnya. Saya hanya mencoba untuk membuatnya bisa terbaca lebih “what fuckin’ is this?” oleh anda yang sedang membaca tulisan saya saat ini. Ini adalah pengalaman pribadi usai mengikuti perkuliahan di kelas Pasca Sarjana di Jakarta. Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa setidaksetuju-apapun saya terhadap suatu hal atau pemikiran seseorang, tidak akan menjadi alasan untuk saya menjauhi atau antipati terhadap orang-orang tersebut (kecuali bila sudah masuk tindakan fisik warisan Arab kuno itu). Saya memiliki kawan yang sangat berambisi untuk menegakkan aturan Tuhan di muka bumi dengan berlandaskan sebuah perkataan Nabi yang entah kalau serius dikaji keabsahannya pasti akan menimbulkan perpecahan yang parah antar pengikut agamanya. Saya melihat alasan itu lebih politis dibanding skenario Ustad tertentu dengan penyanyi dangdut yang menjadi mainstream pembunuhan (atau nampaknya pengungkapan) karakter sebenarnya para Ustad di partai politik.
Kembali pada pembahasan kawan saya tadi, kami pulang bareng ke arah stasiun kereta. Sesampainya disana, kawan saya ini harus top-up kartu karena limit saldo yang bisa saja membuatnya kena penalti atas keterbatasan saldo kartu kereta. Dia memutuskan untuk ikut antri sebagai warga negara yang patuh hukum. Selesai kartu yang sudah tersisi, dengan cara jalan yang santai dia menghampiri saya sambil melempar kertas bukti top-up kartu kereta. Yang membuat saya bingung kemana arah lemparannya itu karena tempat sampah berada sekitar tiga meter didepan kami. Sambil ngobrol saya melihat gulungan kertas yang diremas itu jatuh tidak pada tempat yang seharusnya. Saya tahu pelanggaran itu mungkin tidak akan membawanya ke jeruji, namun secara tidak langsung dia telah menjadi salah satu orang yang menghancurkan ajaran agama yang mencatat bahwa kebersihan adalah bagian dari keimanan. Dengan kejadian itu, saya melihat nilai agama tidak ada yang dicuri oleh Barat atau bahkan oleh para ateis, namun nilai-nilai itu dibuang begitu saja hanya karena tak ada ancaman jeruji di negara ini. Padahal bila dikaji serius, kesadaran manusia terhadap kebersihan lengkungan menjadi salah satu indikator utama negara itu maju atau mundur seperti yang dikatakan oleh Pak Dr. Hajriyanto Y. Thohari dalam salah satu majelis ilmu.
Saya memiliki pengalaman lain yang kurang lebih sama terkait orang-orang yang jago menghafal tapi jauh dari meng-amalkan. Kejadian ini terjadi ketika saya berangkat ke tempat mengajar yang dimulai siang hari pukul 14.00 wib. Hari itu saya telah di-sms ayah agar berangkat kerja lebih awal karena akan ada pawai besar peserta lomba MTQ se-kabupaten tempat saya tinggal. Saya terbiasa berangkat satu jam sebelum masuk mengajar, jadi agak sulit untuk berangkat lebih awal karena kopi saya yang habis tak bisa menghentikan aktifitas membaca halaman buku yang sudah hampir tamat di perpustakaan pribadi saya di rumah.
Benar adanya saya terjebak macet yang Jakarta saja nampaknya belum pernah mengalami macet separah ini. Jalan menjadi samudra manusia yang bahkan tidak memberi hak kendaraan untuk berjalan sebagaimana mestinya. Syukur saya kepada Tuhan bahwa diberikan jalan untuk terjebak macet dan bisa menyaksikan fenomena yang membuat saya hampir mati rasa. Saya sempatkan parkir motor dipinggir jalan dan pergi membeli somay karena perut yang keroncongan dan keyakinan bahwa petaka ini tidak akan cepat selesai. Dari tempat saya makan somay lah saya melihat satu aktifitas yang mungkin dianggap biasa karena dilihat dari banyaknya jumlah pelaku kegiatan tersebut. Setiap regu MTQ dari masing-masing wilayah membawa air minum gelas yang mereka minum guna mengurangi dahaga dibawah terik mentari sepanjang jalan pawai. Namun perilaku orang-orang berjubah, bersorban, beberapa memakai kacamata koboi hitam yang terlihat gagah itu, dengan tanpa dosa membuang gelas plastik yang airnya telah habis mereka minum ditengah jalan raya yang mengingatkan saya pada orang badui yang katanya tidak beragama dan mundur peradabannya, tapi saya lihat orang badui lebih tau bagaimana menjaga kebersihan dibanding para cendikiawan ini. Ditambah dengan puntung rokok yang melukis jalan raya menjadi abstraksi yang sangat sulit dibaca dan indah pun tidak. Sungguh paradoksi yang begitu agung terbungkus oleh kata, nasihat, wejangan, yang biasa mereka sampaikan dimajelis-majelis ilmu, terlebih kegiatan ini adalah lomba “menghafal” ayat dalam kitab suci, namun mengapa begitu jauh dari mengamalkannya dalam kehidupan.

Sebagai penutup, saya berharap kita jangan terlalu mensakralkan kata-kata terlebih bila kata-kata itu keluar dari mulut orang tertentu yang kelakuannya tidak lebih banyak dari jumlah jenggot kambingnya. Dari ketiga karakter manusia diatas, tidak ada satupun yang pantas kita semua contoh, namun berpikirlah lebih bijak bahwa keberadaan mereka di dunia adalah penyeimbang bisa tegaknya kebenaran di atas kejahatan.

Fastabiqul Khairat!

Ramdan Nugraha
28 Oktober 2015

Sunday, 4 October 2015

Sabda Ku Lewat Mercusuar Logika



Oleh: Ramdan Nugraha
Ingin rasanya aku berperang melawan pengikut hawa nafsu
Atas nama Tuhan yang telah mereka gadai demi meraih imperium
Akan kujadikan Al-Qur’an sebagai peluru
Ku tembakan melalui meriam pemikiran
Semoga mereka berdarah-darah memahaminya
dan kehausan meminum ibrah-nya
hingga matilah kekultusannya
lalu menjelma ruh-ruh abadi setelahnya
dalam puncak pencerahan paripurna