Thursday, 10 August 2017

Pertikaian Yang Melelahkan: Mari Kembali Pada Perdamaian

Oleh: Ramdan Nugraha



Kondisi sosial politik Indonesia hari ini sungguh sangat memprihatinkan. Dibawah cita-cita kebhinekaan, kita sesama anak bangsa mengalami amnesia dengan saling menghujat, saling beradu tinju dijalanan dan dilingkungan tempat tinggal yang tak lagi asri. Harus saya sampaikan bahwa ini adalah murni tulisan dari hati salah seorang anak bangsa yang sudah tidak tahan menyaksikan tangisan ibu pertiwi. Mengapa kita semakin gila hari ini? saya tahu betul banyak dari kita yang masih lapar dan pulang petang demi menyambung episode hari esok. Namun pantaskah menjalaninya dengan langkah-langkah penuh dendam dan semangat peperangan untuk memberangus sesama generasi yang dilahirkan dari rahim yang sama –Indonesia—sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan pada keadaan?
Sejak terpilihnya Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu, kubu-kubu fanatisme yang belum bisa dewasa menerima hasil kontestasi politik mulai mengkristalkan diri sampai hari ini. Buntut paling akhirnya adalah kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok yang kemudian ditunggangi oleh begitu banyaknya intrik yang menyakiti keadilan. Tidak sedikit saudara kita yang murni terjebak ketulusan perjuangannya dalam politik praktis yang tidak mereka pahami samasekali. Ingat, jangan langsung gila dan panas membaca kalimat tersebut dengan menuduh saya tim sukses atau pasukan nasi bungkus Ahok sebagaimana yang hampir selalu saya baca di timeline media sosial generasi Indonesia hari ini antara kubu yang bertikai. Saya tidak ada kepentingan apapun kecuali ingin bangsa ini kembali sehat dari kegilaannya yang semakin kronis.
Rangkaian demonstrasi penggiringan opini untuk menghukum Ahok secara lebih cepat mengisyaratkan dengan kuat bahwa ada yang sedang tidak beres dengan bangsa ini. Penyakitnya adalah kecurigaan yang sudah tidak ada batasan. Penegak hukum yang dianggap memihak dan disutradarai pemerintah misalnya. Padahal vonis yang belum lama keluar adalah menjawab bahwa memang pemerintah tidak mencoba mengintervensi hukum untuk membela Ahok. Banyak diantara kita menaruh “curiga” sebagai prioritas utama untuk menilai ketika dihadapkan pada sebuah isu atau peristiwa. Sedemikian kotorkah hati kita sehingga sulit melihat dan menilai segala hal dengan lebih jernih?
Segala hal yang dilakukan oleh pihak yang tidak kita senangi secara otomatis tidak memberi garansi apapun untuk kita bisa percaya atau paling tidak sekadar untuk mendengar. Sebaliknya, hal munafik dan jahat apapun yang dilakukan oleh pihak yang kita senangi akan tetap kita jaga bahkan kita dukung secara taqlid. Saya tidak sedang mengadakan pembelaan terhadap Ahok atau pun oposisinya. Saya sedang ingin mengundang kewarasan untuk hadir ditengah-tengah kita sebagai hakim yang dengan hatinya melihat, bukan dengan mata nafsu dan ketakutannya bertindak.
Tidak sanggupkah kita berdamai dengan perbedaan? Tidak sanggupkah kita berdialog dalam gagasan perubahan? Negeri ini sedang dalam keadaan koma kawan-kawan. Masihkah etis kita sibuk berebut warisan ditengah penderitaannya? Saya kini sampai pada kehampaan harapan tentang bangsa yang maju. Tentang bangsa yang pernah didambakan Bung Karno untuk bisa sejajar dengan Amerika dan Inggris bahkan melebihi keduanya. Tentang bangsa yang menjadi poros kekuatan dunia dengan sumber daya alamnya yang tidak dimiliki bangsa manapun di planet ini.
Mengapa beberapa kelompok besar yang waras seperti NU dan Muhammadiyah seperti tidak berdaya memanjatkan koneksi doa-doanya kepada Tuhan? Lalu apakah cukup doa-doa itu tanpa perbuatan yang lebih berani untuk merubah keadaan? Kita semua bertikai hari ini karena dua hal pokok: kelompok dengan kondisi yang sangat senjang dan kelompok yang membiarkan. Segala macam forum diskusi kemanusiaan hanya mengalami kemandulannya untuk melahirkan solusi dalam rangka mengatasi masalah di negeri ini. kita terlalu ragu dan malu untuk berdamai, bahkan kita terlalu takut untuk hidup dalam keberagaman. Mari pahamkan beberapa anak bangsa yang khilafnya sudah keterlaluan. Kekayaan mereka tidak akan bisa mereka bawa ke padang mahsyar bahkan ke dalam kubur sekalipun yang waktunya tidak perlu lama untuk dihitung bahkan sejak hari ini.
Wahai para koruptor, saya memohon mari kita berdamai dan membangun bangsa ini secara beradab. Ini bukan tentang agama, etnis, suku, status sosial, namun jauh dari itu semua, kita perlu kembali pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Mari saling memaafkan khilaf dalam rumah kita yang mulai butuh banyak sekali perbaikan. Atas nama bangsa Indonesia yang saya cintai, saya mengajak semua manusia di negeri ini untuk menyudahi semua permusuhan, semua pertikaian, dan mari kembali sebagai saudara yang saling memaafkan dan melangkah lebih baik ke depan.

Ramdan Nugraha, anak bangsa dari Kabupaten Bogor bagian barat.

Wednesday, 9 August 2017

Mengenal Malala: Memperjuangkan Hak di Tengah Diskriminasi dan Teror



Oleh: Ramdan Nugraha


Malala, Perempuan di Tengah Kondisi Sosial Masyarakat Pakistan

Posisi perempuan dalam kehidupan sosial rupanya masih saja dilihat oleh sebagian  dan sementara kelompok sebagai suatu entitas yang perlu untuk diisolasi di dalam ruang- ruang terbatas dan hanya perlu disibukkan oleh urusan dapur dan kasur semata. Suara perempuan didengar sebelah telinga dan pendapat-pendapat mereka hanya menjadi semacam rengekan kelompok yang tidak mengerti apapun dalam forum-forum diskusi yang tidak perlu dipertimbangkan ide dan gagasannya ketika disuarakan.
Bahkan diskriminasi semacam inipun sampai harus dilegitimasi oleh hukum-hukum agama yang ditafsirkan secara paksa—oleh sementara ahli agama pragmatis yang melakukan perlawanan terhadap modernisme—bahwa wanita lahir hanya untuk mengurus berbagai hal ihwal rumah tangga dan anak saja. Pandangan sempit yang dengan segala cara mencoba mendapat dukungan dari banyak kalangan ini adalah produk tradisi lama yang sudah tidak relevan sama sekali di era post-modernisme yang sedang kita jalani hari ini.
Terlahir sebagai seorang gadis keturunan suku Pashtun (Pakistan), Malala Yousafzai adalah satu diantara sedikit sekali wanita muda di dunia yang berani tampil ke permukaan untuk menyuarakan gagasannya secara lantang meski harus berjuang ditengah hegemoni sosial politik yang sangat riskan dan ekstrim yang terjadi disekeliling tempat dia tinggal. Dalam usianya yang saat itu baru 14 tahun, Malala tercatat sebagai aktivis wanita termuda yang mendermakan perjuangannya untuk kemanusiaan dan hak pendidikan wanita terutama di negaranya yang sedang terlibat dalam konflik politik dengan kelompok teroris Taliban.
Tradisi kelompok masyarakat (Pashtun) Pakistan yang menganggap kelahiran bayi laki- laki adalah berkah yang patut dirayakan secara seremonial, sebaliknya, kelahiran seorang bayi perempuan tidak memberikan keistimewaan dan tidak perlu adanya perayaan.  Namun ayah Malala, Ziauddin Yousafzai, berpandangan lain dengan mengatakan “aku melihat ada sesuatu yang berbeda dari anak ini“ (Mcloughlin, 2014).
Dalam artikel yang diterbitkan oleh Dominican Youth Forum, Mcloughlin (2014) juga menambahkan bahwa nama Malala sendiri ternyata merupakan nama salah satu pahlawan wanita terkenal di Afghanistan pada abad 19 ketika perang antara Britania dan Afghanistan sedang berkecamuk. Ketika para pejuang laki-laki Afghanistan terpuruk dan hampir menyerah, seorang wanita bernama Malala mencopot kerudungnya ditengah medan perang dan mengajak semua pejuang untuk tidak menjadi pecundang. Tokoh yang namanya diturunkan pada bayi dari kedua orang tua bernama Ziauddin Yousafzai dan Tor Pekai Yousafzai ini yang kemudian menjadi semacam inspirasi dan kebanggaan untuk Malala kecil ketika setiap kali mendengar cerita heroik tentang sang pejuang wanita yang sering diceritakan ayahnya itu.
Sebagai seorang remaja, Malala memiliki kepekaaan sosial yang boleh jadi sama-sama dirasakan oleh banyak anak perempuan lain seusianya tidak hanya di Pakistan, namun diberbagai negara di dunia yang mengalami intimidasi oleh kelompok-kelompok yang masih memandang perempuan sebagai makhluk inferior yang jauh lebih lemah di mata mereka. Namun, keberanian Malala untuk menyuarakan semangat pembebasan hak perempuan terutama untuk mendapat pendidikan ternyata begitu ditentang oleh Taliban sebagai kelompok teror yang menerjemahkan nilai-nilai Islam secara serampangan.
Ayah Malala, Ziauddin Yousafzai adalah seorang sastrawan, anggota aktivis  perdamaian (Swat’s Peace Jirga), aktivis pendidikan dan pemilik sekolah (Chai, Gordon, dan Johnson, 2014: 2) yang mendirikan sekolah Khushal School yang juga merupakan tempat dimana Malala dan teman-teman perempuannya mendapatkan pengetahuan dan proses pembelajaran formal. Namun disebabkan sang ayah yang selalu menjadi “oposisi” Taliban yang sangat vokal dalam setiap aktivitas perlawanannya terhadap Taliban terutama dengan mendirikan sekolah yang menampung siswa perempuan didalamnya, keluarga Yousafzai menjadi target khusus Taliban. Dalam catatan Malala dan Lamb (2013), Zahid Khan yang merupakan salah satu teman dekat Ziauddin, ditembak wajahnya oleh Taliban dalam perjalanan untuk menunaikan sholat. Setelah kejadian itu, semua orang disekeliling keluarga Yousafzai mengatakan “berhati-hatilah, anda akan menjadi yang selanjutnya” (hal. 9).
Kondisi sosial politik yang seharusnya membuat Malala takut karena nyawa sudah menjadi  teruhan  untuk  perjuangannya  itu,  sama   sekali  tidak  bisa  memadamkan api semangatnya untuk mengajak dunia mau mendengar jeritan seorang gadis—yang keamanan hidupnya menjadi seorang aktivis pendidikan tidak ada satu pihak pun yang bisa menjamin—tentang perjuangannya membebaskan perempuan dari intimidasi dan perampasan hak. Ini yang kemudian menjadi pembeda antara Malala dan banyak gadis lainnya yang mendapat perlakukan yang sama namun memilih untuk diam dan menjalani penderitaan dan intimidasi sebagai jalan hidup mereka di tengah kelompok radikal dan pandir yang secara paksa mengatur tradisi masyarakat menurut apa yang mereka yakini secara egosentris.

Kegelisahan Malala Yousafzai

Lahir sebagai seorang perempuan di suatu daerah dengan kondisi pola pikir masyarakat—terutama pria dan kelompok konservatif Pakistan pada umumnya—yang tidak menghormati perempuan, Malala merasakan suatu kegelisahan atas situasi diskriminatif dimana hak-hak kesetaraan yang dimiliki perempuan telah dirampas dan dijajah oleh superioritas laki-laki yang melarang perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Lebih jauh, eksistensi kelompok teror Taliban telah memperburuk kondisi ini yang kemudian menjadi suatu kejahatan kemanusiaan yang berlangsung dengan umum karena diamnya masyarakat baik laki-laki terlebih perempuan untuk melawan penguasaan Taliban di Pakistan. Taliban mengancam siapa saja yang tidak mau mengikuti hukum sosial yang mereka perintahkan atas nama agama dan siap melakukan eksekusi pembunuhan bila ada yang berani untuk tetap melawan.
          Diskriminasi terhadap perempuan ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Di berbagai negara yang hidup dengan latar belakang sejarah atau pemikiran masyarakatnya yang masih primitif dan tidak pernah direinterpretasi, menciptakan kondisi yang memaksa perempuan untuk tetap berada dibawah dan dibelakang laki-laki. Perempuan dianggap lebih lemah dalam banyak hal dibanding laki-laki. Orang seringkali terperangkap dalam stereotyping gender dimana pandangannya telah terpengaruh oleh indoktrinasi cara pandang sempit masa lalu. Sebagai contoh yang paling sering ditemui misalnya bila seorang laki-laki tidak berani melakukan sesuatu yang umumnya dilakukan oleh laki-laki lain, dia akan dicemooh dengan pernyataan-pernyataan yang membawa unsur perempuan didalamnya semisal: “kalau tidak berani, kamu pakai gincu saja”. Kata gincu digunakan untuk menyatakan bahwa orang  itu  seperti  perempuan  yang  lemah  karena  gincu  sendiri  umumnya  dipakai    oleh perempuan. Pernyataan umum lainnya misalnya “lambat sekali nyetir mobilnya, jangan-jangan supirnya perempuan”.
Tanpa kita sadari, paradigma berpikir seperti tersebut diatas telah menjadi biasa dan berlangsung pada banyak konteks kehidupan masyarakat sehari-hari. Fenomena tersebut tidak terjadi secara instan namun telah mengalami proses panjang dan turun-temurun pada setiap generasi. Kondisi ini akan sulit berhenti bila tidak ada upaya penyadaran secara substantif pada pola pikir masyarakatnya terutama bagi sementara kaum laki-laki  yang selalu menganggap diri mereka adalah superior dan perempuan adalah inferior.
Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi temuan penelitian Hafazah (2015: 501) yang mengungkapkan bahwa hak hidup perempuan, bahkan sejak dalam kandungan telah banyak yang tidak terpenuhi. Seperti yang pernah terjadi di India dan Cina ketika janin yang terdeteksi berjenis kelamin perempuan kemudian janin tersebut akhirnya harus diaborsi hanya karena adanya kebijakan family planning yang mengharuskan sebuah keluarga hanya mempunyai satu anak saja dan lebih mengutamakan anak laki-laki dibanding perempuan sebab dianggap lebih ‘bernilai’ secara ekonomi dan sosial. Ini menjadi temuan yang sangat ironis dimana masalah diskriminasi gender telah begitu memfosil kuat bahkan ditengah arus globalisasi dan modernisme yang seharusnya bisa lebih membebaskan.
Hal-hal tersebut diatas menjadi kegelisahan dan mendorong seorang gadis Pashtun 14 tahun—yang seharusnya bisa hidup tenang dalam pergaulan remajanya—berani bersuara lantang menentang intimidasi sosial yang tidak bisa berhenti dengan sendirinya. Malala meyakini bahwa pendidikan adalah satu-satunya kunci hidup yang beradab dengan pernyataan yang ia sampaikan sebagai penutup pidatonya pada 12 Juli 2013 yang sekaligus dijadikan Malala Day sebagai simbol perlawanan atas diskriminasi hak pendidikan untuk perempuan (Chai, Gordon, dan Johnson, 2014: 3). Dalam penutup pidatonya, dia berkata “One child, one teacher, one pen and one book can change the world. Education is the only solution. Education first”.

Perjuangan Malala dan Nilai-Nilai Reflektif

Pada tanggal 9 Oktober 2012, Malala mendapatkan episode hidupnya yang  mungkin tidak pernah dia bayangkan sama sekali dengan ditembakannya peluru milik teroris Taliban yang mengenai lekuk mata bagian kiri, serta peluru-peluru lainnya yang juga berhasil menyasar teman-temannya di dalam bus sekolah. Namun darah dan rasa sakit yang dia rasakan tak membuatnya diam dan menyerah dalam trauma, sebaliknya, Malala semakin berani dan lantang melanjutkan perjuangan yang telah dia mulai bahkan dengan daya jangkau dan akses yang jauh lebih luas lintas negara dan benua pasca dia sembuh.
Kehadiran seorang Malala Yousafzai tentu telah memberikan kontribusi yang  sangat positif terhadap dunia dan kemanusiaan yang hari ini—bagi kelompok-kelompok konservatif-radikal—memosisikan perdamaian sebagai suatu hal yang asing bahkan harus diberangus ketika hal itu mengganggu semangat jihad parsial-sempit kelompok egois yang menawarkan “kebenaran” milik mereka tanpa menghormati dan toleran terhadap kebenaran universal kemanusiaan.
Ada beberapa aspek penting yang telah dibawa dan digaungkan oleh Malala. Yang pertama adalah pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia. Malala belajar banyak dari ayahnya—Ziauddin Yousafzai—tentang peran dan fungsi pendidikan yang  telah merubah pola pikirnya sejak awal. Malala teringat ayahnya yang sangat percaya bahwa lemahnya pendidikan adalah akar dari seluruh masalah di Pakistan (Malala and Lamb, 2013: 26). Indoktrinasi tradisional masyarakat Pakistan yang umumnya percaya bahwa perempuan tidak harus sekolah dan tidak akan pernah setara dengan laki-laki dalam bidang pendidikan telah begitu kuat terbentuk dan menghalangi mimpi serta harapan para perempuan untuk maju dan percaya diri mengisi pembangunan negaranya. Malala hadir untuk meruntuhkan dinding kebodohan demi terbentuknya perempuan-perempuan yang mampu memenuhi haknya untuk bisa setara dengan laki-laki dalam dunia pendidikan.
Aspek yang kedua adalah keberanian berpendapat dihadapan para pembunuh kemanusiaan ketika apa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang benar dan bermanfaat secara luas dan universal. Taliban adalah kelompok teroris besar dengan pasukan yang siap membunuh kapanpun dan siapapun yang mereka temui sebagai musuh dan menghambat perjuangan mereka. Malala sadar nyawanya telah begitu terancam, namun diam menurutnya bukanlah sebuah jalan keselamatan untuk mengakhiri semua jenis intimidasi. Dia bahkan telah berpikir jauh sebelum hari dimana Taliban menembaknya:

“Aku pernah membayangkan ketika perjalanan pulang ke rumah, bisa saja seorang teroris menghampiri dan menembak ku. Aku tidak tahu apa yang akan ku lakukan. Mungkin akan ku lepas sepatu dan melemparnya ke arah teroris itu. Tapi kemudian aku berpikir bila aku melakukannya, maka tidak ada bedanya antara aku dan teroris itu. Lebih baik aku katakan: baik, tembaklah tapi dengarkan  aku  dulu.  Apa  yang  kamu  lakukan  itu  salah.  Aku  tidak menyerang   mu   secara   pribadi,   aku   hanya   ingin   setiap   perempuan  bisa
sekolah”. (Malala and Lamb, 2013: 9)

Aspek paling penting lainnya adalah kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sosial disekitar kita. Malala tidak hanya peka terhadap kondisi sosial dilingkungannya,  namun dia juga peduli dengan cara berjuang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang gadis 14 tahun yang sudah mampu menulis dan berpendapat di berbagai kesempatan dan forum tentang pentingnya pendidikan dan mengajak seluruh perempuan untuk berani melawan tirani yang sangat mengintimidasi mereka dengan cara menimba ilmu ke sekolah. Kampanye pendidikan yang kerap ia lakukan bersama ayahnya bukan tanpa resiko, namun kepedulian sosialnya terlampau besar dan mengalahkan segala bentuk ketakutannya.




REFERENSI




Chai, Jaclyn, Gordon, Rachel and Johnson, Paula A. (2014). Malala Yousafzai: A Young  Female Activist. Harvard Global Health Institute

Hafazah, Iklimatul (2015). Ketidakadilan Terhadap Perempuan Dalam Novel I’am Malala Karya Malala Yousafzai Dan Cristina Lamb. NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015. Hal. 497-507

Mcloughlin, Pamela (2014). Who is Malala. Dominican Youth Forum, diunduh dari google pada 10 Juli 2017, pukul 21.17 WIB.

Yousafzai, Malala and Lamb, Christina (2013). I am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and was Shot by the Taliban. Eidenfeld & Nicolson, London.

Monday, 19 June 2017

Serangan Terhadap Ide-Ide Pluralisme dan Inklusivisme Seorang Afi Nihaya Faradisa

Oleh: Ramdan Nugraha



Kompleksnya kondisi sosio-politik Indonesia hari ini yang telah ditandai terutama sejak kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada masa sebelum kontestasi pilkada Jakarta yang berlangsung pada bulan April lalu, rupanya memiliki radius sosial yang masih sangat kuat terasa sampai hari ini. Meskipun telah ada pasangan Anis-Sandi sebagai pemenang pilkada Jakarta tersebut dan juga telah diputuskannya vonis hukum terhadap Ahok untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dia lakukan dengan konsekuensi penjara selama dua tahun tanpa ada banding darinya.
Dalam panasnya situasi politik bangsa saat ini, hadir seorang gadis belia yang baru saja menyelesaikan studinya di bangku SMA di daerah Banyuwangi Jawa Timur. Dia hadir di panggung media sosial yang hampir seluruh penduduk negeri ini berinteraksi satu sama lain didalamnya. Dengan keterampilannya menulis, Afi Nihaya Faradisa yang akrab dipanggil Afi dalam akun facebooknya, dengan jujur dan berani menuliskan segala bentuk kegelisahan yang sangat jarang bisa dirasakan oleh umumnya anak seusianya. Dia menyampaikan segala keluh-kesahnya terhadap corak pemikiran dan gaya bersikap sebagian penduduk Indonesia kontemporer yang belum lama ini berseteru disebabkan perbedaan pilihan dan pandangan politik.
Tulisan-tulisan Afi bernada persuasif-kritis dengan menawarkan ide-ide pluralisme dan inklusivisme ketengah masyarakat heterogen Indonesia yang semakin kehilangan nilai-nilai toleransinya dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Dengan kemasan kalimat yang sangat jujur dan memang pada beberapa bagian terlihat sangat berani untuk menentang kejahatan yang terjadi, Afi rupanya telah berhasil menyampaikan kritik tajam terhadap tidak sedikit pihak yang belum mampu sedewasa dan seterbuka dirinya dalam menanggapi suatu hal atau peristiwa yang terjadi di sekitar. Namun sayang, kritikan Afi yang dia sampaikan melalui tulisan-tulisannya yang dia unggah pada laman akun facebook miliknya rupanya tidak bisa diterima oleh beberapa pihak. Dengan arogan, kelompok-kelompok yang tidak suka dengan ide-ide dan kritik Afi itu kemudian memberi respon dengan sangat tidak dewasa.



“Agama Warisan” dan Respon Reaktif-Destruktif
Dari sekian banyak tulisan yang telah Afi tulis dan dibagikan melalui akun facebooknya, tulisan dengan judul “Agama Warisan” yang belakangan secara berani dia akui sebagai tulisan yang dia copy dari seorang bernama Mita, menjadi yang paling ramai mendapat respon baik positif maupun negatif. Tulisan itu telah ribuan kali dibagikan ulang dengan ribuan komentar yang muncul secara beragam. Tulisan yang pesan utamanya adalah mengajak masyarakat untuk bisa menghargai para pemeluk agama yang berbeda dan hidup harmonis dalam bingkai kebhinekaan Indonesia. Banyak orang baik muda maupun tua memberikan dukungan mereka terhadap Afi. Namun tidak sedikit juga yang mendiskriminasi Afi secara berlebihan dalam kolom komentar pada tiap tulisannya.
Diskriminasi itu dilakukan dalam bentuk olokan (bullying). Salah satu contohnya adalah ketika Afi disebut anak ingusan yang tidak paham agama atau pemahaman keagamaan Afi yang dangkal sehingga menjadi sesat dalam berpendapat, juga dengan mengatakan bahwa Afi adalah korban pendidikan yang gagal karena begitu dekat dengan paham pluralisme yang dianggap sesat oleh sebagian dan sementara kelompok masyarakat yang tidak menyukainya, dan diskriminasi-diskriminasi lainnya.
Sampai setelah keramaian itu, ada akun facebook lain dengan nama Gilang Kazuya Shimura yang mendadak populer namanya karena menulis semacam counter opinion untuk tulisan “Agama Warisan” yang disebarkan Afi. Secara umum sudah bisa kita duga, tulisan Gilang tersebut mendapatkan dua jenis respon sebagaimana tulisan-tulisan Afi. Yang disayangkan, narasi Gilang dalam tulisannya terlihat sangat menggurui. Dengan menggunakan panggilan “Dek Afi” yang mencoba untuk terlihat akrab namun juga terasa sangat jelas bahwa Gilang menempatkan dirinya sebagai sosok superior terhadap Afi yang inferior dimatanya. Gilang seperti ingin menegaskan dengan jelas bahwa apa yang digagas Afi dalam tulisan-tulisannya adalah salah dan perlu untuk segera dibenarkan dengan mengajukan cara pandang yang seharusnya. Tentu cara pandang dalam ukuran dan perspektif seorang Gilang.
Orang-orang yang sudah membenci Afi seperti mendapatkan Shot Gun dengan peluru yang penuh untuk kemudian menembakkannya secara membabi buta kepada Afi. Adalah tulisan Gilang yang dijadikan Shot Gun tersebut sebagai ide yang sangat mewakili mereka yang sudah memendam emosi yang menunggu untuk segera diluapkan namun miskin dengan ide untuk melakukan counter. Ditambah, pengakuan “plagiarisme” yang dia lakukan dalam “Agama Warisan” menambah mudah untuk orang-orang atau kelompok yang anti dengan pluralisme untuk segera mungkin menghabisi anak yang sedang berjuang untuk mengajak Indonesia sadar tentang telah hilangnya etika dalam memberi reaksi terhadap gejala sosial yang terjadi.
Saya sendiri telah membaca tulisan-tulisan Afi terutama sejak “Agama Warisan” menjadi buah bibir netizen belakangan ini. Yang saya lihat dari tulisan-tulisan Afi adalah tulisan jujur yang tidak memiliki potensi provokasi-destruktif samasekali. Sebaliknya, bila kita mau secara tulus membuka diri untuk menyelami nilai-nilai inti dari tulisan-tulisan Afi, kita akan melihat sebuah kegelisahan dari seorang anak yang menginginkan segala pertengkaran saudara-saudaranya di rumah besar bernama Indonesia, itu seharusnya bisa selesai dengan saling memahami perbedaan sebagai fitrah dari Tuhan dan kemudian saling memaafkan kesalahan yang terlanjur dilakukan.
Ketika saya membaca tulisan Gilang yang seharusnya bisa lebih dewasa terhitung dia adalah seorang mahasiswa kedokteran di kota dan negara berpemikiran maju dan moderat seperti Dresden, Jerman. Faktanya, usia dan tempatnya belajar kurang begitu berkorelasi terhadap pemikirannya. Dia terlihat ingin meraih simpati publik atau kelompok yang telah membenci Afi agar diwakili perasaannya dengan adanya tulisan yang dia buat dan terkesan sangat menghakimi dengan menganut kebenaran keyakinan dan menghadapkannya dengan logika Afi. Saya tidak melihat itu sebagai ajakan untuk sadar, sebaliknya, memperuncing perbedaan pandang secara lebih jauh dan mengajak pada perdebatan yang sangat kontra-produktif.
Gilang dengan jelas memosisikan dirinya sebagai seorang oposisi yang pemikirannya sedang bertarung dan harus menang demi memuaskan birahi kebencian para pembenci Afi. Dengan kalimat-kalimat dalam tulisannya yang dimaksudkan untuk meluruskan pemikiran dan gagasan Afi yang dia anggap menyimpang, Gilang malah terlihat begitu arogan dan tidak mau sebatas mencoba untuk mengenal Afi lebih jauh demi validitas penghakimannya yang seharusnya bisa lebih adil dan objektif. Namun bila Gilang sendiri memang sudah tak ingin adil sejak dalam pikiran, maka tulisan yang dia tujukan kepada Afi adalah sebuah bentuk perlawanan yang jelas dan harus dia menangkan.
Dalam banyak status yang dia tulis pasca pro-kontra tulisan tanggapannya terhadap Afi, Gilang semakin percaya diri dengan banyaknya orang yang membagikan dan menyukai status-status facebooknya dan menganggap dirinya sebagai pendakwah terkhusus untuk meluruskan orang seperti Afi Nihaya Faradisa. Contoh kalimat dalam statusnya banyak yang bernilai persuasif-menghakimi seperti “perasaan, saya teh update status untuk meluruskan nalar adik kecil SMA kita deh, kok pada bawa2 kuliah saya disini yah?” (20/05/2017), atau status lainnya seperti “Kita nasehatin dek Afi, karena dia muslimah dan punya pemahaman yang belum Islami. Adalah kewajiban kita meluruskan,..” (24/05/2017). dan bahkan yang terlihat begitu jelas bahwa Gilang merasa Afi memang sedang tersesat pemikiran keislamannya dengan mengatakan, “semua orang butuh proses untuk menjemput hidayah karena hidayah itu mahal. Mungkin dek Afi lelah ..” (21/05/2017). Terlihat sekali bahwa Gilang dengan segala kiasan persuasifnya, ingin mengatakan bahwa Afi adalah orang tersesat dan belum mendapat hidayah dari Allah dan dia adalah orang yang sedang membantu Allah untuk memberi hidayah itu kepada Afi.


Logika Seorang Afi Melawan Keyakinan Fanatik
Bila anda sudah mengikuti tulisan-tulisan Afi, anda akan melihat ide-ide yang sederhana dan sangat mudah dimengerti oleh pembaca tingkat apapun. Dalam banyak tulisannya, Afi lebih mengedepankan logika diantara setiap kegelisahan emosional yang dia rasakan dalam hatinya. Dia tidak mengutip ayat secara literal kalimatnya dalam rangka melegitimasi ide-idenya seperti apa yang Gilang telah lakukan sehingga bisa diterima oleh pembaca dan penikmat keyakinan yang skriptural, namun Afi lebih menawarkan pembaca untuk menyentuh ranah substansi nilai keagamaan (Islam) lebih dalam yang dia perlihatkan pada banyak kasus-kasus empiris yang dia lihat disekitarnya.
Sedangkan Gilang sebagai oposisi pemikiran dari Afi, melakukan atau merespon ide-ide yang Afi tulis dengan cara yang sangat konvensional dan memang ingin aman. Gilang tidak berani keluar zona dogma yang menuntutnya untuk bisa lebih rasional, kritis dan tidak cukup hanya dengan yakin. Gilang mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah banyak juga direspon oleh pemerhati makna dan tafsir pada bidang tersebut yang menyatakan banyak pemaknaan Gilang yang kurang tepat terhadap ayat-ayat yang dengan sederhana disodorkan dan sedikit memaksa untuk diamini oleh Afi dan sekaligus oleh pengagumnya.
Saya teringat dalam kajian filsafat, bahwa fenomena yang sering terjadi ketika seorang rasionalis ingin memaparkan kebenaran logis dan universal kepada seorang fanatis buta, maka kebenaran itu akan tetap disalahkan atas nama keyakinan. Semakin anda menunjukkan kesalahan berpikir seorang fanatis, maka semakin mereka merasa benar dengan dirinya. Meskipun ini terlalu terburu-buru, namun saya melihat potensi fanatisme dari tulisan Gilang sebagai responnya terhadap Afi ini jelas hidup dan terlihat.

Kemunduran Literasi Dari Generasi ke Generasi
Aspek yang paling krusial yang ingin saya bahas sebagai penutup kolom opini ini adalah tentang miskinnya kualitas dan kapabilitas masyarakat hari ini terutama kaum muda-pemula dalam dunia literasi. Media sosial semacam facebook adalah salah satu media paling bebas menampilkan segala bentuk tulisan yang sangat provokatif. Facebook sendiri sudah dibekali piranti terbarunya untuk mendeteksi kiriman atau tulisan yang berpotensi menimbulkan efek provokatif-destruktif dengan cara pelaporan dari penggunanya yang dilengkapi dengan alasan-alasan mengapa pengguna facebook tersebut merasa harus melaporkan tulisan atau unggahan yang berpotensi negatif. Namun saya melihat tools yang dirancang facebook masih jauh dari mampu untuk mengatasi hancurnya literasi di media sosial yang diakses oleh miliaran manusia di planet ini.
Masyarakat pembaca media sosial umumnya adalah mereka yang termasuk pada golongan junk-readers yang saya istilahkan secara pribadi. Mereka yang memahami berbagai kajian sosial secara instan yang hanya bersumber dari tulisan 3-4 paragraf dan merasa cukup sebagai sumber primer untuk menjadi landasan bersikap terkait banyak isu yang terjadi. Terdapat lebih banyak kelompok komentator dibanding verifikator informasi. Ketika para pembaca instan ini telah terbangun sebagai seorang fanatik dengan nilai-nilai yang begitu sempit, maka mereka hanya akan dan mau menerima informasi menurut selera “keyakinan” nya masing-masing saja.
Contohnya adalah banyak netizen yang telah tergiring opini tentang adanya media kafir, media sekular dan media Islami. Sehingga ketika mereka mendapat atau membaca informasi dari sumber-sumber yang telah mereka klasifikasi secara sempit itu, maka hanya akan ada dua hal yang muncul – berita yang mereka anggap hoax (bila kabar berasal dari media yang bersebrangan) dan factual (bila dari media yang mereka “yakini” benar). Inilah penyakit akut para netizen yang kemudian termanifestasi ke dalam tindakan-tindakan mereka misalnya adalah dengan mudah menyebarkan hoax dan malah membantah segala bentuk informasi faktual lantaran mindset mereka yang telah tertutup fanatisme buta untuk tidak suka dengan medianya dan dengan informasi yang terasa memojokkan kelompoknya meski hal itu memang faktual sebagaimana adanya.
Terlepas dengan plagiarisme Afi pada “Agama Warisan” yang tidak bisa kita benarkan sama sekali, satu hal yang terlihat jelas melalui sikap yang ditunjukkan oleh netizen oposisi Afi adalah tentang penentangan ide pluralisme dan inklusivismenya. Mungkin diantara para pengkritiknya, adalah mereka yang rajin melakukan copy-paste tulisan dari orang-orang yang datang dengan ide yang sama, dengan selera yang sama meski tanpa menyertakan nama penulis aslinya, yang penting satu selera dan sudah pasti boleh di copy-paste semaunya. Mereka dengan gembira menggunakan kenyataan plagiarisme sebagai senjata pamungkas untuk menghabisi IDE besar yang Afi bawa. Sekali lagi ini tentang kebencian terhadap ide.
Fenomena ini menjadi era penjajahan kemerdekaan berpikir kritis sebagian masyarakat kita hari ini. Lebih jauh, banyak orang dibentuk untuk menjadi prematur dalam berpendapat menyikapi berbagai isu sosial masyarakat. Sebagai kalimat penutup, saya ingin tegaskan bahwa kasus Afi adalah satu diantara banyaknya kasus tentang kemiskinan kualitas literasi masyarakat yang masih dalam proses bertransisi dari media manual-tradisional ke media progesif-digital, juga pembangunan karakter keilmuan yang instan yang tidak mampu menyaring informasi secara lebih kritis atas faktualitasnya.