Oleh: Ramdan Nugraha
Setelah mengikuti sholat Jum’at kali ini, akhirnya
saya harus menulis kisah ini sebagai puncak dari kekecewaan yang telah dipendam
demi berbaik sangka terhadap segala gejala yang ternyata memang kurang baik. Di
mesjid milik salah satu universitas swasta di Bogor ini, seperti biasanya,
pukul 11.30 wib saya sudah ambil wudhu, bukan karena sikap disiplin saya, namun
lebih kepada tindakan antisipatif saya untuk tetap mendapatkan tempat duduk
dibarisan depan jemaah jum’at, sehingga mudah untuk untuk saya menyimak khutbah
dari sang khotib. Tidak bermaksud riya, namun rasanya ada yang kurang bila
masuk mesjid tanpa menunaikan sholat sunnah, dua rokaat saja saya kerjakan demi
memberikan atmosfir lebih kuat diantara menit-menit masuk pada orbit ilahi hari
itu.
Saya lihat banyak yang melakukan hal yang sama
dengan apa yang telah saya lakukan, hanya kuantitas mereka lebih banyak dan itu
memang lebih baik. Diantara mereka, ada yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan
sebagian lain membaca artikel “Al-Islam” penuh kekhusukan. Tidak lama
kumandang adzan dilantunkan dengan begitu menyentuh hati dan memanggil untuk lebih
mendekat kepada Sang Pencipta. Ow ya, saya lupa menyampaikan bahwa saya duduk
diantara dua jamaah; jemaah disebelah kiri saya berbadan gemuk mengenakan gamis
putih dan berjenggot. Tampaknya dia masih muda berusia diantara 30-35 tahunan,
dan jemaah sebelah kanan saya lelaki sekitar 40-45 tahunan dengan mengenakan
baju koko berwarna biru dan celana bahan hitam.
Khutbah dimulai dan semua berjalan dengan wajar
hingga pada beberapa waktu setelah khotib membuka khutbahnya, tampak laki-laki
gemuk disamping kiri saya mulai menunduk terlihat mendengarkan dengan khusuk. Beberapa
waktu kemudian, laki-laki itu mulai menarik fokus saya dari sang khotib dan membawa
pandangan saya mengarah tepat ke arahnya. Saya melihat laki-laki itu merubah
posisi topangan kepalanya meminggir sehingga terlihat jelas wajahnya yang layu
dengan mata tertutup mirip dengan orang yang sedang tertidur (dan ternyata
memang sedang tidur, hehhe). Saya menyudahi pandangan saya dan melanjutkan
mendengarkan khotib yang membahas tentang bahaya pluralisme yang kebablasan
(entah kenapa kok bahasannya bisa kebetulan mengena sekali di hati dan
pemikiran saya, hahahaha, Subhanallah).
Akhirnya khutbah selesai dan iqomah dikumandangkan dengan diiringi semua jemaah yang segera
berdiri bersiap melakukan doa dalam kemasan gerakan filosofis sholat dan tak
terkecuali dua orang jemaah disamping saya yang ternyata tidak berpindah shaf dan tetap pada posisinya (disamping
saya). Ketika takbir telah digemakan, semua jemaah hening dalam sholatnya. Dalam
keheningan itu, seketika mulai dipecahkan oleh gerakan laki-laki gemuk bergamis
disebelah saya. Dia menggaruk-garuk punggung tangan kirinya dengan jari-jari
tangan kanannya berkali-kali hingga saya terprovokasi untuk menyaksikannya. Kemudian
laki-laki itu berhenti (alhamdulillah), namun prediksi saya salah dengan
mengira rasa gatal ditangannya telah sirna, dia melakukan hal lain yaitu
menggaruk dan mengusap jenggot panjangnya secara agak kasar. Hal itu berjalan tidak
hanya sekali pada rokaat pertama, dan ternyata kegiatannya dilanjutkan juga
dalam rokaat kedua dan semakin mengganggu saya sebagai orang yang berdiri tepat
disamping kanannya karena gerakan yang dia lakukan ternyata membuat badan saya
yang kalah jauh besar menjadi goyang-goyang karena gerakan tangannya yang
menggaruk itu sedikit bersinggungan dengan badan saya.
Yang saya nantikan akhirnya datang, yaitu tahiyat, gerakan orang itu pun akan
berakhir. Saya ingat ketika dia menggaruk bagian yang gatal ditangannya, dia
seperti memberi sedikit liur pada jari-jari kanannya yang dia pakai untuk
menggaruk. Jelas sekali hal itu dilakukan dengan dibarengi suara seperti “jilatan”
kecil dari lidahnya. Saya hanya takjub dengan cara pengobatan gatal seperti
itu, apakah ada penelitian yang telah dilakukan? Hehehhee.
Akhirnya sholat berakhir dan ditutup dengan salam
namun tidak menghentikan analisa temuan sholat Jum’at hari itu. Tidak habis
fikir, seorang yang memakai gamis dan berjenggot panjang kok ritual sholatnya
secuek itu. Saya meyakini betul bahwa bila ada rapat dengan pimpinannya,
mungkin dia akan begitu sigap mendengarkan pidato pimpinannya, nah ini bertemu
Allah swt kok seakan cuma sekedar gerakan maju mundur ruku saja dan naik turun
sujud? Tapi saya ingat kata Ayah saya ketika menunaikan ibadah haji, beliau
mengatakan; “Nu, didepan ka’bah itu
banyak orang-orang gak sopan maen lewat depan bapak yang lagi sholat, kebanyakan
yang sholatnya gak tumaninah itu orang Arabnya sendiri”. Seketika saya
memaklumi, mungkin orang disamping saya itu sangat ARABI, terlihat dari gaya
berpakaian dan bahkan juga pada pelaksanaan ritual sholatnya. Karena Arab
negeri pertama yang di Islamkan secara utuh, mungkin mereka mulai bosan dengan
sholat sehingga tidak lagi khusuk dan mendalami gerakan sholat seperti
ulama-ulama yang memadati mesjid-mesjid atau surau di desa-desa terpencil di
Indonesia. Yah, mungkin mereka SUDAH BOSAN SHOLAT. Yang jelas, pakaian atau
penampilan tidak akan mempengaruhi signifikansi pemahaman seseorang tentang
kebenaran, sayangnya di Indonesia masih begitu kuat pola pikir kuantitatif yang
melihat lebih kepada permukaan, bukan esensinya. Semoga menjadi bahan evaluasi
untuk saya pribadi dan semua yang membaca postingan ini.