Oleh: Ramdan Nugraha
Aku membaca dari banyak tulisan
yang dirasa rujukannya sangat jelas mengatakan bahwa “sholat berjamaah jauh lebih baik
dibandingkan sholat sendiri”. Pernyataan itu sedikitpun tidak
bertentangan dengan hati, sebab aku percaya kebenaran tidak akan pernah memberi
friksi bagi orang-orang yang berfikir benar. Untuk dapat melaksanakan sholat
berjamaah, kita membutuhkan ruang yang luas, meskipun sholat berjamaah itu
sendiri adalah sah dengan hanya adanya seorang menjadi imam dan satu orang
lainnya menjadi makmum. Artinya adalah dengan jumlah dua orang saja sudah bisa
melaksanakan sholat berjamaah berdasarkan ketentuan syari’ah yang telah begitu
banyak diketahui oleh kita sebagai orang Islam. Namun menurut ku secara
pribadi, sholat berjamaah akan dirasa lebih “powerful” bila dilakukan dengan jumlah yang lebih banyak,
konsekwensinya adalah perlu adanya ruangan yang lebih besar dari kamar yang
mungkin bisa saja dipakai berjamaah untuk dua atau tiga orang saja. Tempat ibadah
yang mampu menampung banyak jemaah ini kita kenal dengan istilah surau, langgar, mushola atau yang secara universal difahami dan banyak digunakan
sebagai terminologi untuk nama tempat beribadah orang Islam adalah Mesjid.
Terkait dengan mesjid ini, aku
ingin mempersempit bahasan ku tanpa mempersempit nilai esensi ceritanya. Ketika
aku masih belajar di universitas sewaktu jenjang sarjana dulu, seringkali aku
pulang dengan jadwal yang tidak konsisten, terkadang siang, sore, atau bahkan
larut malam. Dengan skema semacam itu, membawa ku pada kondisi dimana aku harus
sholat ditempat dan lokasi yang berbeda-beda sesuai keberadaan ku ketika waktu
sholat datang. Semua terasa wajar ketika aku sholat Dzuhur, Ashar, Magrib, dan
Isya di kampus (karena Subuh selalu di wilayah rumah), yang menjadi beda adalah
ketika aku harus berhenti di salah satu mesjid diperkampungan dikarenakan waktu
sholat yang sudah lewat beberapa saat sekitar 15 menit. Ketika ku sampai di
depan gerbang mesjid dan ku parkir motor, kudapati pintu masuk mesjid itu
terkunci dengan gembok. Aku lihat keran dan ku berwudhu, lalu kuputuskan untuk
sholat dilantai halaman mesjid yang tak terlalu luas.
Hal tersebut tidak terjadi satu
kali, yang kedua kalinya adalah ketika aku pulang seusai mengisi seminar di
Yogyakarta. Itu terjadi di stasiun kereta pada tengah malam yang saat itu aku
belum sholat Isya, kemudian satu-satunya mushola disana terkunci termasuk
tempat wudhunya. Aku tanya seorang petugas; “Pak, ini musholanya bisa dibuka
gak? Saya belum sholat Isya. Dia menjawab; Maaf pak, bapak bisa wudhu di kamar
mandi sana (menunjuk ke ujung stasiun) terus sholatnya diluar aja. Musholanya
nanti dibuka Subuh pak”. Karena mendesak, aku tidak banyak protes yang ku yakin
hanya akan memperkeruh situasi dan kuikuti arahan petugas itu.
Kejadian yang sama pun terjadi
namun dengan lokasi yang berbeda. Pada saat itu Ashar, ku lihat mesjid megah
dengan arsitektur bergaya timur tengah. Tepat didepan gerbang kusaksikan pintu
besi berukuran tinggi yang terkunci gembok besar.
Sempat ku diam tak tahu harus
berbuat apa, kebetulan beberapa saat kemudian seorang laki-laki tua berpakaian
koko dan berpeci menghampiri dan berkata; “Dek, sholatnya sudah selesai cari mesjid
lain saja”. Dengan jawaban yang membuat ku malu, aku pun pergi. Namun disisi
lain aku yang telat sholat yang tak lebih dari 30 menit berfikir begitu dalam,
kenapa mesjid ini hanya dibuka pas waktu sholat saja?”.
Tiga kejadian dari beberapa
pengalaman ku itu memberi banyak refleksi. Alangkah baiknya sholat tepat waktu,
bila tidak, jangan sholat di mesjid dan ini adalah pelajaran berharga. Tanpa
mencoba mencari pembenaran, rasanya ada hal yang sangat mengglitik dalam hati,
kenapa mesjid hanya dipersempit fungsinya menjadi tempat ritual saja, aku
saksikan kebersihannya pun tidak menggambarkan apa yang diperintahkan Allah
yang frimannya mungkin saja selalu dibaca dan perdengarkan oleh khotib setiap
pelaksanaan sholat Jum’at dimesjid-mesjid terkait, kenapa mesjid dikondisikan
sedemikian ekslusifnya? Aku heran kenapa orang tidak diperkenankan
masuk mesjid selain pada jadwal sholat? Takut ada pencuri? Takut dikotori? Takut
dipakai maksiat? Bila semua keresahan itu ada, lantas kenapa tidak di isi dan
dihidupakan saja mesjid-mesjid itu dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang
berguna yang tidak hanya sebatas ritual sholat dan mengaji yang maknanya telah
begitu jauh di-fosil-kan? Ada apa dengan penyempitan fungsi mesjid ini?
Seakan kita tidak boleh sholat dimesjid ketika jadwal sholatnya (ritual) usai.
Semoga atmosfir kegiatan keilmuan seperti diskusi, kajian, dll tidak hanya selalu
digelar di mesjid-mesjid kampus, namun hal itu juga dapat kita peroleh
dikampung-kampung sehingga cara pandang orang Islam secara menyeluruh tidak
akan lagi dimarjinalkan oleh penduduk negara maju yang tidak mengenal agama
apapun. Mesjid-mesjid megah itu berdiri kokoh, namun tidak lebih dari sekadar
batu, pasir, dan semen yang kapan saja bisa dihancurkan dan tidak meninggalkan jejak
apapun lagi, juga tidak untuk siapapun.
No comments:
Post a Comment