Thursday, 14 May 2015

GAK BOLEH SHOLAT DI MESJID?!

Oleh: Ramdan Nugraha



Aku membaca dari banyak tulisan yang dirasa rujukannya sangat jelas mengatakan bahwa “sholat berjamaah jauh lebih baik dibandingkan sholat sendiri”. Pernyataan itu sedikitpun tidak bertentangan dengan hati, sebab aku percaya kebenaran tidak akan pernah memberi friksi bagi orang-orang yang berfikir benar. Untuk dapat melaksanakan sholat berjamaah, kita membutuhkan ruang yang luas, meskipun sholat berjamaah itu sendiri adalah sah dengan hanya adanya seorang menjadi imam dan satu orang lainnya menjadi makmum. Artinya adalah dengan jumlah dua orang saja sudah bisa melaksanakan sholat berjamaah berdasarkan ketentuan syari’ah yang telah begitu banyak diketahui oleh kita sebagai orang Islam. Namun menurut ku secara pribadi, sholat berjamaah akan dirasa lebih “powerful” bila dilakukan dengan jumlah yang lebih banyak, konsekwensinya adalah perlu adanya ruangan yang lebih besar dari kamar yang mungkin bisa saja dipakai berjamaah untuk dua atau tiga orang saja. Tempat ibadah yang mampu menampung banyak jemaah ini kita kenal dengan istilah surau, langgar, mushola atau yang secara universal difahami dan banyak digunakan sebagai terminologi untuk nama tempat beribadah orang Islam adalah Mesjid.
Terkait dengan mesjid ini, aku ingin mempersempit bahasan ku tanpa mempersempit nilai esensi ceritanya. Ketika aku masih belajar di universitas sewaktu jenjang sarjana dulu, seringkali aku pulang dengan jadwal yang tidak konsisten, terkadang siang, sore, atau bahkan larut malam. Dengan skema semacam itu, membawa ku pada kondisi dimana aku harus sholat ditempat dan lokasi yang berbeda-beda sesuai keberadaan ku ketika waktu sholat datang. Semua terasa wajar ketika aku sholat Dzuhur, Ashar, Magrib, dan Isya di kampus (karena Subuh selalu di wilayah rumah), yang menjadi beda adalah ketika aku harus berhenti di salah satu mesjid diperkampungan dikarenakan waktu sholat yang sudah lewat beberapa saat sekitar 15 menit. Ketika ku sampai di depan gerbang mesjid dan ku parkir motor, kudapati pintu masuk mesjid itu terkunci dengan gembok. Aku lihat keran dan ku berwudhu, lalu kuputuskan untuk sholat dilantai halaman mesjid yang tak terlalu luas.
Hal tersebut tidak terjadi satu kali, yang kedua kalinya adalah ketika aku pulang seusai mengisi seminar di Yogyakarta. Itu terjadi di stasiun kereta pada tengah malam yang saat itu aku belum sholat Isya, kemudian satu-satunya mushola disana terkunci termasuk tempat wudhunya. Aku tanya seorang petugas; “Pak, ini musholanya bisa dibuka gak? Saya belum sholat Isya. Dia menjawab; Maaf pak, bapak bisa wudhu di kamar mandi sana (menunjuk ke ujung stasiun) terus sholatnya diluar aja. Musholanya nanti dibuka Subuh pak”. Karena mendesak, aku tidak banyak protes yang ku yakin hanya akan memperkeruh situasi dan kuikuti arahan petugas itu.
Kejadian yang sama pun terjadi namun dengan lokasi yang berbeda. Pada saat itu Ashar, ku lihat mesjid megah dengan arsitektur bergaya timur tengah. Tepat didepan gerbang kusaksikan pintu besi berukuran tinggi yang terkunci gembok besar. 
Sempat ku diam tak tahu harus berbuat apa, kebetulan beberapa saat kemudian seorang laki-laki tua berpakaian koko dan berpeci menghampiri dan berkata; “Dek, sholatnya sudah selesai cari mesjid lain saja”. Dengan jawaban yang membuat ku malu, aku pun pergi. Namun disisi lain aku yang telat sholat yang tak lebih dari 30 menit berfikir begitu dalam, kenapa mesjid ini hanya dibuka pas waktu sholat saja?”.


Tiga kejadian dari beberapa pengalaman ku itu memberi banyak refleksi. Alangkah baiknya sholat tepat waktu, bila tidak, jangan sholat di mesjid dan ini adalah pelajaran berharga. Tanpa mencoba mencari pembenaran, rasanya ada hal yang sangat mengglitik dalam hati, kenapa mesjid hanya dipersempit fungsinya menjadi tempat ritual saja, aku saksikan kebersihannya pun tidak menggambarkan apa yang diperintahkan Allah yang frimannya mungkin saja selalu dibaca dan perdengarkan oleh khotib setiap pelaksanaan sholat Jum’at dimesjid-mesjid terkait, kenapa mesjid dikondisikan sedemikian ekslusifnya? Aku heran kenapa orang tidak diperkenankan masuk mesjid selain pada jadwal sholat? Takut ada pencuri? Takut dikotori? Takut dipakai maksiat? Bila semua keresahan itu ada, lantas kenapa tidak di isi dan dihidupakan saja mesjid-mesjid itu dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang berguna yang tidak hanya sebatas ritual sholat dan mengaji yang maknanya telah begitu jauh di-fosil-kan? Ada apa dengan penyempitan fungsi mesjid ini? Seakan kita tidak boleh sholat dimesjid ketika jadwal sholatnya (ritual) usai. Semoga atmosfir kegiatan keilmuan seperti diskusi, kajian, dll tidak hanya selalu digelar di mesjid-mesjid kampus, namun hal itu juga dapat kita peroleh dikampung-kampung sehingga cara pandang orang Islam secara menyeluruh tidak akan lagi dimarjinalkan oleh penduduk negara maju yang tidak mengenal agama apapun. Mesjid-mesjid megah itu berdiri kokoh, namun tidak lebih dari sekadar batu, pasir, dan semen yang kapan saja bisa dihancurkan dan tidak meninggalkan jejak apapun lagi, juga tidak untuk siapapun.

No comments: