Oleh: Ramdan Nugraha
Pada kesempatan kali ini saya ingin kembali mengutip
beberapa paragraf lengkap yang redaksinya tidak saya tambahi atau saya kurangi
sesuai dengan teks aslinya. Buku yang menjadi rujukan kali ini adalah FIQIH
JIHAD karya Yusuf Qardhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
secara sah. Paragraf yang akan saya kutip masih tentang kesadaran kita untuk
tidak menjadi pemberontak negara dengan memperdagangkan nama Tuhan sebagai
legitimasi aksi-aksi pemberontakan baik yang bersifat fisik maupun pemikiran.
Kali ini pembahasan lebih difokuskan pada makna jihad
menurut Al-Qur’an dan Sunnah yang membantah paradigma berfikir salah satu
gerakan Islam kontemporer transnasional bernama Hizbut Tahrir yang dilihat dari
pandangan pendirinya Taqiyuddin Al-Nabhani yang memahami perjuangan Rasulullah sebagai perjuangan ofensif
termasuk pada tataran penyebaran Islam pada masanya dan ijtihad pemahaman ini
di terjemahkan oleh seorang intelektual muslim ternama yaitu Yusuf Qardhawi. Berikut kutipan paragraf yang saya kutip dari
buku yang cukup tebal ini dengan jumlah halaman sebanyak 1227.
Menolak Pendapat
Hizbut Tahrir
“Masih dalam konteks sebelumnya, Syaikh Al-Ghazali
mengatakan, “Ambillah sebuah contoh yang lain:
‘Setelah 10 tahun menanggung aniaya dan kesedihan, Nabi
Saw. beserta orang-orang yang beriman kepadanya diusir dari Makkah.
Setelah hijrah pun, permusuhan
Quraisy terhadap Islam belum mereda, bahkan orang yang berani menampakkan
keislamannya secara terang-terangan di Makkah, kelak akan ditimpa malapetaka. Di
antara doa orang-orang yang lemah dan diuji adalah, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang
penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami
penolong dari sisi-Mu (QS Al-Nisa’ [4]: 75).
Karena itu, apakah masih bisa
dikatakan bahwa perang yang dilakukan kaum Muslim terhadap orang-orang musyrik
itu sebagai perang ofensif?
Sebagaimana diketahui, Kerajaan
Romawi itu telah tersebar di Asia dan Afrika layaknya belalang yang hinggap di
daun yang hijau dan yang kering. Penjajahan Romawi itu penuh dengan tirani,
kekejaman, dan arogansi.
Romawi telah memeluk Kristen dan
mengubahnya cenderung seperti paganisme, serta mengusir bahkan memusnahkan
gereja-gereja yang masih menganut monoteisme. Ketika Islam muncul, Romawi
menghalangi jalannya dan tidak memberi kebebasan untuk bergerak, serta
memeranginya di sebelah utara jazirah agar dapat melenyapkannya!
Apakah perlawanan kaum Muslim
terhadap Romawi dan penghancuran kekuatan yang sudah dibangun itu disebut
dengan perang ofensif, yang lahir dari keinginan Islam untuk menyebarkan
agamanya? Apakah hak agama yang baru untuk menyampaikannya kepada semua
manusia, layak dipandang sebagai kejahatan? Bukankah penolakan mereka dengan
membungkam mulut dan menebar fitnah layak dipandang sebagai bentuk penistaan
dan penghinaan terhadap agama Allah?
Dengan keputusan yang nyata ini,
seorang ketua organisasi Islam menulis dalam buletin yang sangat panjang kepada
anggota organisasinya, “Sesungguhnya Islam dimulai dengan perangdan
merencanakan serangan terhadap musuh-musuhnya.”
Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani
rahimahullah berkata, “Sesungguhnya perkataan dan perbuatan Rasulullah
Saw. menunjukkan dengan jelas bahwa jihad adalah mendahului orang-orang kafir
dalam peperangan untuk mengakkan kalimat Allah dan menyebarkan Islam. Sesungguhnya
Rasulullah Saw. pergi ke Badar untuk memerangi kafilah Quraisy dan beliau
adalah pihak yang mendahului perang tersebut. Quraisy adalah sebuah negara dan
tidak menyerang terlebih dahulu kepada Rasul atau ke Madinah, sehingga beliau
harus melawannya. Bahkan, beliaulah yang memulai peperangan itu!”
Persepsi terhadap fakta-fakta
seperti ini lebih menyerupai lelucon menggelikan yang mengada-ada ketimbang
sebagai sebuah pernyataan. Saya tidak tahu bagaimana mungkin di dalam otak
manusia ada pikiran bahwa orang-orang yang mengusir bangsa lainnya dari negeri
mereka sendiri dan mengintimidasi keyakinan mereka, tidak dinilai sebagai
bentuk kejahatan dan permusuhan yang layak dilawan?
Ketua Hizbut Tahrir Al-Islami
mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Saw. mengirim pasukan ke Mu’tah untuk memerangi
Romawi dan ke Tabuk mendekati perbatasan Romawi. Karena itu, jelaslah bahwa
beliau yang pertama kali memerangi mereka.”
Perkataan ini sangatlah aneh. Dengan
logika yang menakjubkan ini dapat dikatakan bahwa perang yang dilakukan bangsa
kulit hitam di Afrika Selatan sekarang sebagai perang ofensif, dan pertempuran
yang dilakukan oleh Palestina melawan negara Israel itu sebagai perang ofensif.
Bagaimana mungkin?
Pikiran menyesatkan seperti ini
nyata-nyata harus disingkirkan dari setiap Muslim. Ironisnya, pemikiran semacam
ini justru tumbuh di kalangan orang-orang Islam sendiri.
Yang dibutuhkan Islam hanyalah
iklim yang bebas agar orang-orang yang ingin masuk ke dalamnya dapat menentukan
sendiri keyakinannya, dalam suasana damai tanpa halangan dan gangguan. Kita tidak
boleh memaksa seorang pun untuk memeluk Islam, dan Islam tidak menerima
keimanan yang terpaksa.”
Begitulah kutipan dari apa yang
telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi terkait pandangannya pada gerakan yang
secara awam memahami makna jihad dalam Islam. Hizbut Tahrir lahir dari
pemahaman pendirinya yang kurang tepat namun dijadikan falsafah gerakan yang
dianggap paling benar. Sehingga tidak akan asing ketika banyak syababnya yang
mudah sekali menjastifikasi kekafiran sesama saudara Muslim hanya karena
berbeda pandangan terkait memaknai nilai dan makna Al-Qur’an yang kaya itu,
terutama mereka yang tidak tergabung secara baku dalam organisasi yang
didirikan Taqiyuddin Al-Nabhani itu. Terlihat jelas Hizbut Tahrir menjadi
gerakan penghambat persatuan umat Islam karena arogansinya dalam memonopoli
kebenaran hukum Allah seakan ijtihad dan pemikiran mereka saja yang paling
diterima oleh Allah, dan itu jelas sekali sangat kontradiktif dengan misi
besarnya yaitu menyatukan umat dalam payung besar khilafah yang tampaknya
semakin jauh dari kenyataan.
Semoga kita
semua tetap berpegang pada nilai otentik Islam yang bisa diinterpretasi secara
kontekstual dan tidak bertentangan dengan zaman, namun sejalan seiring dalam
satu harmoni yang indah. Amin