Oleh: Ramdan Nugraha
Setelah gerakan khilafahi-sasi yang marak namun kosong
nilai yang ditandai oleh sejarah
paling gelap nan jongkok dunia kemahasiswaan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri
tertua di Indonesia yang terjadi karena sebuah unggahan video seorang mahasiswa
magister yang mungkin baru mulai mengupas kulit agama di kampus dan tiba-tiba
merasa kenyang untuk langsung berorasi dengan memakai almamater kampus yang cahayanya telah dibuat redup.
Beriringan dengan gerakan
khilafah, beberapa waktu lalu ada berita yang menjadi viral di media sosial
tentang faham kuno yang mempercayai bahwa bumi yang kita tempati berbentuk
datar atau dikenal dengan Flat-Earth Theory.
Ini bukanlah isu baru samasekali yang dibangkitkan kembali hari ini yang
umumnya di Indonesia dibawa oleh kelompok Islam minoritas yang merupakan
oposisi dari madzhab Islam mayoritas. Ternyata dari kedua gerakan yang sudah tumbuh
di Indonesia ini, saya melihat ada beberapa kesamaan dan sempat berpikir
jangan-jangan mereka ini sama namun sengaja dibedakan job-description-nya.
Kesamaan yang pertama
Mereka sama-sama mengagumi bahkan
mengkultuskan masa lalu. Dari namanya saja, khilafah jelas sangat
mendambakan tatanan pemerintahan seperti pada masa Khalifah Empat (Abu Bakar,
Umar, Ustman, dan Ali) meski faktanya mereka lebih cenderung berniat untuk
menjadi the next Ottoman di
Indonesia. Gerakan bumi datar pun sama-sama mengagumi masa lalu seperti apa
yang dipercaya kelompok gereja saat itu yang tidak mau menerima pendapat
dari luar bahkan menjatuhkan hukuman pada Galileo
yang memiliki ijtihad pemikiran baru tentang bentuk bumi.
Hal ini mirip sekali ketika
kelompok Islam yang memiliki cara pandang yang lebih kontekstual dianggap sesat
bahkan dikafirkan oleh para pegiat khilafah karena dianggap menentang hukum
Tuhan yang mereka bakukan dan formalisasi sendiri. Seringkali dalam setiap tautan mereka yang saya beri komentar dengan cara pandang yang cukup berbeda dengan kebanyakan likers-nya, jargon setiap
pengkultus khilafah selalu sederhana mengatakan; “anda gagal faham”. Saya pun sederhana menyikapinya dengan mengatakan
“anda gagal move-on dari masa lalu”.
Kesamaan yang kedua
Baik kelompok khilafah maupun
kelompok bumi datar sama-sama anti dengan nalar logis. Terbukti dengan
angkuhnya kelompok khilafah yang tidak pernah mau mengakui Indonesia tidak akan
pernah bisa disamakan kultur, tradisi, bahasa, dan letak geografisnya dengan
Timur Tengah terutama Arab yang dipilih untuk memanifestasikan nilai-nilai
Al-Qur’an pada masa Rasulillah Muhammad. Di Indonesia, kelompok ini seringkali
mengharamkan banyak hal yang diklaim sebagai budaya barat yang jelas kafir
menurut mereka seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, Mc Donald, dan bahkan sampai
ke
foto selfie yang faktanya, salah seorang petinggi khilafah Indonesia
doyan sekali selfie-syar’i di akun Instagram miliknya, bahkan belum lama dia ikut
berpartisipasi dalam “voting” yang notabene produk pokok demokrasi dalam salah
satu layanan website populer.
Di pihak lain, kelompok bumi
datar mencoba meruntuhkan temuan saintifik mutakhir bahwa bumi berbentuk bulat
yang telah dibuktikan dengan jumlah yang mungkin sudah tidak terhitung. Counter opinion mereka hanya dengan menyodorkan Al-Qur’an surat Al-Hijr
ayat 19 yang terlalu jongkok diterjemahkan seperti seorang mahasiswa yang orasi
tentang khilafah di awal tulisan ini.
Ada salah satu frasa yang
kurang lebih “Dan kami (Allah) telah menghamparkan
bumi....” yang mereka terjemahkan seperti karpet atau permadani yang di
gelar ketika ada tahlilan dikampung-kampung yang mereka perkuat lagi dengan
ayat 22 surat Al-Baqarah: “Dialah (Allah)
yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (firasy) bagimu”. Ini tidak
beda jauh dengan kelompok yang pernah mengatakan bahwa Allah berada di
singgasana-Nya (Arsy) sedang duduk nonton layar raksasa kehidupan yang Dia
sutradarai. Daya nalar pemikiran yang sungguh sangat kartun.
Kesamaan yang ketiga
Yang ketiga, kedua kelompok ini
sama-sama sangat menikmati tempat tinggal yang mereka kufurkan. Kelompok
khilafah yang menganggap demokrasi sebagai faham kufur dan bila mengikutinya
adalah auto-kafir telah cukup lama menikmati privillege
demokrasi Indonesia yang tak pernah menculik mereka seperti pada era diktator orde
baru, kapitalisme yang membuat mereka bisa menggunakan i-phone untuk selfie-syar’i-nya, atau kebaikan seorang Yahudi Mark Zuckerberg yang telah begitu tawadhu memberikan tempat para mafia
khilafah untuk berdakwah di Facebook.
Sedangkan kelompok bumi datar,
aaaahhhh sudahlah. Sampai hari ini mereka masih berada di permukaan bumi yang
bulat dan tidak terjatuh atau melayang diantara bintang-bintang semesta. Mungkin
ketidakmampuan mereka dalam menciptakan temuan teknologi mutakhir membentuknya
menjadi para pesakitan hati yang tidak mau mengakui kebenaran. Lalu rasa “dengki” menjadi tabiat dari dua kelompok ini.
Bila Tuhan hanya menciptakan
manusia cerdas dan jenius, melegalkan satu agama saja, hanya meniupkan ruh-ruh
orang-orang bijak, akan menjadi se-datar apa kehidupan ini? Kita tidak akan
terus belajar untuk lebih tahu dan kita tidak akan bisa belajar bersabar
menghadapi orang-orang lucu diatas. Kedua kelompok (khilafah dan bumi datar)
telah mengajarkan banyak hal bahwa kehidupan ini harus selalu ada penyeimbang.
Tanpa mereka, penulis online semacam blogger tidak akan pernah punya ide segar untuk
berpendapat dan tanpa kemunduran berpikir yang mereka ciptakan, kita semua tidak
akan pernah berusaha untuk berpikir lebih maju setiap harinya.