Friday, 30 September 2016

Minoritas Tulus Dalam Mayoritas Pura-Pura

Dunia ini adalah tentang keberpura-puraan
Wajah-wajah yang tak pernah tunggal dalam kepalsuan
Entah itu demi kepentingan orang banyak
Atau hanya kepuasan nafsu sepihak

Mereka yang jujur dengan tattoo pada tangan dan kaki
Dengan lagu-lagu yang hanya dirinya saja bernyanyi
Atau puisi yang tak seorang pun harus memahami
Bahkan yang rela ditinggalkan oleh berhala popularitas
Demi kemerdekaan melawan kemunafikan yang menindas

Yang minor terkenang dalam ketiadaan
Yang mayor terjajah dalam keberadaan

Ramdan Nugraha, 30 September 2016

Friday, 23 September 2016

MEMBACA dan Pengakuan Ku!

Oleh: Ramdan Nugraha



Membaca adalah ke-abadi-an
Ilmu tak habis, tiada terkikis
Makan dan minum adalah ke-fana-an
Lapar, haus, berakhir dalam jeruji emosi

Aku bisa hidup tanpa makan dan minum
Meski beberapa hari saja.
Namun ku bisa mati seketika
Sesaat setelah ku menutup buku - mati nalar dan akal!
Adakah yang lebih bahaya dari itu semua?

Raja - Raja Dosa

Oleh: Ramdan Nugraha



Manusia-manusia tua
Tak hanya raganya
Cara berpikirnya juga
Sejarah gelap warisan raja
Diwakafkan terus menerus
Menggerus kemanusiaan
Melalui darah-darah segar yang misterius
Atau para preman tak berotak
Yang bangga dengan kejahatannya
Siapa sebenarnya yang tak percaya Tuhan
Ku lihat kalian tak peduli dengan siksaan yang diperingatkan
Meneruskan hasrat binatang
Diaminkan oleh manusia-manusia pedang
Pria, wanita, tua, muda, remaja, balita, merdeka menghadap-Nya
Setelah disembelih, diperkosa, diseret, dengan bahak tawa
Dan kalian masih menjadi abdi setia para raja gila

Intelegensia





Kita adalah antara Surga dan Kebinasaan
Nyawa-nyawa sebagai tumbal kesia-siaan
Masih juga tak memberi iba atau kesempatan
Kemanusiaan yang masih mencari kemerdekaan

Kita intelegensia
Pada diri ini jutaan nasib manusia
Akan kah kita tetap dalam pengharapan
Seperti mereka yang slalu bermimpi untuk mapan?

Kita intelegensia
Terjemahkan!
Sampaikan!
Kita intelegensia
Wujudkan!

Kemanusiaan menunggu
Di depan pintu perunggu
Karena semua yang kuat
Telah lemah membatu

Ramdan Nugraha, 22 September 2016

Sunday, 18 September 2016

KHILAFAH DAN BUMI DATAR

Oleh: Ramdan Nugraha

Setelah gerakan khilafahi-sasi yang marak namun kosong nilai yang ditandai oleh sejarah paling gelap nan jongkok dunia kemahasiswaan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri tertua di Indonesia yang terjadi karena sebuah unggahan video seorang mahasiswa magister yang mungkin baru mulai mengupas kulit agama di kampus dan tiba-tiba merasa kenyang untuk langsung berorasi dengan memakai almamater kampus yang cahayanya telah dibuat redup.
Beriringan dengan gerakan khilafah, beberapa waktu lalu ada berita yang menjadi viral di media sosial tentang faham kuno yang mempercayai bahwa bumi yang kita tempati berbentuk datar atau dikenal dengan Flat-Earth Theory. Ini bukanlah isu baru samasekali yang dibangkitkan kembali hari ini yang umumnya di Indonesia dibawa oleh kelompok Islam minoritas yang merupakan oposisi dari madzhab Islam mayoritas. Ternyata dari kedua gerakan yang sudah tumbuh di Indonesia ini, saya melihat ada beberapa kesamaan dan sempat berpikir jangan-jangan mereka ini sama namun sengaja dibedakan job-description-nya.

Kesamaan yang pertama
Mereka sama-sama mengagumi bahkan mengkultuskan masa lalu. Dari namanya saja, khilafah jelas sangat mendambakan tatanan pemerintahan seperti pada masa Khalifah Empat (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali) meski faktanya mereka lebih cenderung berniat untuk menjadi the next Ottoman di Indonesia. Gerakan bumi datar pun sama-sama mengagumi masa lalu seperti apa yang dipercaya kelompok gereja saat itu yang tidak mau menerima pendapat dari luar bahkan menjatuhkan hukuman pada Galileo yang memiliki ijtihad pemikiran baru tentang bentuk bumi.
Hal ini mirip sekali ketika kelompok Islam yang memiliki cara pandang yang lebih kontekstual dianggap sesat bahkan dikafirkan oleh para pegiat khilafah karena dianggap menentang hukum Tuhan yang mereka bakukan dan formalisasi sendiri. Seringkali dalam setiap tautan mereka yang saya beri komentar dengan cara pandang yang cukup berbeda dengan kebanyakan likers-nya, jargon setiap pengkultus khilafah selalu sederhana mengatakan; “anda gagal faham”. Saya pun sederhana menyikapinya dengan mengatakan “anda gagal move-on dari masa lalu”.  

Kesamaan yang kedua
Baik kelompok khilafah maupun kelompok bumi datar sama-sama anti dengan nalar logis. Terbukti dengan angkuhnya kelompok khilafah yang tidak pernah mau mengakui Indonesia tidak akan pernah bisa disamakan kultur, tradisi, bahasa, dan letak geografisnya dengan Timur Tengah terutama Arab yang dipilih untuk memanifestasikan nilai-nilai Al-Qur’an pada masa Rasulillah Muhammad. Di Indonesia, kelompok ini seringkali mengharamkan banyak hal yang diklaim sebagai budaya barat yang jelas kafir menurut mereka seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, Mc Donald,  dan bahkan sampai ke foto selfie yang faktanya, salah seorang petinggi khilafah Indonesia doyan sekali selfie-syar’i di akun Instagram miliknya, bahkan belum lama dia ikut berpartisipasi dalam “voting” yang notabene produk pokok demokrasi dalam salah satu layanan website populer.
Di pihak lain, kelompok bumi datar mencoba meruntuhkan temuan saintifik mutakhir bahwa bumi berbentuk bulat yang telah dibuktikan dengan jumlah yang mungkin sudah tidak terhitung. Counter opinion mereka hanya dengan menyodorkan Al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 19 yang terlalu jongkok diterjemahkan seperti seorang mahasiswa yang orasi tentang khilafah di awal tulisan ini.
Ada salah satu frasa yang kurang lebih “Dan kami (Allah) telah menghamparkan bumi....” yang mereka terjemahkan seperti karpet atau permadani yang di gelar ketika ada tahlilan dikampung-kampung yang mereka perkuat lagi dengan ayat 22 surat Al-Baqarah: “Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (firasy) bagimu”. Ini tidak beda jauh dengan kelompok yang pernah mengatakan bahwa Allah berada di singgasana-Nya (Arsy) sedang duduk nonton layar raksasa kehidupan yang Dia sutradarai. Daya nalar pemikiran yang sungguh sangat kartun.

Kesamaan yang ketiga
Yang ketiga, kedua kelompok ini sama-sama sangat menikmati tempat tinggal yang mereka kufurkan. Kelompok khilafah yang menganggap demokrasi sebagai faham kufur dan bila mengikutinya adalah auto-kafir telah cukup lama menikmati privillege demokrasi Indonesia yang tak pernah menculik mereka seperti pada era diktator orde baru, kapitalisme yang membuat mereka bisa menggunakan i-phone untuk selfie-syar’i-nya, atau kebaikan seorang Yahudi Mark Zuckerberg yang telah begitu tawadhu memberikan tempat para mafia khilafah untuk berdakwah di Facebook.
Sedangkan kelompok bumi datar, aaaahhhh sudahlah. Sampai hari ini mereka masih berada di permukaan bumi yang bulat dan tidak terjatuh atau melayang diantara bintang-bintang semesta. Mungkin ketidakmampuan mereka dalam menciptakan temuan teknologi mutakhir membentuknya menjadi para pesakitan hati yang tidak mau mengakui kebenaran. Lalu rasa “dengki” menjadi tabiat dari dua kelompok ini.

Bila Tuhan hanya menciptakan manusia cerdas dan jenius, melegalkan satu agama saja, hanya meniupkan ruh-ruh orang-orang bijak, akan menjadi se-datar apa kehidupan ini? Kita tidak akan terus belajar untuk lebih tahu dan kita tidak akan bisa belajar bersabar menghadapi orang-orang lucu diatas. Kedua kelompok (khilafah dan bumi datar) telah mengajarkan banyak hal bahwa kehidupan ini harus selalu ada penyeimbang. Tanpa mereka, penulis online semacam blogger tidak akan pernah punya ide segar untuk berpendapat dan tanpa kemunduran berpikir yang mereka ciptakan, kita semua tidak akan pernah berusaha untuk berpikir lebih maju setiap harinya.