Oleh: Ramdan Nugraha
Menurut
Azyumardi Azra dalam makalah yang dipresentasikan pada Pengajian Bulanan
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (07/01/2017), menyebutkan bahwa beberapa tahun
terakhir telah terjadi cukup banyak fenomena kekerasan berskala besar terhadap
beberapa kelompok seperti Ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada 06/02/2011; bom
bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon pada jum’at 15/04/2011; kekerasan
terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura pada 26/08/2012; insiden Tolikara
dimana massa Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membubarkan jamaah Muslim yang
sedang melaksanakan shalat Idul Fitri pada 17/07/2015; dan masih banyak kasus kekerasan
lainnya yang suka tidak suka, harus kita akui telah melibatkan unsur keagamaan
di dalamnya.
Sementara
itu, internet sebagai suatu kemajuan teknologi nyatanya tidak berjalan beriringan
dengan kualitas penggunanya (baca: netizen), sebaliknya, netizen banyak
terpengaruh oleh penggiringan opini dalam bentuk artikel pendek yang dibaca diberbagai
kolom website yang ditulis baik oleh
individu maupun kelompok yang kemudian dibagikan di media sosial seperti facebook yang dominan diakses oleh
netizen Indonesia, yang seringkali, mereka sendiri tidak memahami betul dengan
apa yang mereka bagikan.
Tautan-tautan tersebut secara cepat dan masif dibagikan
hanya karena personal interest netizen
terhadap isu yang diangkat tanpa meninjau kembali kebenaran tulisan tersebut. Dunia
literasi yang tidak didukung oleh kualitas membaca semacam ini kemudian membawa
masyarakat pada kubangan isu sensitif-provokatif yang kebenarannya jauh dari
fakta atau yang saat ini populer disebut dengan hoax. Ekses dari semua ini adalah kebencian yang tumbuh semakin
kuat antar kelompok etnis, agama, bahkan antar sesama pemeluk dalam agama yang
sama (intra-agama) yang memiliki pandangan berbeda.
Faktor Disintegrasi Bangsa
Ada
beberapa faktor penting yang menjadi penyebab semakin bertumbuhkembangnya
disharmoni hubungan sosial masyarakat di Indonesia baik antar pemeluk agama
maupun pemeluk intra agama. Azyumardi Azra (2017) menyatakan bahwa peningkatan
konflik dan kekerasan bernuansa agama banyak berakar pada kenyataan kian
merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran dan juga sekte dalam satu
agama tertentu. Kelompok semacam itu yang umumnya menjadi objek yang menurut
kelompok mainstream dikatakan
menyempal atau sesat. Eksesnya tidak jarang menjadi sangat kronis dengan adanya
tindakan sepihak secara anarkis dengan jastifikasi fatwa sesat dari kelompok
mainstream dan dominan, sehingga terdapat apa yang sering Ahmad Syafii Ma’arif
menyebutnya dengan polisi swasta yang
seringkali bertindak secara sewenang-wenang hanya dengan bermodal fatwa yang
secara serampangan diterjemahkan dengan tindakan main hakim sendiri.
Azra
juga menambahkan faktor internal semisal kesenjangan sosial ekonomi masyarakat
Indonesia dan juga faktor eksternal politik transnasional (proxy war) yang
umumnya terjadi di negara-negara Timur Tengah yang seringkali, krisis politik disana
diterjemahkan ke dalam masalah teologi di Indonesia. Contohnya adalah
kompleksitas konflik politik di Suriah
yang disimplifikasi hanya ke dalam bentuk isu Rezim Syiah yang despotik (Bashar
Assad) yang secara sederhana diamini oleh para pembaca instan dari media-media
provokatif. sehingga kemudian ‘agama’ adalah alasan utama untuk peduli atau
bahkan berafiliasi langsung dengan pihak yang dianggap satu prinsip untuk
membantunya menghadapi common enemy
yang boleh jadi telah diciptakan secara politis oleh pihak-pihak yang sangat
berkepentingan atas konflik tersebut.
Misalnya
data dari Kapolri tahun 2015 yang menyatakan warga yang terindikasi dengan
Islamic States (ISIS) di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang pada saat itu.
408 WNI yang sudah atau terindikasi akan bergabung dengan ISIS. Dari jumlah
tersebut, 54 orang di ISIS, 47 orang kembali ke Indonesia, dan 70 orang
berencana berangkat (Azra, 2016). Data ini menunjukkan bahwa afiliasi dalam
bentuk dukungan agama secara langsung ditafsirkan dengan sederhana mengirimkan
para ‘mujahid’ untuk ikut terlibat konflik secara langsung dengan motif jihad.
Sementara
di Indonesia sendiri, khususnya pasca reformasi 1998, keterbukaan dan kebebasan
informasi menjadi sangat kontraproduktif dengan mudah berkembangnya faham
transnasional yang tumbuh subur dengan para pengikutnya yang sedang ‘kering’
beragama. Contoh paling populer adalah tentang ide khilafah yang kembali muncul
setelah pernah digelorakan oleh Darul Islam pada masa orde lama. Kelompok ini
semakin percaya diri dan terang-terangan menyebarkan faham bahwa Pancasila dan
demokrasi adalah falsafah yang tidak sesuai dan harus segera diganti dengan
bentuk negara Islam (khilafah).
Faktor
lain adalah afiliasi politik masyarakat terhadap aktor politik yang mereka
dukung. Pertarungan Pilpres 2014 tidak sepenuhnya telah redam antar dua kubu
baik yang kalah maupun yang menang. Kubu yang kalah terus memberikan kritik
yang tidak sedikit bentuknya lebih kepada penghinaan dan kabar-kabar palsu yang
direkayasa atas dasar kebencian terhadap pemerintahan hari ini. Tidak
tanggung-tanggung isu provokatif yang disebarkan begitu dahsyat seperti banyak
media abal-abal yang mengatakan Presiden berafiliasi dengan komunis dan
Indonesia sedang dalam proses penjajahan Cina.
Sama
halnya dengan kubu yang menang pun, seakan mereka berada sebagai abdi dalem
penguasa dan tidak ingin melihat rajanya dihina dan dilecehkan oleh rival
mereka yang sebetulnya adalah hal yang rasional, namun cara dalam membela yang
terkadang kelewatan tidak bisa kita sebut bijak dan wajar. Internet menjadi
medan pertempuran (cyber war) bagi kedua kubu ini. Korbannya adalah orang-orang
yang tidak terbiasa dengan membaca literatur baik cetak maupun online yang membentuk mereka menjadi
“pembaca instan” tanpa memiliki kualitas filter informasi yang baik, sehingga
dari sinilah ujaran kebencian (hate speech) sudah tidak bisa dibendung lagi dan
diproduksi setiap harinya dengan jumlah pelaku yang semakin banyak. Tidak
sedikit pertemanan yang telah lama terjalin di dunia nyata tiba-tiba hancur
disebabkan peperangan opini yang sudah gila di dunia maya.
Tantangan Untuk Kelompok Islam Moderat
Melihat
gejala yang terjadi diatas, keberadaan ormas Islam yang dikenal moderat seperti
Muhammadiyah harus menjadi peace-maker
sekaligus peace-doer dengan semangat nir kekerasan dengan dakwah nilai Islam
yang autentik seperti yang telah dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah sendiri
yaitu K.H. Ahmad Dahlan pada masanya. Gelar pahlawan untuk Kyai Dahlan tidak
didapat dengan cara perlawanan fisik seperti membunuh rival yang sebetulnya
pada konteks saat itu adalah logis bila dilakukan seperti apa yang dikemukakan
oleh Abdul Mu’ti dalam Junus Salam (2009: 25), kepahlawanan tidak melulu harus
dengan mengerahkan kekuatan otot, saling bunuh dan saling menjatuhkan.
Faktanya,
Kyai Dahlan berjuang dengan cara yang lain dan bukan dengan hasil yang sia-sia
– trisula Muhammadiyah; feeding
(membantu meringankan masyarakat yang masih kesulitan untuk mendapatkan pangan
yang cukup terutama bagi kaum mustad); schooling
(mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membuka diri pada pendidikan
non-keagamaan dan juga modernitas namun tidak permisif pada nilai-nilai
destruktif), dan healing (meningkatkan
pelayanan kesehatan pada masyarakat dalam rangka pembangunan dan pengelolaan
sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan) adalah perjuangan kongkret
yang sampai hari ini menjadi semangat perjuangan bagi para kader Muhammadiyah.
Menurut Muhd. Abdullah Darraz (2010: 5), Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah telah
mendorong terciptanya kemerdekaan dengan memerdekakan cara berfikir dan
menciptakan kesadaran dan menciptakan kesadaran baru dalam masyarakat pribumi.
Namun
disisi lain, hari ini Muhammadiyah mengalami semacam penurunan pada konteks
semangat pembaharuan keagamaan (Islam). Dalam bagian pengantar buku Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan
Kaum Islam Berkemajuan (2016) dikatakan bahwa pesona tajdid Muhammadiyah tampak tidak semakin memikat umat Islam.
Sebaliknya, tradisi, nilai, norma, dan atau pranata serta praktik keagamaan
umat Islam Indonesia semakin jauh dari etos pembaruan dan panji kemajuan
Muhammadiyah; paham sinkretisme, radikalisme, dan fundamentalisme retrogatif
serta transnasional khilafah dan daulah islamiyah justru menjamur. Pada posisi
krusial ini, Muhammadiyah wajib hadir dalam maqamnya
sebagai gerakan tengah yang sudah semestinya menjadi penengah dari berbagai
konflik sosial yang terjadi belakangan.
Diamnya
Muhammadiyah sebagai kelompok tengahan tentu memberikan semacam kepercayaan
diri untuk kelompok noisy minority (fundamentalis
kanan) dalam tindakan-tindakan yang mereka anggap telah didukung oleh dominan
Muslim di Indonesia. Bahkan yang lebih buruk, kelompok yang berbeda pandangan
dengan mereka akhirnya digiring sebagai kelompok yang menyempal meski faktanya,
jumlah yang tidak setuju dengan mereka itu lebih banyak.
Resolusi
konflik yang seharusnya diketengahkan oleh kelompok moderat seperti
Muhammadiyah adalah dengan tetap berdiri di tengah dan jernih serta objektif
melihat masalah tanpa harus terperosok ke kanan atau ke kiri. Pendidikan yang
telah dibangun melalui Amal Usaha Muhammadiyah baik dari tingkat Taman
Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi adalah basis solusi yang harus menanamkan nilai
dan prinsip tauhid yang kuat dan diimbangi dengan rasionalitas berpikir yang
kritis dan solutif dalam menghadapi segala bentuk permasalahan sosial yang
kelak atau sedang dihadapi bangsa ini.
Selain
itu, Muhammadiyah harus mampu menjadi pemeran atau aktor yang baik di dunia
internasional dengan melihat peluang untuk membawa bangsa ini ke arah
masyarakat madani yang kuat dengan aqidah dan kompetitif dalam panggung
modernisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Syafiq A. Mughni dalam salah satu
essaynya di jurnal Maarif (2010) bahwa Muhammadiyah tidak mungkin lagi
mengisolasi diri dari pusaran internasional. Ini akan sangat berkaitan dengan
usaha konsolidasi perdamaian untuk konflik internasional yang marak terjadi di
Timur Tengah sampai hari ini. Perlu disadari bahwa konflik politik
internasional Timur Tengah sangat berimplifikasi terhadap gerakan dan faham
anarkis di tanah air. Dalam akhir pembahasan Azyumardi Azra pada pengajian PP
Muhammadiyah (06/01/2017) lalu, dia menyampaikan bahwa selama masih
berlangsungnya peperangan dan konflik politik ganas di Timur Tengah, selama itu
pula gerakan anarkis teroris di Indonesia eksis sebagai eksesnya.
Selain
pendidikan moderat-inklusif yang outputnya
akan teraplikasi dalam kultur hubungan sosial-kemanusiaan yang harus dirawat
dan dikembangkan mengikuti kompleksitas zaman, Muhammadiyah sudah sangat perlu
menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk menjadi pucuk pimpinan Indonesia di
masa depan. Karena menjadi ‘pembantu’ negara saja sudah tidak lagi cukup, kader
Muhammadiyah dengan semangat fashtabiqul
khairat-nya harus menjadi decision
maker di pemerintahan demi arah perjuangan perdamaian Indonesia yang lebih
optimal. Wacana-wacana perdamaian dalam berbagai forum diskusi sosial
kemanusiaan yang marak hari ini, kelak harus bisa direalisasikan dalam bentuk
kebijakan di pemerintahan sehingga ada konsekwensi hukum yang tegas bagi oknum
baik individu maupun kelompok yang mencoba merusak persaudaraan bangsa melalui konflik
kekerasan atas nama agama yang tidak bisa kita tolerir dengan alasan apapun. Dalam
mewujudkan perdamaian paripurna, kita harus mampu mengaplikasikan semangat dasar
kemanusiaan yang berbunyi: “lakukanlah apa yang kita ingin orang lain lakukan
kepada kita dan jangan lakukan apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan
kepada kita”.
Referensi:
Azra, Azyumardi (2017). Merawat Kerukunan Kehidupan Beragama: Peningkatan
Peran-Kompetensi Kepemimpinan Publik. Makalah Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah
hal.1-6
Darraz, Muhd. Abdullah (2010). Kepemimpinan
Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia. Kepemimpinan dan Masa Depan Pembaruan Islam. Maarif Vol 5 (1), hal.3-10
Mughni, Syafiq A. (2010). Kepemimpinan
Muhammadiyah Abad ke-2. Kepemimpinan dan
Masa Depan Pembaruan Islam. Maarif Vol 5 (1), hal.71-76
Purwanto, Agus, Fanani, Ahmad Fuad, Rais, A.I.M.,
Burhani, Ahmad Najib, Amirrachman, Alpha, dkk (2016). Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan.
Bandung: Mizan
Salam, Junus (2009). K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. Banten: Al-Wasat
Publishing House
No comments:
Post a Comment