Monday, 9 January 2017

KELOMPOK ISLAM MODERAT: TANTANGAN MERAWAT KEHARMONISAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Oleh: Ramdan Nugraha



Menurut Azyumardi Azra dalam makalah yang dipresentasikan pada Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (07/01/2017), menyebutkan bahwa beberapa tahun terakhir telah terjadi cukup banyak fenomena kekerasan berskala besar terhadap beberapa kelompok seperti Ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada 06/02/2011; bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon pada jum’at 15/04/2011; kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura pada 26/08/2012; insiden Tolikara dimana massa Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membubarkan jamaah Muslim yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri pada 17/07/2015; dan masih banyak kasus kekerasan lainnya yang suka tidak suka, harus kita akui telah melibatkan unsur keagamaan di dalamnya.
Sementara itu, internet sebagai suatu kemajuan teknologi nyatanya tidak berjalan beriringan dengan kualitas penggunanya (baca: netizen), sebaliknya, netizen banyak terpengaruh oleh penggiringan opini dalam bentuk artikel pendek yang dibaca diberbagai kolom website yang ditulis baik oleh individu maupun kelompok yang kemudian dibagikan di media sosial seperti facebook yang dominan diakses oleh netizen Indonesia, yang seringkali, mereka sendiri tidak memahami betul dengan apa yang mereka bagikan.
Tautan-tautan  tersebut secara cepat dan masif dibagikan hanya karena personal interest netizen terhadap isu yang diangkat tanpa meninjau kembali kebenaran tulisan tersebut. Dunia literasi yang tidak didukung oleh kualitas membaca semacam ini kemudian membawa masyarakat pada kubangan isu sensitif-provokatif yang kebenarannya jauh dari fakta atau yang saat ini populer disebut dengan hoax. Ekses dari semua ini adalah kebencian yang tumbuh semakin kuat antar kelompok etnis, agama, bahkan antar sesama pemeluk dalam agama yang sama (intra-agama) yang memiliki pandangan berbeda. 

Faktor Disintegrasi Bangsa
Ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab semakin bertumbuhkembangnya disharmoni hubungan sosial masyarakat di Indonesia baik antar pemeluk agama maupun pemeluk intra agama. Azyumardi Azra (2017) menyatakan bahwa peningkatan konflik dan kekerasan bernuansa agama banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran dan juga sekte dalam satu agama tertentu. Kelompok semacam itu yang umumnya menjadi objek yang menurut kelompok mainstream dikatakan menyempal atau sesat. Eksesnya tidak jarang menjadi sangat kronis dengan adanya tindakan sepihak secara anarkis dengan jastifikasi fatwa sesat dari kelompok mainstream dan dominan, sehingga terdapat apa yang sering Ahmad Syafii Ma’arif menyebutnya dengan polisi swasta yang seringkali bertindak secara sewenang-wenang hanya dengan bermodal fatwa yang secara serampangan diterjemahkan dengan tindakan main hakim sendiri.
Azra juga menambahkan faktor internal semisal kesenjangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia dan juga faktor eksternal politik transnasional (proxy war) yang umumnya terjadi di negara-negara Timur Tengah yang seringkali, krisis politik disana diterjemahkan ke dalam masalah teologi di Indonesia. Contohnya adalah kompleksitas konflik politik  di Suriah yang disimplifikasi hanya ke dalam bentuk isu Rezim Syiah yang despotik (Bashar Assad) yang secara sederhana diamini oleh para pembaca instan dari media-media provokatif. sehingga kemudian ‘agama’ adalah alasan utama untuk peduli atau bahkan berafiliasi langsung dengan pihak yang dianggap satu prinsip untuk membantunya menghadapi common enemy yang boleh jadi telah diciptakan secara politis oleh pihak-pihak yang sangat berkepentingan atas konflik tersebut.
Misalnya data dari Kapolri tahun 2015 yang menyatakan warga yang terindikasi dengan Islamic States (ISIS) di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang pada saat itu. 408 WNI yang sudah atau terindikasi akan bergabung dengan ISIS. Dari jumlah tersebut, 54 orang di ISIS, 47 orang kembali ke Indonesia, dan 70 orang berencana berangkat (Azra, 2016). Data ini menunjukkan bahwa afiliasi dalam bentuk dukungan agama secara langsung ditafsirkan dengan sederhana mengirimkan para ‘mujahid’ untuk ikut terlibat konflik secara langsung dengan motif jihad.
Sementara di Indonesia sendiri, khususnya pasca reformasi 1998, keterbukaan dan kebebasan informasi menjadi sangat kontraproduktif dengan mudah berkembangnya faham transnasional yang tumbuh subur dengan para pengikutnya yang sedang ‘kering’ beragama. Contoh paling populer adalah tentang ide khilafah yang kembali muncul setelah pernah digelorakan oleh Darul Islam pada masa orde lama. Kelompok ini semakin percaya diri dan terang-terangan menyebarkan faham bahwa Pancasila dan demokrasi adalah falsafah yang tidak sesuai dan harus segera diganti dengan bentuk negara Islam (khilafah).
Faktor lain adalah afiliasi politik masyarakat terhadap aktor politik yang mereka dukung. Pertarungan Pilpres 2014 tidak sepenuhnya telah redam antar dua kubu baik yang kalah maupun yang menang. Kubu yang kalah terus memberikan kritik yang tidak sedikit bentuknya lebih kepada penghinaan dan kabar-kabar palsu yang direkayasa atas dasar kebencian terhadap pemerintahan hari ini. Tidak tanggung-tanggung isu provokatif yang disebarkan begitu dahsyat seperti banyak media abal-abal yang mengatakan Presiden berafiliasi dengan komunis dan Indonesia sedang dalam proses penjajahan Cina.
Sama halnya dengan kubu yang menang pun, seakan mereka berada sebagai abdi dalem penguasa dan tidak ingin melihat rajanya dihina dan dilecehkan oleh rival mereka yang sebetulnya adalah hal yang rasional, namun cara dalam membela yang terkadang kelewatan tidak bisa kita sebut bijak dan wajar. Internet menjadi medan pertempuran (cyber war) bagi kedua kubu ini. Korbannya adalah orang-orang yang tidak terbiasa dengan membaca literatur baik cetak maupun online yang membentuk mereka menjadi “pembaca instan” tanpa memiliki kualitas filter informasi yang baik, sehingga dari sinilah ujaran kebencian (hate speech) sudah tidak bisa dibendung lagi dan diproduksi setiap harinya dengan jumlah pelaku yang semakin banyak. Tidak sedikit pertemanan yang telah lama terjalin di dunia nyata tiba-tiba hancur disebabkan peperangan opini yang sudah gila di dunia maya.

Tantangan Untuk Kelompok Islam Moderat
Melihat gejala yang terjadi diatas, keberadaan ormas Islam yang dikenal moderat seperti Muhammadiyah harus menjadi peace-maker sekaligus peace-doer dengan semangat nir kekerasan dengan dakwah nilai Islam yang autentik seperti yang telah dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah sendiri yaitu K.H. Ahmad Dahlan pada masanya. Gelar pahlawan untuk Kyai Dahlan tidak didapat dengan cara perlawanan fisik seperti membunuh rival yang sebetulnya pada konteks saat itu adalah logis bila dilakukan seperti apa yang dikemukakan oleh Abdul Mu’ti dalam Junus Salam (2009: 25), kepahlawanan tidak melulu harus dengan mengerahkan kekuatan otot, saling bunuh dan saling menjatuhkan.
Faktanya, Kyai Dahlan berjuang dengan cara yang lain dan bukan dengan hasil yang sia-sia – trisula Muhammadiyah; feeding (membantu meringankan masyarakat yang masih kesulitan untuk mendapatkan pangan yang cukup terutama bagi kaum mustad); schooling (mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membuka diri pada pendidikan non-keagamaan dan juga modernitas namun tidak permisif pada nilai-nilai destruktif), dan healing (meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat dalam rangka pembangunan dan pengelolaan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan) adalah perjuangan kongkret yang sampai hari ini menjadi semangat perjuangan bagi para kader Muhammadiyah. Menurut Muhd. Abdullah Darraz (2010: 5), Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah telah mendorong terciptanya kemerdekaan dengan memerdekakan cara berfikir dan menciptakan kesadaran dan menciptakan kesadaran baru dalam masyarakat pribumi.
Namun disisi lain, hari ini Muhammadiyah mengalami semacam penurunan pada konteks semangat pembaharuan keagamaan (Islam). Dalam bagian pengantar buku Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan (2016) dikatakan bahwa pesona tajdid Muhammadiyah  tampak tidak semakin memikat umat Islam. Sebaliknya, tradisi, nilai, norma, dan atau pranata serta praktik keagamaan umat Islam Indonesia semakin jauh dari etos pembaruan dan panji kemajuan Muhammadiyah; paham sinkretisme, radikalisme, dan fundamentalisme retrogatif serta transnasional khilafah dan daulah islamiyah justru menjamur. Pada posisi krusial ini, Muhammadiyah wajib hadir dalam maqamnya sebagai gerakan tengah yang sudah semestinya menjadi penengah dari berbagai konflik sosial yang terjadi belakangan.
Diamnya Muhammadiyah sebagai kelompok tengahan tentu memberikan semacam kepercayaan diri untuk kelompok noisy minority (fundamentalis kanan) dalam tindakan-tindakan yang mereka anggap telah didukung oleh dominan Muslim di Indonesia. Bahkan yang lebih buruk, kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka akhirnya digiring sebagai kelompok yang menyempal meski faktanya, jumlah yang tidak setuju dengan mereka itu lebih banyak.
Resolusi konflik yang seharusnya diketengahkan oleh kelompok moderat seperti Muhammadiyah adalah dengan tetap berdiri di tengah dan jernih serta objektif melihat masalah tanpa harus terperosok ke kanan atau ke kiri. Pendidikan yang telah dibangun melalui Amal Usaha Muhammadiyah baik dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi adalah basis solusi yang harus menanamkan nilai dan prinsip tauhid yang kuat dan diimbangi dengan rasionalitas berpikir yang kritis dan solutif dalam menghadapi segala bentuk permasalahan sosial yang kelak atau sedang dihadapi bangsa ini.
Selain itu, Muhammadiyah harus mampu menjadi pemeran atau aktor yang baik di dunia internasional dengan melihat peluang untuk membawa bangsa ini ke arah masyarakat madani yang kuat dengan aqidah dan kompetitif dalam panggung modernisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Syafiq A. Mughni dalam salah satu essaynya di jurnal Maarif (2010) bahwa Muhammadiyah tidak mungkin lagi mengisolasi diri dari pusaran internasional. Ini akan sangat berkaitan dengan usaha konsolidasi perdamaian untuk konflik internasional yang marak terjadi di Timur Tengah sampai hari ini. Perlu disadari bahwa konflik politik internasional Timur Tengah sangat berimplifikasi terhadap gerakan dan faham anarkis di tanah air. Dalam akhir pembahasan Azyumardi Azra pada pengajian PP Muhammadiyah (06/01/2017) lalu, dia menyampaikan bahwa selama masih berlangsungnya peperangan dan konflik politik ganas di Timur Tengah, selama itu pula gerakan anarkis teroris di Indonesia eksis sebagai eksesnya.
Selain pendidikan moderat-inklusif yang outputnya akan teraplikasi dalam kultur hubungan sosial-kemanusiaan yang harus dirawat dan dikembangkan mengikuti kompleksitas zaman, Muhammadiyah sudah sangat perlu menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk menjadi pucuk pimpinan Indonesia di masa depan. Karena menjadi ‘pembantu’ negara saja sudah tidak lagi cukup, kader Muhammadiyah dengan semangat fashtabiqul khairat-nya harus menjadi decision maker di pemerintahan demi arah perjuangan perdamaian Indonesia yang lebih optimal. Wacana-wacana perdamaian dalam berbagai forum diskusi sosial kemanusiaan yang marak hari ini, kelak harus bisa direalisasikan dalam bentuk kebijakan di pemerintahan sehingga ada konsekwensi hukum yang tegas bagi oknum baik individu maupun kelompok yang mencoba merusak persaudaraan bangsa melalui konflik kekerasan atas nama agama yang tidak bisa kita tolerir dengan alasan apapun. Dalam mewujudkan perdamaian paripurna, kita harus mampu mengaplikasikan semangat dasar kemanusiaan yang berbunyi: “lakukanlah apa yang kita ingin orang lain lakukan kepada kita dan jangan lakukan apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan kepada kita”.

Referensi:

Azra, Azyumardi (2017). Merawat Kerukunan Kehidupan Beragama: Peningkatan Peran-Kompetensi Kepemimpinan Publik. Makalah Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah hal.1-6

Darraz, Muhd. Abdullah (2010). Kepemimpinan Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia. Kepemimpinan dan Masa Depan Pembaruan Islam. Maarif Vol 5 (1), hal.3-10

Mughni, Syafiq A. (2010). Kepemimpinan Muhammadiyah Abad ke-2. Kepemimpinan dan Masa Depan Pembaruan Islam. Maarif Vol 5 (1), hal.71-76

Purwanto, Agus, Fanani, Ahmad Fuad, Rais, A.I.M., Burhani, Ahmad Najib, Amirrachman, Alpha, dkk (2016). Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan. Bandung: Mizan

Salam, Junus (2009). K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. Banten: Al-Wasat Publishing House

No comments: