Monday, 19 June 2017

Serangan Terhadap Ide-Ide Pluralisme dan Inklusivisme Seorang Afi Nihaya Faradisa

Oleh: Ramdan Nugraha



Kompleksnya kondisi sosio-politik Indonesia hari ini yang telah ditandai terutama sejak kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada masa sebelum kontestasi pilkada Jakarta yang berlangsung pada bulan April lalu, rupanya memiliki radius sosial yang masih sangat kuat terasa sampai hari ini. Meskipun telah ada pasangan Anis-Sandi sebagai pemenang pilkada Jakarta tersebut dan juga telah diputuskannya vonis hukum terhadap Ahok untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dia lakukan dengan konsekuensi penjara selama dua tahun tanpa ada banding darinya.
Dalam panasnya situasi politik bangsa saat ini, hadir seorang gadis belia yang baru saja menyelesaikan studinya di bangku SMA di daerah Banyuwangi Jawa Timur. Dia hadir di panggung media sosial yang hampir seluruh penduduk negeri ini berinteraksi satu sama lain didalamnya. Dengan keterampilannya menulis, Afi Nihaya Faradisa yang akrab dipanggil Afi dalam akun facebooknya, dengan jujur dan berani menuliskan segala bentuk kegelisahan yang sangat jarang bisa dirasakan oleh umumnya anak seusianya. Dia menyampaikan segala keluh-kesahnya terhadap corak pemikiran dan gaya bersikap sebagian penduduk Indonesia kontemporer yang belum lama ini berseteru disebabkan perbedaan pilihan dan pandangan politik.
Tulisan-tulisan Afi bernada persuasif-kritis dengan menawarkan ide-ide pluralisme dan inklusivisme ketengah masyarakat heterogen Indonesia yang semakin kehilangan nilai-nilai toleransinya dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Dengan kemasan kalimat yang sangat jujur dan memang pada beberapa bagian terlihat sangat berani untuk menentang kejahatan yang terjadi, Afi rupanya telah berhasil menyampaikan kritik tajam terhadap tidak sedikit pihak yang belum mampu sedewasa dan seterbuka dirinya dalam menanggapi suatu hal atau peristiwa yang terjadi di sekitar. Namun sayang, kritikan Afi yang dia sampaikan melalui tulisan-tulisannya yang dia unggah pada laman akun facebook miliknya rupanya tidak bisa diterima oleh beberapa pihak. Dengan arogan, kelompok-kelompok yang tidak suka dengan ide-ide dan kritik Afi itu kemudian memberi respon dengan sangat tidak dewasa.



“Agama Warisan” dan Respon Reaktif-Destruktif
Dari sekian banyak tulisan yang telah Afi tulis dan dibagikan melalui akun facebooknya, tulisan dengan judul “Agama Warisan” yang belakangan secara berani dia akui sebagai tulisan yang dia copy dari seorang bernama Mita, menjadi yang paling ramai mendapat respon baik positif maupun negatif. Tulisan itu telah ribuan kali dibagikan ulang dengan ribuan komentar yang muncul secara beragam. Tulisan yang pesan utamanya adalah mengajak masyarakat untuk bisa menghargai para pemeluk agama yang berbeda dan hidup harmonis dalam bingkai kebhinekaan Indonesia. Banyak orang baik muda maupun tua memberikan dukungan mereka terhadap Afi. Namun tidak sedikit juga yang mendiskriminasi Afi secara berlebihan dalam kolom komentar pada tiap tulisannya.
Diskriminasi itu dilakukan dalam bentuk olokan (bullying). Salah satu contohnya adalah ketika Afi disebut anak ingusan yang tidak paham agama atau pemahaman keagamaan Afi yang dangkal sehingga menjadi sesat dalam berpendapat, juga dengan mengatakan bahwa Afi adalah korban pendidikan yang gagal karena begitu dekat dengan paham pluralisme yang dianggap sesat oleh sebagian dan sementara kelompok masyarakat yang tidak menyukainya, dan diskriminasi-diskriminasi lainnya.
Sampai setelah keramaian itu, ada akun facebook lain dengan nama Gilang Kazuya Shimura yang mendadak populer namanya karena menulis semacam counter opinion untuk tulisan “Agama Warisan” yang disebarkan Afi. Secara umum sudah bisa kita duga, tulisan Gilang tersebut mendapatkan dua jenis respon sebagaimana tulisan-tulisan Afi. Yang disayangkan, narasi Gilang dalam tulisannya terlihat sangat menggurui. Dengan menggunakan panggilan “Dek Afi” yang mencoba untuk terlihat akrab namun juga terasa sangat jelas bahwa Gilang menempatkan dirinya sebagai sosok superior terhadap Afi yang inferior dimatanya. Gilang seperti ingin menegaskan dengan jelas bahwa apa yang digagas Afi dalam tulisan-tulisannya adalah salah dan perlu untuk segera dibenarkan dengan mengajukan cara pandang yang seharusnya. Tentu cara pandang dalam ukuran dan perspektif seorang Gilang.
Orang-orang yang sudah membenci Afi seperti mendapatkan Shot Gun dengan peluru yang penuh untuk kemudian menembakkannya secara membabi buta kepada Afi. Adalah tulisan Gilang yang dijadikan Shot Gun tersebut sebagai ide yang sangat mewakili mereka yang sudah memendam emosi yang menunggu untuk segera diluapkan namun miskin dengan ide untuk melakukan counter. Ditambah, pengakuan “plagiarisme” yang dia lakukan dalam “Agama Warisan” menambah mudah untuk orang-orang atau kelompok yang anti dengan pluralisme untuk segera mungkin menghabisi anak yang sedang berjuang untuk mengajak Indonesia sadar tentang telah hilangnya etika dalam memberi reaksi terhadap gejala sosial yang terjadi.
Saya sendiri telah membaca tulisan-tulisan Afi terutama sejak “Agama Warisan” menjadi buah bibir netizen belakangan ini. Yang saya lihat dari tulisan-tulisan Afi adalah tulisan jujur yang tidak memiliki potensi provokasi-destruktif samasekali. Sebaliknya, bila kita mau secara tulus membuka diri untuk menyelami nilai-nilai inti dari tulisan-tulisan Afi, kita akan melihat sebuah kegelisahan dari seorang anak yang menginginkan segala pertengkaran saudara-saudaranya di rumah besar bernama Indonesia, itu seharusnya bisa selesai dengan saling memahami perbedaan sebagai fitrah dari Tuhan dan kemudian saling memaafkan kesalahan yang terlanjur dilakukan.
Ketika saya membaca tulisan Gilang yang seharusnya bisa lebih dewasa terhitung dia adalah seorang mahasiswa kedokteran di kota dan negara berpemikiran maju dan moderat seperti Dresden, Jerman. Faktanya, usia dan tempatnya belajar kurang begitu berkorelasi terhadap pemikirannya. Dia terlihat ingin meraih simpati publik atau kelompok yang telah membenci Afi agar diwakili perasaannya dengan adanya tulisan yang dia buat dan terkesan sangat menghakimi dengan menganut kebenaran keyakinan dan menghadapkannya dengan logika Afi. Saya tidak melihat itu sebagai ajakan untuk sadar, sebaliknya, memperuncing perbedaan pandang secara lebih jauh dan mengajak pada perdebatan yang sangat kontra-produktif.
Gilang dengan jelas memosisikan dirinya sebagai seorang oposisi yang pemikirannya sedang bertarung dan harus menang demi memuaskan birahi kebencian para pembenci Afi. Dengan kalimat-kalimat dalam tulisannya yang dimaksudkan untuk meluruskan pemikiran dan gagasan Afi yang dia anggap menyimpang, Gilang malah terlihat begitu arogan dan tidak mau sebatas mencoba untuk mengenal Afi lebih jauh demi validitas penghakimannya yang seharusnya bisa lebih adil dan objektif. Namun bila Gilang sendiri memang sudah tak ingin adil sejak dalam pikiran, maka tulisan yang dia tujukan kepada Afi adalah sebuah bentuk perlawanan yang jelas dan harus dia menangkan.
Dalam banyak status yang dia tulis pasca pro-kontra tulisan tanggapannya terhadap Afi, Gilang semakin percaya diri dengan banyaknya orang yang membagikan dan menyukai status-status facebooknya dan menganggap dirinya sebagai pendakwah terkhusus untuk meluruskan orang seperti Afi Nihaya Faradisa. Contoh kalimat dalam statusnya banyak yang bernilai persuasif-menghakimi seperti “perasaan, saya teh update status untuk meluruskan nalar adik kecil SMA kita deh, kok pada bawa2 kuliah saya disini yah?” (20/05/2017), atau status lainnya seperti “Kita nasehatin dek Afi, karena dia muslimah dan punya pemahaman yang belum Islami. Adalah kewajiban kita meluruskan,..” (24/05/2017). dan bahkan yang terlihat begitu jelas bahwa Gilang merasa Afi memang sedang tersesat pemikiran keislamannya dengan mengatakan, “semua orang butuh proses untuk menjemput hidayah karena hidayah itu mahal. Mungkin dek Afi lelah ..” (21/05/2017). Terlihat sekali bahwa Gilang dengan segala kiasan persuasifnya, ingin mengatakan bahwa Afi adalah orang tersesat dan belum mendapat hidayah dari Allah dan dia adalah orang yang sedang membantu Allah untuk memberi hidayah itu kepada Afi.


Logika Seorang Afi Melawan Keyakinan Fanatik
Bila anda sudah mengikuti tulisan-tulisan Afi, anda akan melihat ide-ide yang sederhana dan sangat mudah dimengerti oleh pembaca tingkat apapun. Dalam banyak tulisannya, Afi lebih mengedepankan logika diantara setiap kegelisahan emosional yang dia rasakan dalam hatinya. Dia tidak mengutip ayat secara literal kalimatnya dalam rangka melegitimasi ide-idenya seperti apa yang Gilang telah lakukan sehingga bisa diterima oleh pembaca dan penikmat keyakinan yang skriptural, namun Afi lebih menawarkan pembaca untuk menyentuh ranah substansi nilai keagamaan (Islam) lebih dalam yang dia perlihatkan pada banyak kasus-kasus empiris yang dia lihat disekitarnya.
Sedangkan Gilang sebagai oposisi pemikiran dari Afi, melakukan atau merespon ide-ide yang Afi tulis dengan cara yang sangat konvensional dan memang ingin aman. Gilang tidak berani keluar zona dogma yang menuntutnya untuk bisa lebih rasional, kritis dan tidak cukup hanya dengan yakin. Gilang mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah banyak juga direspon oleh pemerhati makna dan tafsir pada bidang tersebut yang menyatakan banyak pemaknaan Gilang yang kurang tepat terhadap ayat-ayat yang dengan sederhana disodorkan dan sedikit memaksa untuk diamini oleh Afi dan sekaligus oleh pengagumnya.
Saya teringat dalam kajian filsafat, bahwa fenomena yang sering terjadi ketika seorang rasionalis ingin memaparkan kebenaran logis dan universal kepada seorang fanatis buta, maka kebenaran itu akan tetap disalahkan atas nama keyakinan. Semakin anda menunjukkan kesalahan berpikir seorang fanatis, maka semakin mereka merasa benar dengan dirinya. Meskipun ini terlalu terburu-buru, namun saya melihat potensi fanatisme dari tulisan Gilang sebagai responnya terhadap Afi ini jelas hidup dan terlihat.

Kemunduran Literasi Dari Generasi ke Generasi
Aspek yang paling krusial yang ingin saya bahas sebagai penutup kolom opini ini adalah tentang miskinnya kualitas dan kapabilitas masyarakat hari ini terutama kaum muda-pemula dalam dunia literasi. Media sosial semacam facebook adalah salah satu media paling bebas menampilkan segala bentuk tulisan yang sangat provokatif. Facebook sendiri sudah dibekali piranti terbarunya untuk mendeteksi kiriman atau tulisan yang berpotensi menimbulkan efek provokatif-destruktif dengan cara pelaporan dari penggunanya yang dilengkapi dengan alasan-alasan mengapa pengguna facebook tersebut merasa harus melaporkan tulisan atau unggahan yang berpotensi negatif. Namun saya melihat tools yang dirancang facebook masih jauh dari mampu untuk mengatasi hancurnya literasi di media sosial yang diakses oleh miliaran manusia di planet ini.
Masyarakat pembaca media sosial umumnya adalah mereka yang termasuk pada golongan junk-readers yang saya istilahkan secara pribadi. Mereka yang memahami berbagai kajian sosial secara instan yang hanya bersumber dari tulisan 3-4 paragraf dan merasa cukup sebagai sumber primer untuk menjadi landasan bersikap terkait banyak isu yang terjadi. Terdapat lebih banyak kelompok komentator dibanding verifikator informasi. Ketika para pembaca instan ini telah terbangun sebagai seorang fanatik dengan nilai-nilai yang begitu sempit, maka mereka hanya akan dan mau menerima informasi menurut selera “keyakinan” nya masing-masing saja.
Contohnya adalah banyak netizen yang telah tergiring opini tentang adanya media kafir, media sekular dan media Islami. Sehingga ketika mereka mendapat atau membaca informasi dari sumber-sumber yang telah mereka klasifikasi secara sempit itu, maka hanya akan ada dua hal yang muncul – berita yang mereka anggap hoax (bila kabar berasal dari media yang bersebrangan) dan factual (bila dari media yang mereka “yakini” benar). Inilah penyakit akut para netizen yang kemudian termanifestasi ke dalam tindakan-tindakan mereka misalnya adalah dengan mudah menyebarkan hoax dan malah membantah segala bentuk informasi faktual lantaran mindset mereka yang telah tertutup fanatisme buta untuk tidak suka dengan medianya dan dengan informasi yang terasa memojokkan kelompoknya meski hal itu memang faktual sebagaimana adanya.
Terlepas dengan plagiarisme Afi pada “Agama Warisan” yang tidak bisa kita benarkan sama sekali, satu hal yang terlihat jelas melalui sikap yang ditunjukkan oleh netizen oposisi Afi adalah tentang penentangan ide pluralisme dan inklusivismenya. Mungkin diantara para pengkritiknya, adalah mereka yang rajin melakukan copy-paste tulisan dari orang-orang yang datang dengan ide yang sama, dengan selera yang sama meski tanpa menyertakan nama penulis aslinya, yang penting satu selera dan sudah pasti boleh di copy-paste semaunya. Mereka dengan gembira menggunakan kenyataan plagiarisme sebagai senjata pamungkas untuk menghabisi IDE besar yang Afi bawa. Sekali lagi ini tentang kebencian terhadap ide.
Fenomena ini menjadi era penjajahan kemerdekaan berpikir kritis sebagian masyarakat kita hari ini. Lebih jauh, banyak orang dibentuk untuk menjadi prematur dalam berpendapat menyikapi berbagai isu sosial masyarakat. Sebagai kalimat penutup, saya ingin tegaskan bahwa kasus Afi adalah satu diantara banyaknya kasus tentang kemiskinan kualitas literasi masyarakat yang masih dalam proses bertransisi dari media manual-tradisional ke media progesif-digital, juga pembangunan karakter keilmuan yang instan yang tidak mampu menyaring informasi secara lebih kritis atas faktualitasnya.

Monday, 9 January 2017

MOTIVASI VS INSPIRASI

Oleh: Ramdan Nugraha



Ada saat ketika manusia dalam hidupnya mengalami semacam titik jenuh yang sangat manusiawi. Yang mungkin akan menjadi masalah adalah ketika mereka mengalami kejenuhan yang berkepanjangan sehingga akan sangat mengganggu kelangsungan hidup dan interaksi sosialnya. Kejenuhan itu sendiri bisa berwujud pada kesedihan mendalam, kekecewaan yang teramat sangat, juga ketakutan menghadapi kerasnya kehidupan, atau yang terparah adalah memutuskan mengambil jalan pintas dan mempermudah segalanya dengan cara mengakhiri hidup.
Pada kondisi seperti ini, manusia membutuhkan hal yang lebih bersifat batiniah yang kita sebut ‘semangat’. Tidak semua orang mampu menciptakan semangatnya melainkan harus dibantu orang lain. Semangat yang diciptakan dengan bantuan orang lain itu kita sebut dengan motivasi dan inspirasi. Dua terminologi tersebut terlihat sama namun pada aspek tertentu memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Masyarakat di perkotaan dari tingkat elite sampai menengah seperti kehilangan ruh nya ketika mereka terlalu sibuk mencari kesenangan dengan hiruk pikuk kota, sehingga ketika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan hiburan dan makanan, hati mereka mendadak kering dan kehilangan kendalinya sebagai manusia yang hidup bukan hanya dengan fisik saja. Disinilah, berdatangan (produk) motivasi buatan yang dikemas apik oleh para “motivator”.
Bisnis motivasi hari ini memiliki pasar yang sangat jelas dan menjanjikan. Berbagai acara talkshow, pengajian, bahkan sampai kuliah umum dikemas dengan konten motivasi yang membuat audiensnya tidak sanggup menahan air mata meski mungkin ada beberapa diantaranya memaksakan menangis karena takut tidak mengikuti arus mainstream acaranya. Bayaran untuk motivator pun memiliki harga masing-masing sesuai dengan tingkat popularitas si motivator. Saya pernah hadir pada acara motivasi dengan motivator populis dan sungguh saya ingin menangisi betapa garingnya motivasi yang dia berikan.
Namun pernah sekali waktu saya menangis tulus oleh seorang motivator yang mungkin satu ruangan itu saja yang kenal dengan dia karena namanya belum pernah terdengar di media mana pun. Saya yakin kata-kata yang dia sampaikan dengan tone yang dinamis membuat hati saya berirama sendu dan mengingatkan banyak penyesalan di masa lalu. Ini adalah salah satu jenis motivasi yang berkualitas karena sang motivator mengangkat kisah perjuangan hidupnya yang penuh tantangan yang berhasil dia hadapi hingga membawanya pada altar kesuksesannya hari ini. Lalu apa bedanya motivasi dengan inspirasi? Sebetulnya hampir sama seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini, namun mari kita lihat apa yang dimaksud dengan inspirasi dalam suatu frame analogi.
Misalnya adalah hidup anda yang sudah berkecukupan dan salah satu hobi anda adalah makan. Dengan uang yang anda punya, anda memiliki jadwal kuliner harian di tempat-tempat favorit yang anda sukai sambil bertemu teman-teman dan bercanda penuh kebahagiaan. Bahkan, setiap enam bulan sekali pada liburan semester, anda dan teman-teman anda pergi berlibur ke luar negeri hanya untuk mencicipi aneka macam kuliner khas suatu kota di berbagai negara. Ada semacam kepuasan tersendiri ketika anda berhasil mencicipi kuliner khas tersebut yang mungkin hanya 1:1000 orang yang berkesempatan mencicipinya.
Suatu hari, ada semacam dentuman kesadaran yang anda alami ketika melakukan pencarian di internet tentang kuliner khas di berbagai tempat yang belum dan akan anda kunjungi. Anda baru sadar bahwa semua informasi kuliner yang anda dapatkan itu diperoleh dari tulisan seseorang yang menuliskan pengalamannya di blog pribadi tentang bagaimana dia mencicipi berbagai kuliner khas kota-kota besar di dunia. Anda baru menyadari bahwa seseorang itu telah beberapa langkah lebih maju dibanding apa yang anda telah lakukan selama ini dengan menjadi “pencicip makanan khas” di berbagai tempat di dunia.
Bagaimana tidak, seseorang yang anda baca tulisannya itu telah melakukan lebih banyak hal seperti: dia telah mencicipi lebih banyak makanan khas dibanding anda; dia telah lebih dulu mengetahui tempat-tempat kuliner asik dan menarik di berbagai tempat di dunia; dia pandai menuliskan pengalamannya sehingga sangat berguna bagi sesama orang yang hobi kuliner; dan bahkan dari blog pribadinya, ternyata dia telah dianugerahi sebagai duta kuliner dari suatu badan pariwisata internasional karena banyaknya jumlah tulisan yang dia publikasi pada blog miliknya dan telah dikunjungi jutaan pembaca baik lokal maupun mancanegara.
Yang semakin membuat anda tertinggal darinya adalah anda menjadi salah satu pembaca setia blog miliknya dan sekaligus menjadi penyumbang rating tertinggi untuk penghasilan online yang dia dapatkan dari para pembaca yang mengunjungi blognya, memberi komentar, dan membagikan tulisan yang dia muat sebagai informasi yang bermanfaat. Sungguh anda telah tertinggal cukup jauh dari apa yang telah penulis blog kuliner itu lakukan. Dia juga kini memiliki jadwal bulanan mengunjungi berbagai restoran di dunia dengan biaya yang ditanggung oleh badan kementrian pariwisata di berbagai negara di dunia karena menjadi duta kuliner internasional.

Sejak saat itu, anda sadar untuk -paling tidak- melakukan hal yang sama atau mungkin lebih jauh dari apa yang telah dilakukan oleh penulis blog keren itu. Inilah apa yang disebut dengan “inspirasi”.

Inspirasi datang atau hadir tanpa kita minta namun dia datang dengan keunikan yang membuat kita takjub dan ingin mencoba melakukan hal tertentu berdasarkan inspirasi tersebut. Kini bedanya jelas antara motivasi dan inspirasi - motivasi telah menjadi ladang komersil untuk orang-orang yang jiwanya kering dari semangat hidup, orang-orang berbondong-bondong membeli tiket dan menyiapkan jadwal ditengah kesibukkan mereka untuk menghadiri seminar atau talkshow motivasi diberbagai tempat.
Motivatornya berbeda-beda kelas dan juga popularitasnya. Anda bisa pilih motivator mana yang motivasinya paling cocok dengan anda. Sedangkan inspirasi tidak membutuhkan tiket dan jadwal tertentu ditengah kesibukkan anda dan inspirasi datang bahkan mungkin dari orang yang tidak pernah kita bayangkan mampu memantik kita untuk melangkah lebih jauh dalam hidup.
Kita sering sedih dan galau ketika ruang kuliah tidak bersahabat, namun anda mungkin akan menangis menyaksikan anak-anak usia 7-10 tahun yang pada jam sekolah atau pada larut malam ketika anda pulang kuliah atau selesai dari kantor, menyaksikan mereka membawa karung lalu memunguti sampah botol untuk mereka jual kembali pagi harinya demi menyambung hidup.
Mereka seringkali bercanda satu sama lain tanpa mengkritisi kenapa mereka terlahir dengan kondisi serba kekurangan. Anak-anak yang mungkin tidak pernah tahu bagaimana rasanya nongkrong di kafe-kafe atau bahkan duduk mendengarkan guru mengajar di kelas, namun mereka terlihat tetap riang menjalani kehidupan mereka sambil terus berusaha akan adanya perbaikan hidup lewat kerja keras yang mereka lakukan.
Maka ketika anda lelah mencari tiket seminar motivasi yang sudah sold-out, cobalah dengan tulus jalani kehidupan yang maha indah ini, kurangi intensitas mengeluh terhadapa segala permasalahan yang anda hadapi. Masalah tidak akan selesai dengan keluhan tapi dia harus diatasi dan salah satu jalan mengatasinya adalah ketika anda bertemu dengan inspirasi, maka berusahalah, tulus dan jalani.

KELOMPOK ISLAM MODERAT: TANTANGAN MERAWAT KEHARMONISAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Oleh: Ramdan Nugraha



Menurut Azyumardi Azra dalam makalah yang dipresentasikan pada Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (07/01/2017), menyebutkan bahwa beberapa tahun terakhir telah terjadi cukup banyak fenomena kekerasan berskala besar terhadap beberapa kelompok seperti Ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada 06/02/2011; bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon pada jum’at 15/04/2011; kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura pada 26/08/2012; insiden Tolikara dimana massa Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membubarkan jamaah Muslim yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri pada 17/07/2015; dan masih banyak kasus kekerasan lainnya yang suka tidak suka, harus kita akui telah melibatkan unsur keagamaan di dalamnya.
Sementara itu, internet sebagai suatu kemajuan teknologi nyatanya tidak berjalan beriringan dengan kualitas penggunanya (baca: netizen), sebaliknya, netizen banyak terpengaruh oleh penggiringan opini dalam bentuk artikel pendek yang dibaca diberbagai kolom website yang ditulis baik oleh individu maupun kelompok yang kemudian dibagikan di media sosial seperti facebook yang dominan diakses oleh netizen Indonesia, yang seringkali, mereka sendiri tidak memahami betul dengan apa yang mereka bagikan.
Tautan-tautan  tersebut secara cepat dan masif dibagikan hanya karena personal interest netizen terhadap isu yang diangkat tanpa meninjau kembali kebenaran tulisan tersebut. Dunia literasi yang tidak didukung oleh kualitas membaca semacam ini kemudian membawa masyarakat pada kubangan isu sensitif-provokatif yang kebenarannya jauh dari fakta atau yang saat ini populer disebut dengan hoax. Ekses dari semua ini adalah kebencian yang tumbuh semakin kuat antar kelompok etnis, agama, bahkan antar sesama pemeluk dalam agama yang sama (intra-agama) yang memiliki pandangan berbeda. 

Faktor Disintegrasi Bangsa
Ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab semakin bertumbuhkembangnya disharmoni hubungan sosial masyarakat di Indonesia baik antar pemeluk agama maupun pemeluk intra agama. Azyumardi Azra (2017) menyatakan bahwa peningkatan konflik dan kekerasan bernuansa agama banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran dan juga sekte dalam satu agama tertentu. Kelompok semacam itu yang umumnya menjadi objek yang menurut kelompok mainstream dikatakan menyempal atau sesat. Eksesnya tidak jarang menjadi sangat kronis dengan adanya tindakan sepihak secara anarkis dengan jastifikasi fatwa sesat dari kelompok mainstream dan dominan, sehingga terdapat apa yang sering Ahmad Syafii Ma’arif menyebutnya dengan polisi swasta yang seringkali bertindak secara sewenang-wenang hanya dengan bermodal fatwa yang secara serampangan diterjemahkan dengan tindakan main hakim sendiri.
Azra juga menambahkan faktor internal semisal kesenjangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia dan juga faktor eksternal politik transnasional (proxy war) yang umumnya terjadi di negara-negara Timur Tengah yang seringkali, krisis politik disana diterjemahkan ke dalam masalah teologi di Indonesia. Contohnya adalah kompleksitas konflik politik  di Suriah yang disimplifikasi hanya ke dalam bentuk isu Rezim Syiah yang despotik (Bashar Assad) yang secara sederhana diamini oleh para pembaca instan dari media-media provokatif. sehingga kemudian ‘agama’ adalah alasan utama untuk peduli atau bahkan berafiliasi langsung dengan pihak yang dianggap satu prinsip untuk membantunya menghadapi common enemy yang boleh jadi telah diciptakan secara politis oleh pihak-pihak yang sangat berkepentingan atas konflik tersebut.
Misalnya data dari Kapolri tahun 2015 yang menyatakan warga yang terindikasi dengan Islamic States (ISIS) di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang pada saat itu. 408 WNI yang sudah atau terindikasi akan bergabung dengan ISIS. Dari jumlah tersebut, 54 orang di ISIS, 47 orang kembali ke Indonesia, dan 70 orang berencana berangkat (Azra, 2016). Data ini menunjukkan bahwa afiliasi dalam bentuk dukungan agama secara langsung ditafsirkan dengan sederhana mengirimkan para ‘mujahid’ untuk ikut terlibat konflik secara langsung dengan motif jihad.
Sementara di Indonesia sendiri, khususnya pasca reformasi 1998, keterbukaan dan kebebasan informasi menjadi sangat kontraproduktif dengan mudah berkembangnya faham transnasional yang tumbuh subur dengan para pengikutnya yang sedang ‘kering’ beragama. Contoh paling populer adalah tentang ide khilafah yang kembali muncul setelah pernah digelorakan oleh Darul Islam pada masa orde lama. Kelompok ini semakin percaya diri dan terang-terangan menyebarkan faham bahwa Pancasila dan demokrasi adalah falsafah yang tidak sesuai dan harus segera diganti dengan bentuk negara Islam (khilafah).
Faktor lain adalah afiliasi politik masyarakat terhadap aktor politik yang mereka dukung. Pertarungan Pilpres 2014 tidak sepenuhnya telah redam antar dua kubu baik yang kalah maupun yang menang. Kubu yang kalah terus memberikan kritik yang tidak sedikit bentuknya lebih kepada penghinaan dan kabar-kabar palsu yang direkayasa atas dasar kebencian terhadap pemerintahan hari ini. Tidak tanggung-tanggung isu provokatif yang disebarkan begitu dahsyat seperti banyak media abal-abal yang mengatakan Presiden berafiliasi dengan komunis dan Indonesia sedang dalam proses penjajahan Cina.
Sama halnya dengan kubu yang menang pun, seakan mereka berada sebagai abdi dalem penguasa dan tidak ingin melihat rajanya dihina dan dilecehkan oleh rival mereka yang sebetulnya adalah hal yang rasional, namun cara dalam membela yang terkadang kelewatan tidak bisa kita sebut bijak dan wajar. Internet menjadi medan pertempuran (cyber war) bagi kedua kubu ini. Korbannya adalah orang-orang yang tidak terbiasa dengan membaca literatur baik cetak maupun online yang membentuk mereka menjadi “pembaca instan” tanpa memiliki kualitas filter informasi yang baik, sehingga dari sinilah ujaran kebencian (hate speech) sudah tidak bisa dibendung lagi dan diproduksi setiap harinya dengan jumlah pelaku yang semakin banyak. Tidak sedikit pertemanan yang telah lama terjalin di dunia nyata tiba-tiba hancur disebabkan peperangan opini yang sudah gila di dunia maya.

Tantangan Untuk Kelompok Islam Moderat
Melihat gejala yang terjadi diatas, keberadaan ormas Islam yang dikenal moderat seperti Muhammadiyah harus menjadi peace-maker sekaligus peace-doer dengan semangat nir kekerasan dengan dakwah nilai Islam yang autentik seperti yang telah dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah sendiri yaitu K.H. Ahmad Dahlan pada masanya. Gelar pahlawan untuk Kyai Dahlan tidak didapat dengan cara perlawanan fisik seperti membunuh rival yang sebetulnya pada konteks saat itu adalah logis bila dilakukan seperti apa yang dikemukakan oleh Abdul Mu’ti dalam Junus Salam (2009: 25), kepahlawanan tidak melulu harus dengan mengerahkan kekuatan otot, saling bunuh dan saling menjatuhkan.
Faktanya, Kyai Dahlan berjuang dengan cara yang lain dan bukan dengan hasil yang sia-sia – trisula Muhammadiyah; feeding (membantu meringankan masyarakat yang masih kesulitan untuk mendapatkan pangan yang cukup terutama bagi kaum mustad); schooling (mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membuka diri pada pendidikan non-keagamaan dan juga modernitas namun tidak permisif pada nilai-nilai destruktif), dan healing (meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat dalam rangka pembangunan dan pengelolaan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan) adalah perjuangan kongkret yang sampai hari ini menjadi semangat perjuangan bagi para kader Muhammadiyah. Menurut Muhd. Abdullah Darraz (2010: 5), Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah telah mendorong terciptanya kemerdekaan dengan memerdekakan cara berfikir dan menciptakan kesadaran dan menciptakan kesadaran baru dalam masyarakat pribumi.
Namun disisi lain, hari ini Muhammadiyah mengalami semacam penurunan pada konteks semangat pembaharuan keagamaan (Islam). Dalam bagian pengantar buku Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan (2016) dikatakan bahwa pesona tajdid Muhammadiyah  tampak tidak semakin memikat umat Islam. Sebaliknya, tradisi, nilai, norma, dan atau pranata serta praktik keagamaan umat Islam Indonesia semakin jauh dari etos pembaruan dan panji kemajuan Muhammadiyah; paham sinkretisme, radikalisme, dan fundamentalisme retrogatif serta transnasional khilafah dan daulah islamiyah justru menjamur. Pada posisi krusial ini, Muhammadiyah wajib hadir dalam maqamnya sebagai gerakan tengah yang sudah semestinya menjadi penengah dari berbagai konflik sosial yang terjadi belakangan.
Diamnya Muhammadiyah sebagai kelompok tengahan tentu memberikan semacam kepercayaan diri untuk kelompok noisy minority (fundamentalis kanan) dalam tindakan-tindakan yang mereka anggap telah didukung oleh dominan Muslim di Indonesia. Bahkan yang lebih buruk, kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka akhirnya digiring sebagai kelompok yang menyempal meski faktanya, jumlah yang tidak setuju dengan mereka itu lebih banyak.
Resolusi konflik yang seharusnya diketengahkan oleh kelompok moderat seperti Muhammadiyah adalah dengan tetap berdiri di tengah dan jernih serta objektif melihat masalah tanpa harus terperosok ke kanan atau ke kiri. Pendidikan yang telah dibangun melalui Amal Usaha Muhammadiyah baik dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi adalah basis solusi yang harus menanamkan nilai dan prinsip tauhid yang kuat dan diimbangi dengan rasionalitas berpikir yang kritis dan solutif dalam menghadapi segala bentuk permasalahan sosial yang kelak atau sedang dihadapi bangsa ini.
Selain itu, Muhammadiyah harus mampu menjadi pemeran atau aktor yang baik di dunia internasional dengan melihat peluang untuk membawa bangsa ini ke arah masyarakat madani yang kuat dengan aqidah dan kompetitif dalam panggung modernisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Syafiq A. Mughni dalam salah satu essaynya di jurnal Maarif (2010) bahwa Muhammadiyah tidak mungkin lagi mengisolasi diri dari pusaran internasional. Ini akan sangat berkaitan dengan usaha konsolidasi perdamaian untuk konflik internasional yang marak terjadi di Timur Tengah sampai hari ini. Perlu disadari bahwa konflik politik internasional Timur Tengah sangat berimplifikasi terhadap gerakan dan faham anarkis di tanah air. Dalam akhir pembahasan Azyumardi Azra pada pengajian PP Muhammadiyah (06/01/2017) lalu, dia menyampaikan bahwa selama masih berlangsungnya peperangan dan konflik politik ganas di Timur Tengah, selama itu pula gerakan anarkis teroris di Indonesia eksis sebagai eksesnya.
Selain pendidikan moderat-inklusif yang outputnya akan teraplikasi dalam kultur hubungan sosial-kemanusiaan yang harus dirawat dan dikembangkan mengikuti kompleksitas zaman, Muhammadiyah sudah sangat perlu menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk menjadi pucuk pimpinan Indonesia di masa depan. Karena menjadi ‘pembantu’ negara saja sudah tidak lagi cukup, kader Muhammadiyah dengan semangat fashtabiqul khairat-nya harus menjadi decision maker di pemerintahan demi arah perjuangan perdamaian Indonesia yang lebih optimal. Wacana-wacana perdamaian dalam berbagai forum diskusi sosial kemanusiaan yang marak hari ini, kelak harus bisa direalisasikan dalam bentuk kebijakan di pemerintahan sehingga ada konsekwensi hukum yang tegas bagi oknum baik individu maupun kelompok yang mencoba merusak persaudaraan bangsa melalui konflik kekerasan atas nama agama yang tidak bisa kita tolerir dengan alasan apapun. Dalam mewujudkan perdamaian paripurna, kita harus mampu mengaplikasikan semangat dasar kemanusiaan yang berbunyi: “lakukanlah apa yang kita ingin orang lain lakukan kepada kita dan jangan lakukan apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan kepada kita”.

Referensi:

Azra, Azyumardi (2017). Merawat Kerukunan Kehidupan Beragama: Peningkatan Peran-Kompetensi Kepemimpinan Publik. Makalah Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah hal.1-6

Darraz, Muhd. Abdullah (2010). Kepemimpinan Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia. Kepemimpinan dan Masa Depan Pembaruan Islam. Maarif Vol 5 (1), hal.3-10

Mughni, Syafiq A. (2010). Kepemimpinan Muhammadiyah Abad ke-2. Kepemimpinan dan Masa Depan Pembaruan Islam. Maarif Vol 5 (1), hal.71-76

Purwanto, Agus, Fanani, Ahmad Fuad, Rais, A.I.M., Burhani, Ahmad Najib, Amirrachman, Alpha, dkk (2016). Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan. Bandung: Mizan

Salam, Junus (2009). K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. Banten: Al-Wasat Publishing House