Oleh: Ramdan Nugraha
Saya teringat dengan beberapa
pengalaman terkait dengan cara pandang Islam terhadap hubungan (interaksi) antara
manusia berlawanan jenis dan hal ini mengacu pada fenomena yang dinamakan “pacaran”.
Beberapa sahabat perjuangan Islam mengatakan bahwa pacaran adalah haram dan
pelakunya akan menjadi ahli dosa yang sedemikian hina. Pernyataan seperti itu
sungguh begitu egois dan terlalu permukaan untuk menjadi suatu klimaks putusan
yang membunuh interpretasi pemecahan masalah. Saya hanya ingin menegaskan bahwa
pacaran bukanlah hal yang menjadi alasan mutlak terjadinya perzinahan. Alasan
yang paling mendasar adalah pemahaman nilai-nilai hidup yang dangkal dan
ketakutan diri yang lemah dalam menghadapi cobaan hidup.
Atas pengharaman pacaran ini kemudian
berimplikasi pada tata cara kehidupan sosial masyarakat, misalnya ada seorang
pria dan wanita yang harus sama-sama saling menunduk memalingkan wajah mereka
ketika berinteraksi. Alasannya adalah menghindari fitnah dan syahwat yang
kemungkinan besar terjadi bila mereka saling bertatapan ketika berdiskusi. Saya
merasa begitu primitif pandangan dari seorang muslim bila memiliki pola pikir
seperti itu. Bila kita lihat dari lensa budaya bangsa timur, hal tersebut
dirasa kurang begitu sopan untuk dilakukan. Bila mereka ketakutan terbebani
oleh hasrat syahwat mereka, itu bukan lagi alasan universal, tapi sangat
individual dan tidak seharusnya syari’ah diikutsertakan sebagai alasan utama
untuk melakukan hal itu.
Penulis pernah memiliki pengalaman
bersama para ahli syari’ah kampus yang faham betul koridor ke-Islaman dalam
cara berinteraksi antara laki-laki dan perempuan. Namun akhir cerita dari “mereka”
yang begitu menghormati syari’ah, harus menikah lebih cepat karena alasan
pertanggungjawaban janin yang telah hadir di perut sang “akhwat” sebelum
pernikahan. Saya melihat fenomena ini terjadi karena ketakutan yang begitu
sangat untuk tidak memberikan ruang pikiran dalam mencerna pengetahuan. Umumnya
mereka lebih memilih menghindar (tidak berinteraksi seperti laki-laki dan
perempuan pada umumnya) daripada menghadapi (bersosialisasi secara normal tanpa
harus ketakutan menghadapi syahwat, dll). Dari kejadian itu, saya berpendapat
bahwa mereka yang melihat pacaran berada pada taraf dosa yang fatal adalah
mereka yang sebenarnya sangat lemah dan berada pada tingkat perasaan su’udzon
yang luar biasa, sehingga apapun yang terkait dengan kedekatan perempuan dan
laki-laki yang belum menikah adalah berbahaya karena lemahnya iman dan prinsip
hidup.
Kemudian di lain hal, ada yang
mengatakan bahwa suara wanita itu adalah aurat maka haram hukumnya untuk
mendengar wanita bernyanyi atau bahkan membaca al-qur’an dengan lantunan
lantang di depan khalayak ramai. Sungguh pemahaman yang dibuat-buat untuk
maksud dan tujuan politik tertentu, itulah sebabnya Muhammad Abduh sangat
menghindari keterlibatan dirinya dengan ruang gerak dunia politik. Hal ini
sangat begitu mendeskriditkan kaum perempuan, seakan perempuan menjadi objek
fitnah dan kesalahan. Pernikahan sirih yang dianggap legal oleh sebagian Muslim
pun memperkosa hak-hak perempuan, menindas dibalik nama syari’ah. Apakah syari’ah
sesempit ini? Saya rasa syari’ah tidak bersalah, namun “orang-orang” yang
berpredikat alim dari manusia yang anti Barat lah yang tak mau bersama-sama ber-ijtihad
ulang terkait relevansi syari’ah saat ini.
Fenomena terakhir yang ingin saya
kemukakan adalah masalah “poligami”. Pertanyaan mendasar adalah apakah modus
dilakukannya poligami oleh “ulama” Indonesia zaman sekarang? Membantu masalah
ekonomi? Menyelamatkan anak yatim? Membangun keluarga Sakinah? Apa lagi? Apakah
yakin bahwa intensi biologis tidak mendominasi niat mereka berpoligami?
Indikator paling sederhananya adalah wanita (istri) kedua, ketiga, dan
seterusnya yang dinikahi itu cenderung lebih rupawan dibanding istri pertama,
bahkan banyak dari mereka yang masih perawan dan pernah menjadi santriwatinya
di pondok pesantren. Bagi saya orang awam, sulit sekali melihat sunnah yang
diadopsi dari Rasulullah itu dapat dilaksanakan dengan esensial hari ini. Yang
kedua adalah tentang arogansi, Rasulullah adalah manusia terbaik di Bumi,
baginya bukanlah hal yang sulit berlaku adil untuk istri-istrinya, lantas
kenapa ulama yang notabene karakter dan pandangan hidupnya yang jauh dari
persentase Rasul, lantas begitu berani melakukan hal yang sama (yang tak
mungkin selain Rasul ada yang mampu mengerjakan). Disinilah saya melihat adanya
arogansi bagi para pelaku poligami.
Bila alasannya adalah menolong
hamba-hamba lemah, masih begitu banyak cara selain harus berpoligami yang bisa
dilakukan oleh ulama. Di negara Perancis, ada seorang pengusaha bernama Rachid Nekkaz yang merupakan pebisnis
Perancis Keturunan Aljazair yang berjuang bersama istrinya membantu para
muslimah yang tinggal di Perancis yang mendapat diskriminasi pemakaian penutup
aurat (kepala dan wajah) dengan sejumlah
denda yang harus dibayar bila kedapatan memakainya di Perancis. Dia pernah
berkata "Bagi wanita yang ingin
memakai burka, tidak usah khawatir. Meski mereka mendapat denda, silakan
melakukannya lagi (memakai burka) dan kami akan mengganti biaya denda,".
Begitulah peranan nyata seseorang menegakkan Islam di daerah yang bahkan Islam
sebagai minoritas, tidak dengan menikahi wanita-wanita itu sambil menganggap
bahwa poligami adalah jalan terbaik.
Sungguh dalam Islam dibutuhkan kembali
pemikiran ulang terkait dengan problematika zaman yang semakin kompleks.
Nilai-nilai Islam ditantang untuk mampu mengatasi permasalahan global, bukan
malah menambah permasalahan dan perpecahan penghuni planet Bumi ini.
No comments:
Post a Comment