Monday, 9 February 2015

Melihat Relevansi Hukum; “Hubungan Lawan Jenis Sebagai Bagian Dari Masalah Muslim Global”

Oleh: Ramdan Nugraha



Saya teringat dengan beberapa pengalaman terkait dengan cara pandang Islam terhadap hubungan (interaksi) antara manusia berlawanan jenis dan hal ini mengacu pada fenomena yang dinamakan “pacaran”. Beberapa sahabat perjuangan Islam mengatakan bahwa pacaran adalah haram dan pelakunya akan menjadi ahli dosa yang sedemikian hina. Pernyataan seperti itu sungguh begitu egois dan terlalu permukaan untuk menjadi suatu klimaks putusan yang membunuh interpretasi pemecahan masalah. Saya hanya ingin menegaskan bahwa pacaran bukanlah hal yang menjadi alasan mutlak terjadinya perzinahan. Alasan yang paling mendasar adalah pemahaman nilai-nilai hidup yang dangkal dan ketakutan diri yang lemah dalam menghadapi cobaan hidup.
Atas pengharaman pacaran ini kemudian berimplikasi pada tata cara kehidupan sosial masyarakat, misalnya ada seorang pria dan wanita yang harus sama-sama saling menunduk memalingkan wajah mereka ketika berinteraksi. Alasannya adalah menghindari fitnah dan syahwat yang kemungkinan besar terjadi bila mereka saling bertatapan ketika berdiskusi. Saya merasa begitu primitif pandangan dari seorang muslim bila memiliki pola pikir seperti itu. Bila kita lihat dari lensa budaya bangsa timur, hal tersebut dirasa kurang begitu sopan untuk dilakukan. Bila mereka ketakutan terbebani oleh hasrat syahwat mereka, itu bukan lagi alasan universal, tapi sangat individual dan tidak seharusnya syari’ah diikutsertakan sebagai alasan utama untuk melakukan hal itu.
Penulis pernah memiliki pengalaman bersama para ahli syari’ah kampus yang faham betul koridor ke-Islaman dalam cara berinteraksi antara laki-laki dan perempuan. Namun akhir cerita dari “mereka” yang begitu menghormati syari’ah, harus menikah lebih cepat karena alasan pertanggungjawaban janin yang telah hadir di perut sang “akhwat” sebelum pernikahan. Saya melihat fenomena ini terjadi karena ketakutan yang begitu sangat untuk tidak memberikan ruang pikiran dalam mencerna pengetahuan. Umumnya mereka lebih memilih menghindar (tidak berinteraksi seperti laki-laki dan perempuan pada umumnya) daripada menghadapi (bersosialisasi secara normal tanpa harus ketakutan menghadapi syahwat, dll). Dari kejadian itu, saya berpendapat bahwa mereka yang melihat pacaran berada pada taraf dosa yang fatal adalah mereka yang sebenarnya sangat lemah dan berada pada tingkat perasaan su’udzon yang luar biasa, sehingga apapun yang terkait dengan kedekatan perempuan dan laki-laki yang belum menikah adalah berbahaya karena lemahnya iman dan prinsip hidup.
Kemudian di lain hal, ada yang mengatakan bahwa suara wanita itu adalah aurat maka haram hukumnya untuk mendengar wanita bernyanyi atau bahkan membaca al-qur’an dengan lantunan lantang di depan khalayak ramai. Sungguh pemahaman yang dibuat-buat untuk maksud dan tujuan politik tertentu, itulah sebabnya Muhammad Abduh sangat menghindari keterlibatan dirinya dengan ruang gerak dunia politik. Hal ini sangat begitu mendeskriditkan kaum perempuan, seakan perempuan menjadi objek fitnah dan kesalahan. Pernikahan sirih yang dianggap legal oleh sebagian Muslim pun memperkosa hak-hak perempuan, menindas dibalik nama syari’ah. Apakah syari’ah sesempit ini? Saya rasa syari’ah tidak bersalah, namun “orang-orang” yang berpredikat alim dari manusia yang anti Barat lah yang tak mau bersama-sama ber-ijtihad ulang terkait relevansi syari’ah saat ini.
Fenomena terakhir yang ingin saya kemukakan adalah masalah “poligami”. Pertanyaan mendasar adalah apakah modus dilakukannya poligami oleh “ulama” Indonesia zaman sekarang? Membantu masalah ekonomi? Menyelamatkan anak yatim? Membangun keluarga Sakinah? Apa lagi? Apakah yakin bahwa intensi biologis tidak mendominasi niat mereka berpoligami? Indikator paling sederhananya adalah wanita (istri) kedua, ketiga, dan seterusnya yang dinikahi itu cenderung lebih rupawan dibanding istri pertama, bahkan banyak dari mereka yang masih perawan dan pernah menjadi santriwatinya di pondok pesantren. Bagi saya orang awam, sulit sekali melihat sunnah yang diadopsi dari Rasulullah itu dapat dilaksanakan dengan esensial hari ini. Yang kedua adalah tentang arogansi, Rasulullah adalah manusia terbaik di Bumi, baginya bukanlah hal yang sulit berlaku adil untuk istri-istrinya, lantas kenapa ulama yang notabene karakter dan pandangan hidupnya yang jauh dari persentase Rasul, lantas begitu berani melakukan hal yang sama (yang tak mungkin selain Rasul ada yang mampu mengerjakan). Disinilah saya melihat adanya arogansi bagi para pelaku poligami.
Bila alasannya adalah menolong hamba-hamba lemah, masih begitu banyak cara selain harus berpoligami yang bisa dilakukan oleh ulama. Di negara Perancis, ada seorang pengusaha bernama Rachid Nekkaz yang merupakan pebisnis Perancis Keturunan Aljazair yang berjuang bersama istrinya membantu para muslimah yang tinggal di Perancis yang mendapat diskriminasi pemakaian penutup aurat (kepala dan wajah)  dengan sejumlah denda yang harus dibayar bila kedapatan memakainya di Perancis. Dia pernah berkata "Bagi wanita yang ingin memakai burka, tidak usah khawatir. Meski mereka mendapat denda, silakan melakukannya lagi (memakai burka) dan kami akan mengganti biaya denda,". Begitulah peranan nyata seseorang menegakkan Islam di daerah yang bahkan Islam sebagai minoritas, tidak dengan menikahi wanita-wanita itu sambil menganggap bahwa poligami adalah jalan terbaik.
Sungguh dalam Islam dibutuhkan kembali pemikiran ulang terkait dengan problematika zaman yang semakin kompleks. Nilai-nilai Islam ditantang untuk mampu mengatasi permasalahan global, bukan malah menambah permasalahan dan perpecahan penghuni planet Bumi ini.

No comments: