Oleh: Ramdan Nugraha
Kehidupan
para Nabi dan Rasul utusan Allah swt banyak terjadi di Timur Tengah khususnya
di tanah Arab. Sehingga budaya yang begitu kuat terlihat oleh para pembelajar
Islam adalah budaya Timur Tengah itu sendiri atau budaya Arab tepatnya. Budaya
itu sendiri adalah cara hidup kelompok atau komunitas manusia yang secara
bersama-sama disetujui dan dijadikan warna tersendiri dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, cara makan dan minum,
jenis-jenis pekerjaan, bentuk tempat tinggal, bahasa, dll.
Islam
diawali dan tumbuh subur di tanah Arab yang sekaligus membawa aspek budaya
dalam penyebarannya ke daerah-daerah yang di-Islamisasi. Ketika Islam sampai ke
Indonesia, maka aspek yang paling pertama dilihat adalah penampilan fisik para
pendakwahnya. Akhirnya, penampilan tersebut seolah menjadi warna identitas bahwa
bila masuk Islam maka lebih baik pula berpenampilan seperti para penyebar agama
dari daerah asalnya. Fenomena inilah yang ternyata masih begitu kuat dibawa
bahkan oleh para penganut Islam di zaman modern seperti saat ini.
Islam
yang baik adalah mereka yang memakai gamis, memakai hijab panjang dan lebar,
memanjangkan jenggot, saling bersapa “akhi, ukhti, ana, ente” hingga
membangun suatu rumah tangga dengan warna Arab “abi dan umi”. Kemudian
ada pandangan keliru mereka yang memberi vonis bahwa sholat memakai jeans dan t-shirt itu tidak sopan, bahkan sholatnya tidak diterima. Ada pula
yang mengatakan bila masih mengenakan kerudung yang hanya terurai sampai leher
itu belum bisa dikatakan menutup aurat, dll.
Inilah
petaka dimulainya simbolisasi Islam. Pemunduran pemikiran dan interpretasi
kandungan Islam yang dipersempit ke dalam bentuk penampilan yang sebenarnya
tidak lebih dari budaya para pemeluk Islam mula-mula di tanah asalnya di Timur
Tengah. Islam yang kemudian hanya berhenti pada tatanan penampilan yang esensi
moralnya sangat jauh dari yang Nabi dan Rasulnya harapkan. Maka tidaklah aneh
berhijab dan berzina antara “ikhwan dan akhwat”, atau ukhti-ukhti
yang saling ber-ghibah satu sama lain tentang orang atau kelompok yang mereka
yakini belum atau bahkan tidak beriman.
Begitulah
produk terserapnya ajaran budaya yang memilki sakralitas sebagai syarat
kesalihan dalam bentuk simbolisasi penampilan. Maka implikasinya adalah
ibadah-ibadah seperti sholat, membaca Al-qur’an, puasa, zakat, dll hanya akan
bermuara pada gerakan ritual fisik saja, dan meninggalkan esensi yang kemudian
membusuk tak bernilai yang akhirnya menjadi produk KESALIHAN ISLAM SIMBOLIK.