Meski hanya sekitar satu jam berdiskusi
dengan salah seorang aktifis ideologis angkatan 98 yang masih konsisten dengan
karakternya yang sangat progresif, dinamis, berkemajuan, serta hal menakjubkan
lainnya yang rasanya seperti meminta kambing untuk terbang bila kita mencari
sosok seperti ini dikalangan aktifis mahasiswa kontemporer sekarang. Saya merasa
ada banyak sekali poin penting yang muncul dari dialektika yang sangat
bergairah dan berkualitas ini hingga membawa saya melihat cerminan sosok aktifis
60 yang sangat fenomenal bernama Soe Hok Gie.
Awalnya saya membuka diskusi
dengan bertanya seputar bom Sarinah Jakarta (Kamis, 14 Januari 2016) yang cukup
merusak fasilitas dan mengkhianati kemanusiaan itu yang kabarnya sampai
terngiang di Amerika dan Eropa. Ada dua spekulasi yang muncul, pertama, bahwa
bom tersebut adalah bentuk kampanye dari salah seorang calon pemimpin Ikatan
Sesama Intelejen Sakit (baca: ISIS) untuk kawasan Asia Tenggara. Ketika kejadian
bom Sarinah ini menyita perhatian banyak pihak, maka kampanye pemilihan
Khalifah itu diniliai berhasil dan memberi poin tertentu bagi kandidiat
tersebut untuk memenangkan kompetisi hina khalifah. Begitulah kebanggaan
golongan manusia yang pernah dikeluhkan oleh para malaikat dulu tentang
pengangkatannya sebagai pemimpin di muka bumi (konon).
Spekulasi kedua adalah adanya
elite lokal yang berkepentingan dengan mencuci otak para pemuda yang mungkin
lapar atau ingin 70 bidadari surga yang entah ada atau hanya sebagai pengantar
tidur dewasa, untuk mau meledakkan bom disekitar halaman Starbuck yang penuh
dengan penjual kaki lima. Ada hal yang unik bahwa tidak lama setelah ledakan,
ada seorang polisi yang langsung melancarkan tembakan ke arah lokasi ledakan
dengan memburu para pemuda galau yang belum meledakkan diri itu. Entah kebetulan
sudah siaga atau seperti apa, yang pasti itu adalah tindakan tercepat
kepolisian.
Saya rasa semua spekulasi yang
muncul, bila memang ini semua adalah bagian kecil dari konspirasi jahat yang
raksasa, maka tidak usah kita berharap banyak karena “kebenaran itu hanya ada
di langit dan dunia itu adalah palsu, palsu!” begitulah kata Gie
sebagai seorang aktifis ideologis yang idealis saat ia menghadapi chaos negara pada zamannya. Lantas saya
bingung dengan semua ini, untuk apa? Untuk siapa? Tentunya banyak sekali aspek
yang mempengaruhi semua ini. Saya garis bawahi kata si abang semua ini adalah
konsekwensi keberagaman yang dimiliki Indonesia sebagai negara yang sumber daya
alamnya paling potensial di dunia ini, sehingga bukanlah hal yang tabu bila
pihak baik lokal maupun global sangat berkepentingan demi surga dunia ini, dan
politik konspirasi adalah metode yang ampuh untuk bisa mewujudkan cita-cita
mereka yang fana itu.
Lantas, solusi real apa yang bisa dilakukan? Saya tanya
si abang. Dengan gayanya yang sangat
retoris dia berkata,“kesadaran masyarakat untuk bisa menjadi manusia baik”
seperti masyarakat Eropa dan Amerika saat ini. Meski negara-negara Barat
berdiri dengan konstruksi falsafah kenegaraan yang berbeda-beda bahkan sangat
terdengar ngeri bagi kita semacam komunis, sosialis, fasis, namun mereka mampu
menjadi bangsa yang makmur dan aman seperti yang dicita-citakan Hizbut Tahrir. Artinya,
apapun konstruksi bangunan negara ini, hal paling esensial adalah
cocok-tidaknya konstruksi itu dengan realita dan karakter masyarakat suatu
negara tersebut.
Hizbut Tahrir menyebut
ke-khilafah-an adalah konstruksi bangunan sempurna yang akan menyelesaikan
semua masalah Indonesia, saya rasa untuk masalah kemacetan Jakarta saja masih
akan kalah hebat oleh Go-Jek meski tanpa embel-embel
syariah (baca: Go-Jek Syariah). Tidak
akan pernah ada konstruksi bangunan negara yang abadi, namun lebih kepada
kebutuhannya masing-masing berdasarkan perkembangan masyarakatnya. Masyarakat
bukanlah Tuhan, namun tanpa masyarakat negara tidak akan memiliki tempat
meretaskan aturan-aturannya termasuk keberadaan agama di dalamnya.
Maka “sadar untuk menjadi
manusia baik” itu adalah tugas yang sangat besar mungkin melebihi Uhud atau
Khandak, dan sudah jelas akan terjadi banyak kehinaan sejarah semacam Shiffin
atau perang Salib. Hari ini Tuhan telah menunggu masa dimana cipataan-Nya mampu
dewasa dan menjadi manusia dengan nilai hakiki dan siap merepresentasikan
penciptanya.
No comments:
Post a Comment