Tuesday 27 January 2015

REFLEKSI INTERPRETASI KEBENARAN; Kesakralan Syariah Yang Tidak Boleh Dirubah

Oleh: Ramdan Nugraha



Saya ingin memulai dengan sebuah ungkapan berdasarkan olah kata pemikiran dan keterlibatan nilai-nilai tulus dari hati; “kebenaran absolut hanyalah milik Sang Pencipta yaitu ALLAH SWT”. ketika kata-kata tersebut terungkap setelah selesai melewati proses interpretasi yang menjadi premis dari berbagai input baik yang jelas atau abstrak, semua bersatu dalam muara akhir untuk kesadaran yang klimaks bahwa: “nilai kebenaran kehidupan tidaklah absolut bila dilihat dari sudut pandang interpretasi manusia, semua tetap berada dalam track penafsiran dengan kadar yang berbeda-beda dan patut untuk dihargai dan dihormati kendati memiliki tingkat pandangan kebenaran yang keliru dari masyarakat mayoritas atau dominan.”
Berdasarkan uraian singkat diatas, tulisan ini akan dibawa ke dalam ranah analitis terkait fenomena “jastifikasi kebenaran absolut” yang telah dimulai puluhan bahkan ratusan tahun lalu hingga kini dan mulai banyak di anut oleh banyak kalangan sebagai suatu gerakan pemikiran yang diyakini benar dan bergerak secara dominan. Saya akan membatasi fenomena pandangan kebenaran absolut yang terjadi di Indonesia. Saya akan memulai dengan isu gerakan militan kelompok Islam ekstrimis pasca kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah dimulai secara militan jauh sebelum diproklamirkannya kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Nama kelompok tersebut adalah Darul Islam (DI) yang diprakarsai oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kemudian secara utuh diproklamirkan pada tahun 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya ( Jawa Barat.  Pasukan perang dari DI ini dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) Gerakan ini didasari oleh nilai perjuangan untuk mendirikan negara Islam Indonesia dan menentang ideologi pancasila sebagai haluan negara. Ideologi selain Syari’ah Islam dinilai haram dan pengikutnya dianggap pembangkang Islam (kafir).
Kemudian pada tanggal 1 Juli 1972, berdiri suatu kelompok baru bernama Lembaga Karyawan Dakwah Islam (LEMKARI) di Surabaya, Jawa timur, atas arahan Pangdam VIII Brawijaya, Mayjen TNI Wijoyo Suyono. Kelompok ini bergerak dengan interpretasi mandiri terkait nilai-nilai syari’ah Islam. Namun, keyakinan interpretasi golongan ini yang begitu kuat memberi keyakinan terhadap para pengikutnya bahwa golongan atau ajaran yang  mereka anut adalah secara absolut yang paling benar. Sebagai konsekwensinya, mereka menganggap bahwa organisasi Islam lain yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka adalah sesat atau menyimpang. Maka dikenalah golongan ini sebagai golongan eksklusif bahkan tempat ibadahnya saja pantang disinggahi oleh kelompok diluar kelompok mereka karena dianggap membawa najis dan harus dibersihkan. Namun, pada tahun 1990 setelah kelompok ini diperingatkan oleh Majelis Ulama Indonesia, mereka menyatakan diri bertaubat dan ingin merubah pola pikir dan pandangan ke-Islamannya kembali kepada jalan yang secara umum disetujui di Indonesia. Ada jumlah jemaah yang tidak sedikit keluar dan meninggalkan LDII, mereka mendirikan counter movement untuk memberi kesaksian terkait apa yang mereka alami baik dalam interaksi sosial ataupun ajaran dan nilai-nilai ke-Islaman yang mereka terima. Namun, jemaah yang masih setia bergabung di LDII mengecam semua bentuk pemberitaan dan mereka menganggap itu semua fitnah dari pihak-pihak yang telah murtad. Begitulah permasalahan yang timbul dari kelompok Islam yang satu ini.
Dan kelompok terbaru yang menunjukan militansinya di Indonesia adalah kelompok yang pemikirannya lahir dari timur tengah (Yordania) dan mereka bergerak dalam ranah politik. Nama kelompok yang diprakarsai oleh kaum intelektual fundamentalis ini adalah (hizb al-tahrir al-islami) atau sekarang lebih dikenal dengan nama Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyyuddin An Nabhani (1905-1978) pada tahun 1952 di Al Quds berdasarkan aqidah Islam yang mempunyai makna partai pembebasan. Mereka berasumsi bahwa syari’ah dan khilafah yang pada zaman sahabat rasulullah pernah dibangun selama puluhan tahun hingga akhirnya tumbang disebabkan konspirasi politik besar kompetitornya baik di internal Islam maupun pihak eksternal non-Islam. HT berpendapat bahwa dunia ini terutama negeri yang dominasinya diduduki oleh penganut Islam tidak akan pernah berdiri kokoh dan aman bila sistem pemerintahan khilafah tidak di tegakkan. Dengan alasan itu, mereka bergerak secara militan dengan sangat masiv lewat dakwah-dakwah ilmiah yang memberikan bukti dan fakta kelebihan dan ke-absolutan khilafah dibanding dengan sistem pemerintahan apapun yang ada di seluruh negara di dunia. Doktrin-doktrin syari’ah begitu akrab dalam prosesi dakwah kecil dan dakwah dalam skala internasional. Jaringan HT pun sudah terbangun sedemikian luas di negara-negara berbasis Islam dominan yang dimotori para intelektual kampus atau tokoh-tokoh besar dan memiliki posisi penting dalam negara. Di Indonesia sendiri terjadi kontradiksi yang cukup ironis, yakni HT tidak pernah ingin masuk ranah politik pemerintah dan tidak menjadi kepartaian secara formal dengan alasan tidak ingin menjadi bagian yang mendukung hukum orang-orang kafir (baca: demokrasi). Namun gerakan militannya terlihat begitu politis dalam menggiring opini publik terkait nilai absolut kebenaran syari’ah.
Tibalah saya sebagai penulis untuk memberikan cara pandang terhadap tiga fenomena pergerakan besar yang pernah bahkan ada yang masih berjalan begitu kuat di negara Indonesia saat ini. Satu hal yang ingin saya kemukakan terlebih dulu bahwa tak satupun dari ormas atau kelompok yang telah disebutkan saya jastifikasi “KAFIR atau SESAT”. Mengapa? Karena semua pergerakan tersebut lahir dari buah pemikiran atau ijtihad dari masing-masing penggagasnya dengan kajian alasan dan tujuan yang tidak bisa kita anggap prematur. Semua kelompok diatas menginginkan satu benang merah; “Negara Islam”. Sebagai seorang muslim, saya tidak keberatan bila nilai-nilai Islam secara utuh diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Namun yang jadi pertimbangnan mendalam adalah “Nilai-nilai Islam yang seperti apa yang seharusnya ada dan diaplikasikan?”.
Nilai kehidupan yang sudah dimulai sejak dihidupkannya manusia pertama Adam a.s. Yang menempati syurga Allah yang kemudian diturunkan ke Bumi atas suatu kesalahan Adam yang akhirnya menjadi awal kehidupan manusia Bumi. Usia Adam yang diriwayatkan sekitar ratusan tahun memberikan gambaran nilai hidup yang implementatif dengan kebaikan-kebaikan yang bersifat ilahiyah. Nilai-nilai hidup itu kemudian terus bergulir sampai pada kelahiran nabi terakhir yaitu Muhammad saw. Pada masa Rasululllah inilah Islam mencapai titik tertinggi dari suatu peradaban yang pernah ada di muka Bumi. Apakah instrumen penentu keberhasilan Rasulullah saat itu dalam membangun peradaban dalam waktu yang bisa dikatakan singkat untuk suatu pencapaian yang tidak akan ada yang mampu menyainginya? Jawabannya adalah Al-qur’an. Ada apa dengan Al-Qur’an? Sebelum Al-qur’an turun, sudah diturunkan terlebih dulu kitab Taurat yang wahyukan kepada nabi Musa as., kemudian dilanjutkan dengan Zabur kepada nabi Daud a.s., dan Injil yang disebarkan ajarannya oleh nabi Isa a.s. Namun ketiga kitab terdahulu hukum dan nilainya secara dominan berlaku dan terbatas pada masa nabi-nabi yang membawa ajaran kitab tersebut dan dalam rentan waktu tertentu. Kedatangan Al-qur’an adalah absolute values of life (nilai-nilai hidup mutlak). Namun apakah ketika Rasulullah hadir dengan Al-qur’an kemudian sudah ada “syari’ah” saat itu yang mengatur segala permasalahan kehidupan masyarakat suatu negara atau kaum? Jawabannya adalah belum. Karena Rasulullah berhadapan dengan begitu banyaknya hambatan dan penentangan dari segala penjuru Mekah saat itu. Yang Rasulullah lakukan adalah merepresentasikan Islam dalam nilai-nilai perbuatan individunya dengan semua kebaikan dan kebermanfaatan untuk orang disekitarnya.
Al-qur’an sendiri diwahyukan kepada rasulullah berangsur-angsur dan tidak menyeluruh dalam waktu singkat. Ada ayat-ayat yang diturunkan di Mekah dan ada yang diturunkan di Madinah. Saya tidak akan membahas sejarah diturunkannya Al-qur’an secara mendalam. Kembali pada syari’ah yang pertama di kenal dan diformalisasi sebagai aturan hukum adalah pada masa Dinasti setelah Khulafaurosyidin. Disinilah dimulainya pandangan kebenaran absolut terhadap syari’ah. Aturan Islam yang merupakan interpretasi Al-qur’an pada masa dinasti itu memang sangat representatif dalam berbagai urusan hukum sehingga dijadikan rujukan dalam pengambilan putusan secara utuh. Syari’ah pun bertahan selama ratusan tahun sampai pada runtuhnya kekhalifahan dibawah dinasti-dinasti Islam di timur tengah.
Sekarang mari kita lihat kembali kepada tiga gerakan Islam besar yang dibahas di awal tulisan ini, apakah memang syari’ah yang pernah begitu representatif diterapkan pada masa dinasti Islam terdahulu masih bisa secara mutlak utuh untuk diterapkan kembali pada saat ini? Tentu jawaban yang mungkin muncul bisa saja beragam, namun adanya doktrin raja-raja terdahulu yang menilai bahwa syari’ah adalah mutlak dan pihak yang ingin mengkaji ulang syari’ah diklaim sesat, maka akan mempengaruhi jawaban yang mungkin saja lahir dengan berbagai pemahaman akhirnya pupus karena ketakutan menjadi sesat hanya karena klaim manusia Islam mayoritas. Inilah yang menjadi alasan tiga kelompok Islam memaksakan kehendak mereka untuk menjadikan syari’ah sebagai aturan utuh yang tidak dapat dirubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman. Sehingga bila ada pihak atau kelompok memiliki pemahaman berbeda, maka mungkin akan dijauhi dan disesatkan, atau lebih ekstrim akan diperangi secara fisik sekalipun jumlah pihak yang tidak setuju jauh lebih banyak. Semua pergerakan melalui interpretasi keabsolutan syari’ah itu akhirnya menumbuhkan benih-benih radikal yang siap menumpas kelompok-kelompok berbeda yang tidak setuju dan tidak mau mengikuti.
Sejenak kita kembali pada masa Rasulullah hijrah ke Madinah disebabkan keadaan Mekah yang semakin genting dan membahayakan diri Rasulullah sendiri. Di Madinah terdiri dari masyrakat heterogen (Muslim, Yahudi, Majusi, dll), pertanyaannya adalah, apakah Rasulullah dengan membawa jumlah jemaah muslim yang banyak itu kemudian secara langsung memaksakan aturan kepada penduduk di Madinah dan menyesatkan perbedaan faham dengan beliau? Dan apakah secara tiba-tiba syari’ah ditegakkan di Madinah? Saya rasa inilah piciknya kelompok yang mengaku mencintai Rasulullah, namun mencoba meninggalkan esensi nilai kehidupan yang dipraktikan secara jelas dan representatif dari nilai-nilai Al-qur’an. Rasulullah telah begitu gamblang mempresentasikan Islam sebagai agama kedamaian dan siapapun, dengan kepercayaan apapun, dengan status sosial bagaimanapun, mampu menerima cara pandang muslim menjalankan ke-Islamannya, yang pada akhirnya mereka sadar dengan penuh keyakinan bahwa Islam lah agama yang benar.
Bila Allah melalui Al-qur’an telah begitu jelas mengatakan dan menjelaskan aturan hidup manusia secara utuh, maka apalah gunanya interpretasi? Al-qur’an adalah pedoman yang ada kalam Allah didalamnya yang wajib kita interpretasi melalui ijtihad keilmuan yang tinggi. Bahasa al-qur’an tidak dapat secara keseluruhan diterjemahkan secara langsung, namun banyak diantara ayat-ayatnya yang perlu ijtihad interpretasi yang mendalam. Sebagai contoh: QS. Al-Ma’un ayat 4: “maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, ayat 5: yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya. Penulis pernah menghadiri beberapa pengajian dan menjelaskan kandungan ayat-ayat ini. Namun yang penulis dapat untuk kandungan ayat 5 surat Al-Ma’un adalah kita harus sholat tepat waktu dan jangan sampai dilalaikan. Menurut saya, sholat tepat waktu adalah keharusan, namun apakah esensial bila seorang muslim telat sholat dianggap mereka akan celaka? Sesempit itukah makna sholat yang hanya diterjemahkan melalui takbir, ruku, sujud, tahiyat, kemudian diakhiri salam dan doa? Sejujurnya saya sangat sedih mengetahui pendistorsian kandungan nilai sholat menurut para “ulama” tertentu ini. Ketika seorang muslim melaksanakan sholat dengan penuh pemaknaan, maka secara automatis perilakunya akan merepresentasikan nilai-nilai sholat itu sendiri. Bila seorang yang setiap hari sholat berjamaah di mesjid lalu dilanjutkan sunnah-sunnahnya namun dia masih korupsi, masih berzinah, masih mabuk-mabukan, masih bergunjing, maka sholatnya tidaklah lebih dari takbir, ruku, sujud, salam tak bermakna.
Maka bila dikaitkan dengan pemaknaan syari’ah sebagai aturan absolut yang tidak boleh dikaji ulang, saya rasa akan ada banyak friksi dan pertikaian di muka Bumi seperti banyaknya gerakan Islam radikal yang telah sukses membunuh karakter Islam dengan sindrom ISLAMOPHOBIA untuk masyarakat dunia. Namun bila syari’ah melaui ijtihad tinggi para ulamanya dikaji ulang dan disesuaikan dengan keadaan tanpa merubah esensi suci Al-qur’an yang sempurna, maka akan terwujud kebenaran dinamis yang tidak beku dan akan diterima bahkan oleh golongan non-muslim tanpa ada peperangan yang begitu dahsyat yang membasahi Bumi dengan darah-darah manusia yang menjadi korban para intelektual Islam yang tidak mau lelah berijtihad demi tercapainya peradaban Islam besar seperti sedia kala. Terakhir saya ingin mengatakan bahwa yang suci dan sakral adalah Al-qur’an, syari’ah adalah bentuk ijtihad untuk menterjemahkan Al-qur’an secara relevan dan siap menjawab permasalahan jaman apapun, bukan hanya jaman dinasti yang sudah runtuh. Semoga Islam dengan segala kedamaian dan nilai-nilai luhurnya akan menjadi kepercayaan terakhir yang dipeluk dan diyakini manusia di Bumi ini.
(Ramdan Nugraha, Ketua CAAW; Community of Aliens Are Watching)

No comments: