Friday 16 September 2016

SCIENCE FICTION DAN RASIONALISASI ILMU LADUNI

Oleh: Ramdan Nugraha



Alam semesta adalah teka-teki yang paling rumit untuk dikaji meski sebagian kelompok mengklaim bahwa penciptaan manusia dengan segala unsurnya tetap menjadi yang paling kompleks. Fenomena alam semesta selalu berubah setiap detiknya seperti apa yang pernah saya dengar dari salah seorang akademisi bahwa satu-satunya hal yang abadi di dunia ini adalah perubahan.

Lucy dan Probabilitas Manusia Unggul
Bila anda pernah menonton film yang disutradarai oleh Luc Besson berjudul “Lucy” yang sekaligus menjadi nama tokoh utama film ini yang diperankan oleh Scarlett Johansson (2014), anda akan mendapatkan semacam cerita fantasi yang bisa diterima nalar logis karena skenario film sengaja dibuat sedemikian rupa agar bisa dicerna dengan akal manusia sebagaimana film science fiction pada umumnya. Yang menarik dari film ini adalah tentang kapasitas otak manusia yang bisa digunakan secara maksimal sampai pada tingkat 100%. Manusia umum seperti kita yang hidup saat ini rata-rata menggunakan kapasitas otak hanya sampai 10% saja. Meski dengan kapasitas otak 10% ini, manusia sudah mampu meciptakan banyak hal luar biasa seperti handphone, pesawat, drone, satelit, dan temuan fantastik lainnya. Lalu bagaimana apabila kita mampu upgrade otak kita sampai pada kapasitas 100%? Tidak terbayangkan bahwa Lucy, tokoh utama dalam film ini bisa mengendalikan dirinya sendiri untuk levitasi (melawan gravitasi bumi) yang konon para Wali Songo pun sering mempraktikkannya dulu. Lebih jauh lagi, Lucy bisa mengendalikan orang lain untuk tidak bergerak atau bahkan mengarahkan orang lain mengikuti apa yang ia perintahkan seperti para pelaku hipnotis namun dengan tingkatan yang jauh lebih fantastis.
Yang paling menakjubkan dan yang membuat saya “ragu tapi optimis” adalah teleportasi dan time-travelling. Bila anda akrab dengan kisah para Sunan atau Wali, teleportasi bukanlah hal yang langka untuk dibahas. Seperti beberapa Wali Songo yang hanya menutup mata di suatu tempat kemudian membuka mata di tempat lain. Ilmu ini dikenal dengan ilmu laduni dalam dunia mistisisme agama Islam. Atau bila harus lebih jauh, perjalanan Rasulullah Muhammad ke Sidratul Muntaha yang secara klasik dan turun temurun dijelaskan hanya pada batas keyakinan transendental yang mungkin saja suatu saat bisa dijelaskan secara ilmiah.
Penelitian terbaru di Amerika dan Rusia mengatakan sudah bisa memindahkan materi/benda ke tempat lain meskipun dengan hasil yang belum sempurna yaitu benda tersebut hancur dari bentuk asalnya namun berhasil dipindahkan atau diteleportasikan. Itu menjadi indikator bahwa teleportasi bukanlah hal mistis namun sangat saintifik. Sederhana bila kita mau kaitkan dengan firman Allah dalam Surat an Naml (27) ayat 38 – 40 tentang pemindahan istana ratu Balqis oleh seorang manusia ahli kitab hanya dalam hitungan detik sesaat setelah nabi Sulaiman membuka mata dari kedipannya.
Maka jelas, dari sudut pandang agama dan sains, teleportasi tidaklah bisa ditolak. Hanya kelompok anti sains dan fanatis agama yang otaknya tak mampu menjangkau rasionalitas sains saja yang tidak bisa membuka pikiran lebih jauh dalam diskursus tersebut. Bahkan bila boleh membuat konklusi, manusia dengan kapasitas penggunaan otak 100% barangkali sudah bersatu dengan Dzat Maha Sains yang kita sebut dengan Tuhan atau Allah.

Interstellar dan Dilatasi Waktu
Film kedua yang juga membuka cakrawala imajinasi-logis adalah film garapan Christoper Nolan yang diberi judul Interstellar. Film yang perdana tayang pada tahun 2014 ini extremely mind-blowing meski menimbulkan beragam penilaian dari penontonnya. Bercerita tentang bumi pada rentang waktu 2060-2070 dengan keadaan yang sudah rusak dan mengalami fase hampir punahnya entitas manusia yang disebabkan bencana alam dan penyakit sebagai dampak logis yang ditimbulkan oleh gaya hidup peradaban manusia pada masa itu.
Ide utama yang saya tangkap dari film ini adalah “pencarian bumi baru” dalam rangka menyelamatkan kehidupan manusia generasi berikutnya yang dianggap sudah tidak akan mampu bertahan dengan bumi yang sudah sangat tidak steril untuk ditempati. Cooper (Matthew McConaughey) sebagai tokoh utama film ini adalah seorang ex-astronot yang memiliki dua orang anak, Tom dan Murphy. Murphy, anak gadis Cooper yang sedari kecil tertarik dengan sains mengalami kejadian aneh yaitu sering mendapati buku jatuh dari rak dikamarnya yang dia anggap sebagai kejadian mistis oleh hantu. Ada keanehan lain ketika terjadi badai debu yang kemudian menciptakan pola koordinat yang setelah ditelusuri bersama ayahnya, mengantarkan mereka pada suatu lokasi rahasia NASA. Dari sinilah, Cooper dengan kejadian yang membawanya masuk ke kantor NASA secara misterius itu akhirnya diminta bantuan untuk menjadi koordinator astronot dengan misi memastikan posibilitas tiga planet yang bisa ditempati oleh manusia ketika bumi tidak dapat lagi diselamatkan.
Pesawatnya yang masuk melaui Wormhole (jalan pintas antar galaksi) mengantarkannya menemukan planet bernama Miller diluar Bima Sakti untuk diteliti. Karena terjadi semacam kesalahan teknis, mesin pesawat mati selama tiga jam lebih di planet tersebut yang berimbas sekitar dua puluh tiga tahun durasi waktu bumi. Ini akhirnya mengingatkan saya pada cerita guru ngaji ketika kecil bahwa satu hari di akhirat adalah sekitar seribu tahun di bumi. Terdapat semacam benang merah antara cerita keyakinan agama dengan kajian sains dalam film ini. Artinya ada dilatasi waktu yang nyata antara satu lokasi dengan lokasi lain yang jaraknya miliaran tahun cahaya dari bumi.
Pada bagian akhir film, Cooper rela melepaskan diri ke suatu ruang lima dimensi (5D) yang merupakan gabungan dunia tiga plus empat dimensi yang bisa digambarkan seperti ruang data digital setiap episode kehidupan manusia yang dinamai Tesseract dengan ukuran yang dinamis dan bentuk yang tidak beraturan. Bisa jadi, di akhirat nanti kita baru bisa melihat dan masuk ruang ini. Pernah jugakah anda mendengar orang tua yang mengatakan “nanti di akhirat mah diperlihatkan semua kejadian tentang hidup kita”? saya kira film ini cukup menjawab semua ajaran keyakinan dalam agama yang tidak dijelaskan secara logis.
Tokoh Cooper terlempar ke masa depan sekitar 85 tahun dan terperangkap dalam dunia lima dimensi yang kemudian dia berhasil melihat salah satu episode hidupnya ketika menemui Murphy anak gadisnya untuk memutuskan pergi ke luar angkasa. Dan ternyata, buku-buku yang jatuh dari rak di kamar Murphy dilakukansendiri oleh Cooper di Tesseract demi memberi kode morse untuk anaknya bahwa dia masih hidup, dan yang menjatuhkan buku-buku itu bukanlah hantu seperti yang Murphy kira.  Relativitas waktu ini seperti cerita yang mungkin saja mitos bahwa Nabi Khidir pernah belajar ilmu fiqih ke Imam Syafi’i. Secara nalar logis, bagaimana mungkin Khidir yang hidup di zaman Musa kok berguru pada Syafi’i yang hidup jauh ratusan tahun di depan. Sekali lagi ini menjelaskan keyakinan transenden menjadi nalar logis.

Dari kedua film science-fiction diatas, kita bisa mendapatkan nilai untuk selalu berijtihad bahwa kehidupan ini tidak sesederhana yang kita kira, tidak sesempit diskusi fiqih khilafah hitam-putih yang tak pernah memberi solusi perbaikan zaman atau shifting-paradigm yang lebih kontributif untuk kelangsungan hidup umat manusia yang jauh lebih baik ke depan. Ada banyak rahasia yang Allah bolehkan kita sebagai ciptaan-Nya untuk meneliti kehidupan dan semesta sejauh yang kita mampu dengan akal yang Dia berikan yang pada akhirnya akan mengantarkan kita menemui-Nya dengan ilmu dan rahmat-Nya.

No comments: