Wednesday 20 December 2017

Mendiskreditkan Setan Melalui Kesurupan

Oleh: Ramdan Nugraha

Kesurupan bukan merupakan sesuatu  hal baru dalam kehidupan manusia. Fenomena ini telah dikenal oleh masyarakat dunia tidak hanya di Indonesia. Ada beberapa kisah nyata yang kemudian diangkat menjadi sebuah karya audio-visual dalam bentuk film seperti The Conjuring (disutradarai oleh James Wan, 2013) yang cukup sukses menjadi magnet dengan mendatangkan begitu banyak penonton yang rela antri panjang di bioskop dan kemudian membeli tiket film untuk mereka nikmati dengan cara menutup mata mereka sendiri selama hampir seluruh durasi film. Terlepas dari benar atau tidaknya fenomena kesurupan itu disebabkan oleh makhluk halus yang berhasil menguasai tubuh manusia yang dirasukinya, menarik ketika penulis melihat adanya perlakuan diskriminatif kepada objek astral yang telah dikenal akrab dengan sebutan setan.
Dalam lima tahun ke belakang, beberapa stasiun televisi di Indonesia rajin menayangkan program atau acara yang menyuguhkan konten-konten mistis. Misalnya Dunia Lain dan Pemburu Hantu yang pernah sangat digandrungi setiap episodenya oleh masyarakat Indonesia meskipun tidak semua. Konten utama dari acara semacam ini adalah bagaimana “dunia astral” dapat menjadi daya tarik untuk dipertontonkan bahkan diperbincangkan secara langsung sebagai bagian dari konten program untuk memberikan rasa penasaran atau ketakutan yang addictive bagi penonton sehingga mereka akan terus tertarik untuk menyimak setiap episode dalam program tersebut. Dampaknya adalah rating program yang terus naik dan menguntungkan bagi penyelenggara program.
Lebih jauh, kesurupan, sebagai salah satu konten utama yang menjadikan program komersial ini bisa bertahan dan memiliki umat yang setia, melibatkan dua aspek utama yang tidak bisa kita lepaskan yaitu setan dan manusia. Sebagaimana tradisi kepercayaan semua agama semitik, bahwa setan dipersonifikasi sebagai sesuatu yang hidup sebagaimana manusia namun memiliki kemampuan dan ruang atau dimensi yang berbeda. Dan sebagian besar umat beragama sepakat bahwa setan adalah sosok yang diasosiasikan dengan segala hal yang bersifat jahat. Di lain pihak, manusia adalah makhluk yang hampir selalu menjadi korban dari kejahatan setan itu sendiri.
Dari cara pandang tersebut, penulis melihat bahwa manusia telah benar-benar secara simplistis menciptakan image branding terhadap setan yang pada satu sisi memberi banyak keuntungan bagi manusia, namun di sisi lain lari dari fitrahnya sebagai makhluk yang tidak bisa luput dari khilaf dan menyeret setan untuk menjadi sosok yang selalu dipersalahkan atas segala kekhilafan yang seringkali manusia lakukan. Dari pencitraan setan yang jahat itu, terciptalah sebuah paradigma yang mengakar bahwa ketika manusia melakukan sesuatu yang jahat, itu pasti disebabkan oleh pengaruh setan. Disinilah kemudian diskriminasi terhadap setan semakin serius. Sementara manusia sepakat bahwa musuh yang paling jelas adalah setan, padahal, para pembawa pesan spiritual tidak jarang mengingatkan bahwa musuh utama dan paling besar manusia adalah hawa nafsunya sendiri.
Ada beberapa fakta yang memperlihatkan sesuatu yang ganjil dalam fenomena kesurupan. Yang pertama, kesurupan pada umumnya, bahkan bisa dipastikan selalu terjadi di tempat atau ruang yang dihuni oleh lebih dari satu bahkan oleh banyak orang saat kejadian berlangsung. Hal ini masuk akal karena bila seseorang kesurupan sendirian di ruang yang hanya ada dia sendiri, siapa pula yang akan berpura-pura panik dan memberikan perhatian yang memang sangat didambakan oleh orang yang kesurupan tersebut.
Keganjilan yang kedua, orang yang perutnya kenyang karena telah cukup makan tidak pernah kesurupan. Dalam banyak kasus, mereka yang kesurupan adalah orang-orang yang sangat lelah baik fisiknya terlebih lagi batinnya. Oleh sebab itu, beralasan sekali ketika dalam pandangan ilmiah, kesurupan lebih identik dengan masalah kejiwaan seseorang. Jiwa yang ingin diperhatikan, jiwa yang lapar akan kasih sayang. Mereka perlu mengekspresikan emosi yang terpendam dalam bentuk yang histeris dan juga dramatis di depan publik.
Yang ketiga, orang-orang yang kesurupan umumnya melakukan hal atau gerakan yang mudah untuk ditiru semisal berteriak dengan sangat lantang, batuk-batuk plus ngorok, atau kalau vokalnya bagus, dia akan melantunkan lagu yang kemungkinan pernah terekam dalam memori otaknya. Penulis belum pernah melihat seorang yang kesurupan mencari kolam renang lalu melompat ke kolam dengan riang. Atau misalnya, kalau yang kesurupan adalah seorang siswa sekolah, tiba-tiba mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) matematika yang sangat ruwet yang jawabannya biasa dia dapatkan dari hasil contekan.

Dari semua itu, penulis prihatin dengan tingkah beberapa dan sementara manusia yang menjadikan kesurupan sebagai media untuk mengambil keuntungan secara sepihak tanpa mempertimbangkan setan yang boleh jadi telah menjadi korban. Memandang hal ini dengan kacamata keyakinan, mutlak akan membawa jawaban yang seragam bahwa setan, sejak pertamakali menolak titah Tuhan dengan kesombongannya, telah di cap sebagai makhluk terkutuk sampai hari kiamat kelak. Namun, mengasosiasikan kesurupan dengan ulah setan alih-alih dengan ketegangan kejiwaan, adalah cara berpikir egosentris yang menolak akal sehat. Lebih parah lagi, mencari keuntungan dengan cara mengeksploitasi setan dalam bisnis hiburan adalah melelang kewarasan dan membangun dunia fantasi yang semakin basi.

Wednesday 13 September 2017

REVIEW BUKU SANG GURU: 13 Wejangan Keramat Agar Tetap Diingat



Oleh: Ramdan Nugraha



PENGANTAR
Pada zaman dimana manusia pra-sejarah masih hidup dalam kondisi pemenuhan unsur pokok demi pertahanan hidup, mereka belum pada masa penggunaan nalar logis sebagaimana yang dilakukan manusia yang hidup hari ini. Kebutuhan untuk bertahan hidup membuat manusia pra-sejarah lebih memokuskan diri untuk melakukan kegiatan seperti berburu sebagai pememenuhan kebutuhan pokok hidupnya. Kegiatan berburu ini tentu harus didukung oleh kebutuhan penunjang lain semisal alat berburu, maka manusia pra-sejarah memiliki keahlian membuat alat berburu tradisional seperti kapak dan tombak yang mereka buat untuk melakukan perburuan demi pemenuhan kebutuhan yang tujuan utamanya adalah bertahan dan mempertahankan komunitasnya untuk tetap hidup.
Puluhan ribu tahun setelah itu, ketika manusia sudah pada masa terpenuhi sandang, pangan, dan papannya, mereka kemudian memiliki apa yang pernah disampaikan oleh Luthfi Assyaukanie dalam kuliah umumnya sebagai “waktu luang”. Waktu luang inilah yang kemudian menjadi titik manusia untuk melakukan perenungan nalar dengan situasi yang relaxed dan mampu secara radikal bertransformasi dan bersumbangsih untuk peradaban bumi dengan sangat cepat dibanding usia bumi itu sendiri. Dari durasi puluhan ribu tahun saja usia bumi diantara panjangnya kurun waktu dari seluruh rangkaian sejarah semesta, manusia mampu melakukan penjelajahan nalar-rasionya dalam bentuk penelitian dan pencarian sejarah penciptaan planet yang mereka tempati yang usianya sudah miliaran tahun sejak terjadinya big bang yang menjadi magnum opus dari teori yang dikemukakan oleh Stephen Hawking.
Hal tersebut diatas menguatkan bahwa manusia adalah makhluk luar biasa yang mampu melakukan sesuatu yang boleh jadi melebihi jangkauan fisiknya yang—relatif—lemah, namun tidak dengan otaknya yang terus berkembang mengejawantahkan nilai-nilai budaya yang sudah terbangun oleh para moyangnya dengan inovasi yang sangat transformatif dan revolusioner. Pendidikan merupakan salah satu aspek paling penting dalam kehidupan manusia. Dari pendidikan, manusia mampu menjelajahi dimensi paling jauh dalam sejarah peradaban makhluk hidup bahkan pada titik paling awal kehadiran semesta dalam ukuran nalar rasio yang bekerja melalui otak mereka.
Pendidikan merupakan salah satu produk budaya autentik manusia sejak dirinya hadir di muka bumi. Selama manusia telah ada dan masih ada, maka pendidikan itu telah hadir dan terus berkembang. Saya melihat dasar-dasar nilai pendidikan yang dilakukan manusia pra-sejarah lebih kepada naluri dan intuisi untuk bertahan hidup atau boleh saya katakan sebagai pendidikan yang sederhana disebabkan kebutuhan yang juga—masih—sederhana pada masanya. Naluri manusia pra-sejarah untuk melindungi keluarganya, memberi makan, memberi rasa aman, dan kebutuhan umum manusiawi lainnya bisa kita sebut sebagai dasar-dasar pendidikan yang kemudian menjadi cikal-bakal pendidikan sosial yang penjabaran aspeknya dipelajari oleh manusia hari ini.
Perkembangan manusia dalam setiap zaman kemudian saling membentuk budaya yang tetap tidak bisa melepaskan diri dari aspek pendidikan, sebaliknya, memperkuat pendidikan tersebut pada ruang yang kemudian diformalisasi dalam bentuk institusi dan kelembagaan yang diikuti oleh unsur-unsurnya seperti guru dan murid. Dalam perkembangannya, pendidikan mentransformasikan diri untuk beradaptasi dengan setiap zaman yang dibentuk oleh budaya dan kondisi geografis dan demografis masyarakatnya yang saling berkaitan dan saling membentuk satu sama lain.
Pendidikan itu sendiri dimulai sejak manusia lahir ke muka bumi. Sejalan dengan apa yang disampaikan secara definitif oleh Purwanto dikutip dalam Kumalasari (2008) menyatakan, “pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.”

SANG GURU: 13 Wejangan Keramat Agar Tetap Diingat
Buku perdana yang saya tulis adalah buku catatan empiris penulis yang telah mengalami berbagai kondisi dalam lingkungan heterogen yang bersinggungan langsung dengan hal ihwal pedagogis di beberapa lembaga pendidikan formal dan informal. Semua pengalaman disajikan ke dalam 13 poin--wejangan--yang merepresentasikan setiap pengalaman yang pernah penulis alami. Dari ketigabelas wejangan yang disajikan, penulis mengkategorikan ke dalam tiga poin besar; 1) mengingatkan, 2) mengkritik, dan 3) mengajak.

Poin Mengingatkan
Betapapun sempurnanya manusia dengan pernyataan Tuhan dalam tradisi Islam yang menyatakan “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4), namun adanya nafsu atau hasrat (desire) telah mengajak manusia untuk menyadari bahwa kesempurnaannya bisa berubah bahkan berpotensi rusak ketika mereka tidak mampu mengontrol nafsunya dalam kehidupan. Beberapa poin dari 13 wejangan yang penulis kategorikan sebagai poin untuk mengingatkan adalah seperti:

Your appearance is the first impression (penampilan anda merupakan kesan pertama),

Reading is the teachers’ need (membaca adalah kebutuhan guru),

Teaching is sharing things (mengajar adalah membagikan banyak hal),

Critics should be our vitamin (kritik harus menjadi vitamin untuk kita)

Dari keempat wejangan diatas, penulis ingin mengingatkan diri sendiri dan juga lingkungan pendidik yang seringkali lupa dengan beberapa prinsip pokok yang harus mampu diejawantahkan sebagai seorang pendidik terhadap murid yang kami didik. Masih ada sementara pendidik yang berpandangan bahwa penampilan tidak lebih berfungsi kecuali hanya sebagai cangkang dari esensi yang pokok. Namun penulis rasa kita harus mampu lebih bijak untuk melihat kearifan budaya dan tradisi tempat dan masyarakat dimana kita berkecimpung dan berkomunikasi. Tetap ada rambu-rambu budaya yang tidak bisa kita bentuk untuk mengikuti apa yang kita anggap—secara subjektif—paling benar dan kemudian memaksakan kehendak dengan cara menabrak segala rambu yang membahayakan tidak hanya diri sendiri namun juga banyak pihak.

Poin Mengkritik
Dari poin besar yang kedua ini, penulis merangkum beberapa poin yang bersifat kritis dari 13 wejangan dalam buku penulis yaitu:

Question is not an evil (pertanyaan bukanlah hal yang menakutkan),

Being mistaken, why not? (melakukan kesalahan, kenapa tidak?),

Be nice to the unique ones (berbaiksangkalah kepada murid yang unik),

Loving them is not different with loving our wives (menyayangi mereka tidak sama dengan menyayangi istri kita),

Our problems are not theirs (masalah kita bukanlah masalah mereka)

Saya sebagai penulis sadar sepenuhnya bahwa ketika melakukan sebuah kritik, saya juga harus sudah adil untuk melakukan autokritik pada diri saya sendiri. Namun faktanya memang seringkali saya dan mungkin sebagian-sementara yang lain, terjebak pada nafsu subjektifitas yang seringkali tidak adil melihat dan bertindak. Kelima poin kritis tersebut diatas adalah pengalaman yang pernah memaksa penulis untuk berintrospeksi secara mendalam dan reflektif, sehingga penulis kira ini perlu untuk kemudian dibagikan kepada mereka yang mungkin pernah mengalami hal yang sama.
Ada pendidik yang tidak ingin kehilangan kredibilitasnya dihadapan murid ketika dia tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan, sehingga, melakukan kebohongan publik menjadi pilihan demi menyelamatkan harga dirinya. Menurut para pelaku hal semacam ini, menjadi salah adalah sebuah aib yang tidak boleh terjadi. Atau ada juga yang tidak mampu sabar membaca anak muridnya yang hadir dengan karakter yang sangat unik dan beragam, sehingga, mengacuhkan murid tersebut dipilih sebagai jalan umum yang sangat tidak etis. Lebih buruk, ada pendidik yang tidak mampu mengontrol syahwatnya sehingga memandang murid sebagai objek yang bisa dia kuasai dengan kapasitasnya sebagai seorang guru.
Hal-hal diatas itu perlu kritik tajam dari kita yang masih menyimpan dan menggunakan nalar dan nurani yang seimbang untuk dengan tegas memosisikan etika dan moral sebagai keutamaan manusia hidup di muka bumi. Kecerdasan setinggi apapun akan runtuh nilainya ketika etika dan moral telah mereka penjara dalam jeruji nafsu liar yang tidak mengenal batas-batas apapun.

Poin Mengajak (persuasi)
Poin besar yang terakhir dari 13 wejangan buku saya adalah poin mengajak atau persuasi. Poin-poin tersebut adalah:

Loving your students to make you loved (sayangi murid anda agar anda pun disayangi),

The classroom is your home sweet home (ruang kelas adalah rumah anda),

Appreciating is motivating (mengapresiasi artinya memotivasi),

Teacher inside, friend outside (guru di dalam, kawan di luar)

Keempat poin diatas mengajak pembaca terutama para pendidk dan calon pendidik agar mampu melihat hal-hal yang boleh jadi terlihat sangat sederhana, namun sebenarnya berimplikasi besar. Selama penulis mengikuti berbagai forum kegiatan, ada beberapa diantaranya mengajarkan penulis bahwa apresiasi itu sangat penting dan mampu memberikan kekuatan diluar ekspektasi umum.
Menjadi pendidik yang tidak peka untuk memberikan apresiasi terhadap anak didiknya akan memberikan proses pendidikan yang hampa nilai dan hanya berakhir pada teori yang sulit termanifestasikan dalam kehidupan baik untuk guru maupun muridnya. Atau pendidik yang hanya hadir di kelas dengan segala materi yang perlu untuk diajarkan namun dia tidak membawa jiwanya masuk ke dalam, hanya akan membentuk atmosfir pendidikan yang kaku dan miskin nilai.
Akhirnya, penulis dengan mantap menyatakan bahwa pendidikan adalah unsur pokok hidup manusia yang akan tetap ada dan berkembang selama manusia itu masih ada. Pendidikan akan sangat menentukan arah peradaban manusia dalam setiap zamannya, karena dia, seperti yang pernah disinggung oleh Aristoteles dalam Tate (2015: 32) yang disebut dengan “practical wisdom” dimana pendidikan memliki peran penting dalam menentukan pilihan moral manusia dalam kehidupan. Pengelolaan dan evaluasi pendidikan yang baik akan secara signifikan berpengaruh pada segala hal berkait dengan manusia dan seluruh unsur kehidupan yang mengikatnya. Merawat dan mengelola pendidikan adalah usaha mutlak untuk merawat dan mengelola peradaban manusia.



REFERENSI

[KOMUNITAS] "Evolusi Perpustakaan dan Peradaban" oleh Luthfi Assyaukanie - TV Inspirasi.co https://www.youtube.com/watch?v=RgM7ADbGzdc

Kumalasari, Dyah (2008). Diktat Pengantar Sejarah Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta

Nugraha, Ramdan (2017). SANG GURU: 13 Wejangan Keramat Agar Tetap Diingat. CV Samudra Biru, Yogyakarta

Tate, Nicholas (2015). What Is Education For: the view of the great thinkers and their relevance today. John Catt Educational Ltd.

Thursday 10 August 2017

Pertikaian Yang Melelahkan: Mari Kembali Pada Perdamaian

Oleh: Ramdan Nugraha



Kondisi sosial politik Indonesia hari ini sungguh sangat memprihatinkan. Dibawah cita-cita kebhinekaan, kita sesama anak bangsa mengalami amnesia dengan saling menghujat, saling beradu tinju dijalanan dan dilingkungan tempat tinggal yang tak lagi asri. Harus saya sampaikan bahwa ini adalah murni tulisan dari hati salah seorang anak bangsa yang sudah tidak tahan menyaksikan tangisan ibu pertiwi. Mengapa kita semakin gila hari ini? saya tahu betul banyak dari kita yang masih lapar dan pulang petang demi menyambung episode hari esok. Namun pantaskah menjalaninya dengan langkah-langkah penuh dendam dan semangat peperangan untuk memberangus sesama generasi yang dilahirkan dari rahim yang sama –Indonesia—sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan pada keadaan?
Sejak terpilihnya Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu, kubu-kubu fanatisme yang belum bisa dewasa menerima hasil kontestasi politik mulai mengkristalkan diri sampai hari ini. Buntut paling akhirnya adalah kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok yang kemudian ditunggangi oleh begitu banyaknya intrik yang menyakiti keadilan. Tidak sedikit saudara kita yang murni terjebak ketulusan perjuangannya dalam politik praktis yang tidak mereka pahami samasekali. Ingat, jangan langsung gila dan panas membaca kalimat tersebut dengan menuduh saya tim sukses atau pasukan nasi bungkus Ahok sebagaimana yang hampir selalu saya baca di timeline media sosial generasi Indonesia hari ini antara kubu yang bertikai. Saya tidak ada kepentingan apapun kecuali ingin bangsa ini kembali sehat dari kegilaannya yang semakin kronis.
Rangkaian demonstrasi penggiringan opini untuk menghukum Ahok secara lebih cepat mengisyaratkan dengan kuat bahwa ada yang sedang tidak beres dengan bangsa ini. Penyakitnya adalah kecurigaan yang sudah tidak ada batasan. Penegak hukum yang dianggap memihak dan disutradarai pemerintah misalnya. Padahal vonis yang belum lama keluar adalah menjawab bahwa memang pemerintah tidak mencoba mengintervensi hukum untuk membela Ahok. Banyak diantara kita menaruh “curiga” sebagai prioritas utama untuk menilai ketika dihadapkan pada sebuah isu atau peristiwa. Sedemikian kotorkah hati kita sehingga sulit melihat dan menilai segala hal dengan lebih jernih?
Segala hal yang dilakukan oleh pihak yang tidak kita senangi secara otomatis tidak memberi garansi apapun untuk kita bisa percaya atau paling tidak sekadar untuk mendengar. Sebaliknya, hal munafik dan jahat apapun yang dilakukan oleh pihak yang kita senangi akan tetap kita jaga bahkan kita dukung secara taqlid. Saya tidak sedang mengadakan pembelaan terhadap Ahok atau pun oposisinya. Saya sedang ingin mengundang kewarasan untuk hadir ditengah-tengah kita sebagai hakim yang dengan hatinya melihat, bukan dengan mata nafsu dan ketakutannya bertindak.
Tidak sanggupkah kita berdamai dengan perbedaan? Tidak sanggupkah kita berdialog dalam gagasan perubahan? Negeri ini sedang dalam keadaan koma kawan-kawan. Masihkah etis kita sibuk berebut warisan ditengah penderitaannya? Saya kini sampai pada kehampaan harapan tentang bangsa yang maju. Tentang bangsa yang pernah didambakan Bung Karno untuk bisa sejajar dengan Amerika dan Inggris bahkan melebihi keduanya. Tentang bangsa yang menjadi poros kekuatan dunia dengan sumber daya alamnya yang tidak dimiliki bangsa manapun di planet ini.
Mengapa beberapa kelompok besar yang waras seperti NU dan Muhammadiyah seperti tidak berdaya memanjatkan koneksi doa-doanya kepada Tuhan? Lalu apakah cukup doa-doa itu tanpa perbuatan yang lebih berani untuk merubah keadaan? Kita semua bertikai hari ini karena dua hal pokok: kelompok dengan kondisi yang sangat senjang dan kelompok yang membiarkan. Segala macam forum diskusi kemanusiaan hanya mengalami kemandulannya untuk melahirkan solusi dalam rangka mengatasi masalah di negeri ini. kita terlalu ragu dan malu untuk berdamai, bahkan kita terlalu takut untuk hidup dalam keberagaman. Mari pahamkan beberapa anak bangsa yang khilafnya sudah keterlaluan. Kekayaan mereka tidak akan bisa mereka bawa ke padang mahsyar bahkan ke dalam kubur sekalipun yang waktunya tidak perlu lama untuk dihitung bahkan sejak hari ini.
Wahai para koruptor, saya memohon mari kita berdamai dan membangun bangsa ini secara beradab. Ini bukan tentang agama, etnis, suku, status sosial, namun jauh dari itu semua, kita perlu kembali pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Mari saling memaafkan khilaf dalam rumah kita yang mulai butuh banyak sekali perbaikan. Atas nama bangsa Indonesia yang saya cintai, saya mengajak semua manusia di negeri ini untuk menyudahi semua permusuhan, semua pertikaian, dan mari kembali sebagai saudara yang saling memaafkan dan melangkah lebih baik ke depan.

Ramdan Nugraha, anak bangsa dari Kabupaten Bogor bagian barat.

Wednesday 9 August 2017

Mengenal Malala: Memperjuangkan Hak di Tengah Diskriminasi dan Teror



Oleh: Ramdan Nugraha


Malala, Perempuan di Tengah Kondisi Sosial Masyarakat Pakistan

Posisi perempuan dalam kehidupan sosial rupanya masih saja dilihat oleh sebagian  dan sementara kelompok sebagai suatu entitas yang perlu untuk diisolasi di dalam ruang- ruang terbatas dan hanya perlu disibukkan oleh urusan dapur dan kasur semata. Suara perempuan didengar sebelah telinga dan pendapat-pendapat mereka hanya menjadi semacam rengekan kelompok yang tidak mengerti apapun dalam forum-forum diskusi yang tidak perlu dipertimbangkan ide dan gagasannya ketika disuarakan.
Bahkan diskriminasi semacam inipun sampai harus dilegitimasi oleh hukum-hukum agama yang ditafsirkan secara paksa—oleh sementara ahli agama pragmatis yang melakukan perlawanan terhadap modernisme—bahwa wanita lahir hanya untuk mengurus berbagai hal ihwal rumah tangga dan anak saja. Pandangan sempit yang dengan segala cara mencoba mendapat dukungan dari banyak kalangan ini adalah produk tradisi lama yang sudah tidak relevan sama sekali di era post-modernisme yang sedang kita jalani hari ini.
Terlahir sebagai seorang gadis keturunan suku Pashtun (Pakistan), Malala Yousafzai adalah satu diantara sedikit sekali wanita muda di dunia yang berani tampil ke permukaan untuk menyuarakan gagasannya secara lantang meski harus berjuang ditengah hegemoni sosial politik yang sangat riskan dan ekstrim yang terjadi disekeliling tempat dia tinggal. Dalam usianya yang saat itu baru 14 tahun, Malala tercatat sebagai aktivis wanita termuda yang mendermakan perjuangannya untuk kemanusiaan dan hak pendidikan wanita terutama di negaranya yang sedang terlibat dalam konflik politik dengan kelompok teroris Taliban.
Tradisi kelompok masyarakat (Pashtun) Pakistan yang menganggap kelahiran bayi laki- laki adalah berkah yang patut dirayakan secara seremonial, sebaliknya, kelahiran seorang bayi perempuan tidak memberikan keistimewaan dan tidak perlu adanya perayaan.  Namun ayah Malala, Ziauddin Yousafzai, berpandangan lain dengan mengatakan “aku melihat ada sesuatu yang berbeda dari anak ini“ (Mcloughlin, 2014).
Dalam artikel yang diterbitkan oleh Dominican Youth Forum, Mcloughlin (2014) juga menambahkan bahwa nama Malala sendiri ternyata merupakan nama salah satu pahlawan wanita terkenal di Afghanistan pada abad 19 ketika perang antara Britania dan Afghanistan sedang berkecamuk. Ketika para pejuang laki-laki Afghanistan terpuruk dan hampir menyerah, seorang wanita bernama Malala mencopot kerudungnya ditengah medan perang dan mengajak semua pejuang untuk tidak menjadi pecundang. Tokoh yang namanya diturunkan pada bayi dari kedua orang tua bernama Ziauddin Yousafzai dan Tor Pekai Yousafzai ini yang kemudian menjadi semacam inspirasi dan kebanggaan untuk Malala kecil ketika setiap kali mendengar cerita heroik tentang sang pejuang wanita yang sering diceritakan ayahnya itu.
Sebagai seorang remaja, Malala memiliki kepekaaan sosial yang boleh jadi sama-sama dirasakan oleh banyak anak perempuan lain seusianya tidak hanya di Pakistan, namun diberbagai negara di dunia yang mengalami intimidasi oleh kelompok-kelompok yang masih memandang perempuan sebagai makhluk inferior yang jauh lebih lemah di mata mereka. Namun, keberanian Malala untuk menyuarakan semangat pembebasan hak perempuan terutama untuk mendapat pendidikan ternyata begitu ditentang oleh Taliban sebagai kelompok teror yang menerjemahkan nilai-nilai Islam secara serampangan.
Ayah Malala, Ziauddin Yousafzai adalah seorang sastrawan, anggota aktivis  perdamaian (Swat’s Peace Jirga), aktivis pendidikan dan pemilik sekolah (Chai, Gordon, dan Johnson, 2014: 2) yang mendirikan sekolah Khushal School yang juga merupakan tempat dimana Malala dan teman-teman perempuannya mendapatkan pengetahuan dan proses pembelajaran formal. Namun disebabkan sang ayah yang selalu menjadi “oposisi” Taliban yang sangat vokal dalam setiap aktivitas perlawanannya terhadap Taliban terutama dengan mendirikan sekolah yang menampung siswa perempuan didalamnya, keluarga Yousafzai menjadi target khusus Taliban. Dalam catatan Malala dan Lamb (2013), Zahid Khan yang merupakan salah satu teman dekat Ziauddin, ditembak wajahnya oleh Taliban dalam perjalanan untuk menunaikan sholat. Setelah kejadian itu, semua orang disekeliling keluarga Yousafzai mengatakan “berhati-hatilah, anda akan menjadi yang selanjutnya” (hal. 9).
Kondisi sosial politik yang seharusnya membuat Malala takut karena nyawa sudah menjadi  teruhan  untuk  perjuangannya  itu,  sama   sekali  tidak  bisa  memadamkan api semangatnya untuk mengajak dunia mau mendengar jeritan seorang gadis—yang keamanan hidupnya menjadi seorang aktivis pendidikan tidak ada satu pihak pun yang bisa menjamin—tentang perjuangannya membebaskan perempuan dari intimidasi dan perampasan hak. Ini yang kemudian menjadi pembeda antara Malala dan banyak gadis lainnya yang mendapat perlakukan yang sama namun memilih untuk diam dan menjalani penderitaan dan intimidasi sebagai jalan hidup mereka di tengah kelompok radikal dan pandir yang secara paksa mengatur tradisi masyarakat menurut apa yang mereka yakini secara egosentris.

Kegelisahan Malala Yousafzai

Lahir sebagai seorang perempuan di suatu daerah dengan kondisi pola pikir masyarakat—terutama pria dan kelompok konservatif Pakistan pada umumnya—yang tidak menghormati perempuan, Malala merasakan suatu kegelisahan atas situasi diskriminatif dimana hak-hak kesetaraan yang dimiliki perempuan telah dirampas dan dijajah oleh superioritas laki-laki yang melarang perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Lebih jauh, eksistensi kelompok teror Taliban telah memperburuk kondisi ini yang kemudian menjadi suatu kejahatan kemanusiaan yang berlangsung dengan umum karena diamnya masyarakat baik laki-laki terlebih perempuan untuk melawan penguasaan Taliban di Pakistan. Taliban mengancam siapa saja yang tidak mau mengikuti hukum sosial yang mereka perintahkan atas nama agama dan siap melakukan eksekusi pembunuhan bila ada yang berani untuk tetap melawan.
          Diskriminasi terhadap perempuan ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Di berbagai negara yang hidup dengan latar belakang sejarah atau pemikiran masyarakatnya yang masih primitif dan tidak pernah direinterpretasi, menciptakan kondisi yang memaksa perempuan untuk tetap berada dibawah dan dibelakang laki-laki. Perempuan dianggap lebih lemah dalam banyak hal dibanding laki-laki. Orang seringkali terperangkap dalam stereotyping gender dimana pandangannya telah terpengaruh oleh indoktrinasi cara pandang sempit masa lalu. Sebagai contoh yang paling sering ditemui misalnya bila seorang laki-laki tidak berani melakukan sesuatu yang umumnya dilakukan oleh laki-laki lain, dia akan dicemooh dengan pernyataan-pernyataan yang membawa unsur perempuan didalamnya semisal: “kalau tidak berani, kamu pakai gincu saja”. Kata gincu digunakan untuk menyatakan bahwa orang  itu  seperti  perempuan  yang  lemah  karena  gincu  sendiri  umumnya  dipakai    oleh perempuan. Pernyataan umum lainnya misalnya “lambat sekali nyetir mobilnya, jangan-jangan supirnya perempuan”.
Tanpa kita sadari, paradigma berpikir seperti tersebut diatas telah menjadi biasa dan berlangsung pada banyak konteks kehidupan masyarakat sehari-hari. Fenomena tersebut tidak terjadi secara instan namun telah mengalami proses panjang dan turun-temurun pada setiap generasi. Kondisi ini akan sulit berhenti bila tidak ada upaya penyadaran secara substantif pada pola pikir masyarakatnya terutama bagi sementara kaum laki-laki  yang selalu menganggap diri mereka adalah superior dan perempuan adalah inferior.
Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi temuan penelitian Hafazah (2015: 501) yang mengungkapkan bahwa hak hidup perempuan, bahkan sejak dalam kandungan telah banyak yang tidak terpenuhi. Seperti yang pernah terjadi di India dan Cina ketika janin yang terdeteksi berjenis kelamin perempuan kemudian janin tersebut akhirnya harus diaborsi hanya karena adanya kebijakan family planning yang mengharuskan sebuah keluarga hanya mempunyai satu anak saja dan lebih mengutamakan anak laki-laki dibanding perempuan sebab dianggap lebih ‘bernilai’ secara ekonomi dan sosial. Ini menjadi temuan yang sangat ironis dimana masalah diskriminasi gender telah begitu memfosil kuat bahkan ditengah arus globalisasi dan modernisme yang seharusnya bisa lebih membebaskan.
Hal-hal tersebut diatas menjadi kegelisahan dan mendorong seorang gadis Pashtun 14 tahun—yang seharusnya bisa hidup tenang dalam pergaulan remajanya—berani bersuara lantang menentang intimidasi sosial yang tidak bisa berhenti dengan sendirinya. Malala meyakini bahwa pendidikan adalah satu-satunya kunci hidup yang beradab dengan pernyataan yang ia sampaikan sebagai penutup pidatonya pada 12 Juli 2013 yang sekaligus dijadikan Malala Day sebagai simbol perlawanan atas diskriminasi hak pendidikan untuk perempuan (Chai, Gordon, dan Johnson, 2014: 3). Dalam penutup pidatonya, dia berkata “One child, one teacher, one pen and one book can change the world. Education is the only solution. Education first”.

Perjuangan Malala dan Nilai-Nilai Reflektif

Pada tanggal 9 Oktober 2012, Malala mendapatkan episode hidupnya yang  mungkin tidak pernah dia bayangkan sama sekali dengan ditembakannya peluru milik teroris Taliban yang mengenai lekuk mata bagian kiri, serta peluru-peluru lainnya yang juga berhasil menyasar teman-temannya di dalam bus sekolah. Namun darah dan rasa sakit yang dia rasakan tak membuatnya diam dan menyerah dalam trauma, sebaliknya, Malala semakin berani dan lantang melanjutkan perjuangan yang telah dia mulai bahkan dengan daya jangkau dan akses yang jauh lebih luas lintas negara dan benua pasca dia sembuh.
Kehadiran seorang Malala Yousafzai tentu telah memberikan kontribusi yang  sangat positif terhadap dunia dan kemanusiaan yang hari ini—bagi kelompok-kelompok konservatif-radikal—memosisikan perdamaian sebagai suatu hal yang asing bahkan harus diberangus ketika hal itu mengganggu semangat jihad parsial-sempit kelompok egois yang menawarkan “kebenaran” milik mereka tanpa menghormati dan toleran terhadap kebenaran universal kemanusiaan.
Ada beberapa aspek penting yang telah dibawa dan digaungkan oleh Malala. Yang pertama adalah pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia. Malala belajar banyak dari ayahnya—Ziauddin Yousafzai—tentang peran dan fungsi pendidikan yang  telah merubah pola pikirnya sejak awal. Malala teringat ayahnya yang sangat percaya bahwa lemahnya pendidikan adalah akar dari seluruh masalah di Pakistan (Malala and Lamb, 2013: 26). Indoktrinasi tradisional masyarakat Pakistan yang umumnya percaya bahwa perempuan tidak harus sekolah dan tidak akan pernah setara dengan laki-laki dalam bidang pendidikan telah begitu kuat terbentuk dan menghalangi mimpi serta harapan para perempuan untuk maju dan percaya diri mengisi pembangunan negaranya. Malala hadir untuk meruntuhkan dinding kebodohan demi terbentuknya perempuan-perempuan yang mampu memenuhi haknya untuk bisa setara dengan laki-laki dalam dunia pendidikan.
Aspek yang kedua adalah keberanian berpendapat dihadapan para pembunuh kemanusiaan ketika apa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang benar dan bermanfaat secara luas dan universal. Taliban adalah kelompok teroris besar dengan pasukan yang siap membunuh kapanpun dan siapapun yang mereka temui sebagai musuh dan menghambat perjuangan mereka. Malala sadar nyawanya telah begitu terancam, namun diam menurutnya bukanlah sebuah jalan keselamatan untuk mengakhiri semua jenis intimidasi. Dia bahkan telah berpikir jauh sebelum hari dimana Taliban menembaknya:

“Aku pernah membayangkan ketika perjalanan pulang ke rumah, bisa saja seorang teroris menghampiri dan menembak ku. Aku tidak tahu apa yang akan ku lakukan. Mungkin akan ku lepas sepatu dan melemparnya ke arah teroris itu. Tapi kemudian aku berpikir bila aku melakukannya, maka tidak ada bedanya antara aku dan teroris itu. Lebih baik aku katakan: baik, tembaklah tapi dengarkan  aku  dulu.  Apa  yang  kamu  lakukan  itu  salah.  Aku  tidak menyerang   mu   secara   pribadi,   aku   hanya   ingin   setiap   perempuan  bisa
sekolah”. (Malala and Lamb, 2013: 9)

Aspek paling penting lainnya adalah kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sosial disekitar kita. Malala tidak hanya peka terhadap kondisi sosial dilingkungannya,  namun dia juga peduli dengan cara berjuang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang gadis 14 tahun yang sudah mampu menulis dan berpendapat di berbagai kesempatan dan forum tentang pentingnya pendidikan dan mengajak seluruh perempuan untuk berani melawan tirani yang sangat mengintimidasi mereka dengan cara menimba ilmu ke sekolah. Kampanye pendidikan yang kerap ia lakukan bersama ayahnya bukan tanpa resiko, namun kepedulian sosialnya terlampau besar dan mengalahkan segala bentuk ketakutannya.




REFERENSI




Chai, Jaclyn, Gordon, Rachel and Johnson, Paula A. (2014). Malala Yousafzai: A Young  Female Activist. Harvard Global Health Institute

Hafazah, Iklimatul (2015). Ketidakadilan Terhadap Perempuan Dalam Novel I’am Malala Karya Malala Yousafzai Dan Cristina Lamb. NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015. Hal. 497-507

Mcloughlin, Pamela (2014). Who is Malala. Dominican Youth Forum, diunduh dari google pada 10 Juli 2017, pukul 21.17 WIB.

Yousafzai, Malala and Lamb, Christina (2013). I am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and was Shot by the Taliban. Eidenfeld & Nicolson, London.