Oleh: Ramdan Nugraha
Kondisi
sosial politik Indonesia hari ini sungguh sangat memprihatinkan. Dibawah
cita-cita kebhinekaan, kita sesama anak bangsa mengalami amnesia dengan saling
menghujat, saling beradu tinju dijalanan dan dilingkungan tempat tinggal yang
tak lagi asri. Harus saya sampaikan bahwa ini adalah murni tulisan dari hati
salah seorang anak bangsa yang sudah tidak tahan menyaksikan tangisan ibu
pertiwi. Mengapa kita semakin gila hari ini? saya tahu betul banyak dari kita yang
masih lapar dan pulang petang demi menyambung episode hari esok. Namun
pantaskah menjalaninya dengan langkah-langkah penuh dendam dan semangat
peperangan untuk memberangus sesama generasi yang dilahirkan dari rahim yang
sama –Indonesia—sebagai bentuk
pelampiasan kekecewaan pada keadaan?
Sejak
terpilihnya Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu, kubu-kubu fanatisme yang belum
bisa dewasa menerima hasil kontestasi politik mulai mengkristalkan diri sampai
hari ini. Buntut paling akhirnya adalah kasus penistaan yang dilakukan oleh
Ahok yang kemudian ditunggangi oleh begitu banyaknya intrik yang menyakiti
keadilan. Tidak sedikit saudara kita yang murni terjebak ketulusan
perjuangannya dalam politik praktis yang tidak mereka pahami samasekali. Ingat,
jangan langsung gila dan panas membaca kalimat tersebut dengan menuduh saya tim
sukses atau pasukan nasi bungkus Ahok sebagaimana yang hampir selalu saya baca
di timeline media sosial generasi
Indonesia hari ini antara kubu yang bertikai. Saya tidak ada kepentingan apapun
kecuali ingin bangsa ini kembali sehat dari kegilaannya yang semakin kronis.
Rangkaian
demonstrasi penggiringan opini untuk menghukum Ahok secara lebih cepat
mengisyaratkan dengan kuat bahwa ada yang sedang tidak beres dengan bangsa ini.
Penyakitnya adalah kecurigaan yang sudah tidak ada batasan. Penegak hukum yang
dianggap memihak dan disutradarai pemerintah misalnya. Padahal vonis yang belum
lama keluar adalah menjawab bahwa memang pemerintah tidak mencoba
mengintervensi hukum untuk membela Ahok. Banyak diantara kita menaruh “curiga” sebagai
prioritas utama untuk menilai ketika dihadapkan pada sebuah isu atau peristiwa.
Sedemikian kotorkah hati kita sehingga sulit melihat dan menilai segala hal dengan
lebih jernih?
Segala
hal yang dilakukan oleh pihak yang tidak kita senangi secara otomatis tidak
memberi garansi apapun untuk kita bisa percaya atau paling tidak sekadar untuk
mendengar. Sebaliknya, hal munafik dan jahat apapun yang dilakukan oleh pihak
yang kita senangi akan tetap kita jaga bahkan kita dukung secara taqlid. Saya
tidak sedang mengadakan pembelaan terhadap Ahok atau pun oposisinya. Saya sedang
ingin mengundang kewarasan untuk hadir ditengah-tengah kita sebagai hakim yang
dengan hatinya melihat, bukan dengan mata nafsu dan ketakutannya bertindak.
Tidak
sanggupkah kita berdamai dengan perbedaan? Tidak sanggupkah kita berdialog
dalam gagasan perubahan? Negeri ini sedang dalam keadaan koma kawan-kawan. Masihkah
etis kita sibuk berebut warisan ditengah penderitaannya? Saya kini sampai pada
kehampaan harapan tentang bangsa yang maju. Tentang bangsa yang pernah
didambakan Bung Karno untuk bisa sejajar dengan Amerika dan Inggris bahkan
melebihi keduanya. Tentang bangsa yang menjadi poros kekuatan dunia dengan
sumber daya alamnya yang tidak dimiliki bangsa manapun di planet ini.
Mengapa
beberapa kelompok besar yang waras seperti NU dan Muhammadiyah seperti tidak
berdaya memanjatkan koneksi doa-doanya kepada Tuhan? Lalu apakah cukup doa-doa
itu tanpa perbuatan yang lebih berani untuk merubah keadaan? Kita semua
bertikai hari ini karena dua hal pokok: kelompok dengan kondisi yang sangat
senjang dan kelompok yang membiarkan. Segala macam forum diskusi kemanusiaan
hanya mengalami kemandulannya untuk melahirkan solusi dalam rangka mengatasi
masalah di negeri ini. kita terlalu ragu dan malu untuk berdamai, bahkan kita
terlalu takut untuk hidup dalam keberagaman. Mari pahamkan beberapa anak bangsa
yang khilafnya sudah keterlaluan. Kekayaan mereka tidak akan bisa mereka bawa
ke padang mahsyar bahkan ke dalam kubur sekalipun yang waktunya tidak perlu lama
untuk dihitung bahkan sejak hari ini.
Wahai
para koruptor, saya memohon mari kita berdamai dan membangun bangsa ini secara
beradab. Ini bukan tentang agama, etnis, suku, status sosial, namun jauh dari
itu semua, kita perlu kembali pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Mari
saling memaafkan khilaf dalam rumah kita yang mulai butuh banyak sekali
perbaikan. Atas nama bangsa Indonesia yang saya cintai, saya mengajak semua
manusia di negeri ini untuk menyudahi semua permusuhan, semua pertikaian, dan
mari kembali sebagai saudara yang saling memaafkan dan melangkah lebih baik ke
depan.
Ramdan
Nugraha, anak bangsa dari Kabupaten Bogor bagian barat.
No comments:
Post a Comment