Thursday 10 August 2017

Pertikaian Yang Melelahkan: Mari Kembali Pada Perdamaian

Oleh: Ramdan Nugraha



Kondisi sosial politik Indonesia hari ini sungguh sangat memprihatinkan. Dibawah cita-cita kebhinekaan, kita sesama anak bangsa mengalami amnesia dengan saling menghujat, saling beradu tinju dijalanan dan dilingkungan tempat tinggal yang tak lagi asri. Harus saya sampaikan bahwa ini adalah murni tulisan dari hati salah seorang anak bangsa yang sudah tidak tahan menyaksikan tangisan ibu pertiwi. Mengapa kita semakin gila hari ini? saya tahu betul banyak dari kita yang masih lapar dan pulang petang demi menyambung episode hari esok. Namun pantaskah menjalaninya dengan langkah-langkah penuh dendam dan semangat peperangan untuk memberangus sesama generasi yang dilahirkan dari rahim yang sama –Indonesia—sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan pada keadaan?
Sejak terpilihnya Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu, kubu-kubu fanatisme yang belum bisa dewasa menerima hasil kontestasi politik mulai mengkristalkan diri sampai hari ini. Buntut paling akhirnya adalah kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok yang kemudian ditunggangi oleh begitu banyaknya intrik yang menyakiti keadilan. Tidak sedikit saudara kita yang murni terjebak ketulusan perjuangannya dalam politik praktis yang tidak mereka pahami samasekali. Ingat, jangan langsung gila dan panas membaca kalimat tersebut dengan menuduh saya tim sukses atau pasukan nasi bungkus Ahok sebagaimana yang hampir selalu saya baca di timeline media sosial generasi Indonesia hari ini antara kubu yang bertikai. Saya tidak ada kepentingan apapun kecuali ingin bangsa ini kembali sehat dari kegilaannya yang semakin kronis.
Rangkaian demonstrasi penggiringan opini untuk menghukum Ahok secara lebih cepat mengisyaratkan dengan kuat bahwa ada yang sedang tidak beres dengan bangsa ini. Penyakitnya adalah kecurigaan yang sudah tidak ada batasan. Penegak hukum yang dianggap memihak dan disutradarai pemerintah misalnya. Padahal vonis yang belum lama keluar adalah menjawab bahwa memang pemerintah tidak mencoba mengintervensi hukum untuk membela Ahok. Banyak diantara kita menaruh “curiga” sebagai prioritas utama untuk menilai ketika dihadapkan pada sebuah isu atau peristiwa. Sedemikian kotorkah hati kita sehingga sulit melihat dan menilai segala hal dengan lebih jernih?
Segala hal yang dilakukan oleh pihak yang tidak kita senangi secara otomatis tidak memberi garansi apapun untuk kita bisa percaya atau paling tidak sekadar untuk mendengar. Sebaliknya, hal munafik dan jahat apapun yang dilakukan oleh pihak yang kita senangi akan tetap kita jaga bahkan kita dukung secara taqlid. Saya tidak sedang mengadakan pembelaan terhadap Ahok atau pun oposisinya. Saya sedang ingin mengundang kewarasan untuk hadir ditengah-tengah kita sebagai hakim yang dengan hatinya melihat, bukan dengan mata nafsu dan ketakutannya bertindak.
Tidak sanggupkah kita berdamai dengan perbedaan? Tidak sanggupkah kita berdialog dalam gagasan perubahan? Negeri ini sedang dalam keadaan koma kawan-kawan. Masihkah etis kita sibuk berebut warisan ditengah penderitaannya? Saya kini sampai pada kehampaan harapan tentang bangsa yang maju. Tentang bangsa yang pernah didambakan Bung Karno untuk bisa sejajar dengan Amerika dan Inggris bahkan melebihi keduanya. Tentang bangsa yang menjadi poros kekuatan dunia dengan sumber daya alamnya yang tidak dimiliki bangsa manapun di planet ini.
Mengapa beberapa kelompok besar yang waras seperti NU dan Muhammadiyah seperti tidak berdaya memanjatkan koneksi doa-doanya kepada Tuhan? Lalu apakah cukup doa-doa itu tanpa perbuatan yang lebih berani untuk merubah keadaan? Kita semua bertikai hari ini karena dua hal pokok: kelompok dengan kondisi yang sangat senjang dan kelompok yang membiarkan. Segala macam forum diskusi kemanusiaan hanya mengalami kemandulannya untuk melahirkan solusi dalam rangka mengatasi masalah di negeri ini. kita terlalu ragu dan malu untuk berdamai, bahkan kita terlalu takut untuk hidup dalam keberagaman. Mari pahamkan beberapa anak bangsa yang khilafnya sudah keterlaluan. Kekayaan mereka tidak akan bisa mereka bawa ke padang mahsyar bahkan ke dalam kubur sekalipun yang waktunya tidak perlu lama untuk dihitung bahkan sejak hari ini.
Wahai para koruptor, saya memohon mari kita berdamai dan membangun bangsa ini secara beradab. Ini bukan tentang agama, etnis, suku, status sosial, namun jauh dari itu semua, kita perlu kembali pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Mari saling memaafkan khilaf dalam rumah kita yang mulai butuh banyak sekali perbaikan. Atas nama bangsa Indonesia yang saya cintai, saya mengajak semua manusia di negeri ini untuk menyudahi semua permusuhan, semua pertikaian, dan mari kembali sebagai saudara yang saling memaafkan dan melangkah lebih baik ke depan.

Ramdan Nugraha, anak bangsa dari Kabupaten Bogor bagian barat.

No comments: