Sunday 21 June 2015

MANUSIA, AKAL, DAN TUHAN



Tampaknya saya harus menuliskan hal yang perlu saya sampaikan dalam tulisan saya kali ini terkait dengan peran “akal” manusia dalam kehidupan. Kejadian yang telah berlalu beberapa bulan lalu teringat kembali dan dirasa perlu untuk ditanggapi karena ditakutkan akan memberikan jejak bias yang rentan dan dekat dengan jejak kebodohan.
Saya masih sangat ingat kejadian itu dimulai seusai saya menghadiri pengajian cabang Muhammadiyah yang digelar di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kebetulan penceramah pada acara pengajian cabang Muhammadiyah tersebut adalah dosen saya di kelas Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi Muhammadiyah di Jakarta. Beliau memberi mata kuliah “The Philosophy of Muhammadiyah” ketika saya berada di semester satu kelas Pasca Sarjana. Saya mencatat poin-poin penting yang beliau sampaikan dalam ceramahnya siang itu seperti kebiasaan saya bila menghadiri forum atau kajian keilmuan di berbagai tempat. Salah satu poin penting dari ceramah yang disampaikan dosen saya itu adalah:

“... Ada 3 jenis kebenaran:
1. Kebenaran menurut hukum Tuhan
2. Kebenaran menurut akal manusia
3. Kebenaran menurut ilmu pengetahuan”

Tidak lama setelah saya mem-posting status diatas pada dinding Facebook, muncul komentar yang cukup menggelitik pemikiran saya dan memberi rangsangan untuk segera merespon. Orang tersebut berasal dari etnis Sunda sama seperti saya dan kebetulan saya mengenal beliau di kampus ketika berada di strata satu dulu. Maka kami secara spontan berkomentar dengan memakai bahasa Sunda demi komunikasi yang lebih akrab. Komentar-komentar tersebut kurang lebih seperti ini setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:


Komentator: “menurut saya yang benar itu adalah nomor 1(kebenaran hukum Tuhan), yang nomor 2 (kebenaran akal manusia) itu reaksi kimia dan psikologi, nomor 3 (kebenaran ilmu pengetahuan)  itu berasal dari otak manusia yang bisa direkayasa.”

Saya: “namun tanpa melibatkan nomor 2 dan nomor 3, interpretasi nomor satu akan mengalami kelemahan dan tertutup dari dinamika dan kompleksitas masalah.”

Komentator: “Tidak akan laaah! Nomor 1 itu adalah firman Tuhan yang tidak bisa disanggah dan mutlak hukumnya. Malahan menurut saya, manusia terlalu banyak memakai nomor 2 dan nomor 3 jadi agak menyimpang pengaruhnya baik bagi dirinya maupun orang lain. Setuju kalau 70 adalah porsi untuk nomor 1, dan masing-masing nomor 2 dan 3 mendapat porsi 15. Kalau porsinya kurang dari itu, manusia akan menjadi seenak jidatnya. Apalagi kalau yang seperti itu (nomor 2 dan 3) dijadikan sumber kebenaran.”



Adapun komentar lain yang datang berikutnya namun dengan intensi yang cukup memberikan cara pandang yang semakin membuat keruh dengan dasar pembenaran yang dipaksakan. Maka saya rasa tidak perlu menambahkan komentar lain yang sudah keluar dari pokok bahasan status yang saya buat. Mari kita bahas fenomena diatas.
Saya yakin bila anda membaca status yang saya posting ke Facebook diatas jelas dan mudah sekali difahami, yaitu menyebutkan tiga jenis kebenaran yang dipaparkan oleh sang penceramah. Tidak ada klaim yang saya utarakan yang menjurus pada level kebenaran mana yang paling kuat dan level kebenaran mana yang lemah. Saya lebih melihat bahwa ke-tiga jenis kebenaran tersebut adalah mendukung satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan (integrated).
Komentator yang hadir dalam kolom komentar mengklaim bahwa kebenaran hukum Tuhan adalah mutlak diatas segalanya dan terlihat dua kebenaran lainnya tidak terlalu penting dengan memberikan persentase 15 poin untuk kebenaran logika (akal) manusia dan kebenaran ilmu pengetahuan. Hal yang menarik dari komentar kawan saya itu adalah adanya kontradiksi fakta; bagaimana kita mampu menafsirkan kebenaran hukum Tuhan bila akal dan ilmu pengetahuan yang kita pakai itu minim dan terbatas? Sudah barang tentu hukum Tuhan yang sakral dan mutlak itu akan diterjemahkan dalam tafsir yang tidak bermutu pula atau bahkan mendapat deviasi akut (penyimpangan). Bahkan kemulyaan akal pun dibahas oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin sebagai berikut:

Akal adalah sumber ilmu, tempat timbul dan sendi ilmu. Ilmu itu, berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon kayu, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata.

“Wahai manusia, pakailah akal untuk mengenal Tuhanmu, nasehat-menasehatilah dengan menggunakan akal, niscaya kamu ketahui apa yang diperintahkan kepadamu dan apa yang dilarang. Ketahuilah bahwa akal itu menolong kamu di sisi Tuhanmu. Ketahuilah bahwa orang yang berakal ialah orang yang menta'ati Allah, meskipun mukanya tidak cantik, dirinya hina, kedudukannya rendah dan bentuknya buruk. Dan orang yang bodoh ialah orang mendurhakai Allah Ta'ala, meskipun mukanya cantik, dia orang besar, kedudukannya mulia, bentuknya bagus, lancar dan pandai berbicara. Beruk dan khinzir lebih berakal pada sisi Allah Ta'ala daripada orang yang mendurhakaiNya. Engkau jangan tertipu dengan penghormatan penduduk dunia kepadamu, sebab mereka itu termasuk orang yang merugi". (Diriwayatkan dari Dawud bin AI Majar dari Abi Hurairah)

Dari paparan diatas jelas sekali kedudukan akal dan ilmu pengetahuan begitu penting perannya dalam memahami kebesaran Allah swt. Kita mustahil mengetahui bagaimana cara menjadi seorang yang taqwa bila kita tidak mengetahui ilmunya. Allah memberikan akal kepada manusia untuk mampu bertindak dengan sebaik-baiknya dalam hidup, karena tindakan atau amal yang dilakukan tanpa didasari keilmuan hanyalah tindakan yang tidak bermakna samasekali.
Al-qur’an dan as-Sunnah sendiri memerintahkan kaum muslimin untuk selalu menggunakan akal dalam memahami segala sesuatu yang ada, termasuk dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah beserta seluruh ciptaan Allah swt, seperti dalam firman-Nya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka [QS. Ali Imran (3): 190-191]

Semoga menjadi refleksi dari kebutaan dan kefanatikan pandangan yang mencampakan akal dan ilmu pengetahuan dan rela meninggalkan kebodohan, aamiin.

Thursday 11 June 2015

ISLAM Tak Mau Bertemu Dengan "MIRIS"

Oleh: Ramdan Nugraha

Kalian tahu?
Selemah-lemahnya iman adalah mereka yang tiada hari tanpa mengucapkan;
.. miris negara ini,.....
.. miris pendidikan di negara ku,...
.. miris sekali neo-liberalisme telah menjajah kita..
.. miris chevron si perusahaan kapitalis

.. tik...tok..tik...tok..tik...
(menunggu orang-orang bersetuju pendapat dan memonopoli bully untuk si beda)

Ada agamawan memfatwa halal darah saudara se-imannya hanya karena beda!
itulah seburuk-buruknya makhluk di antara malaikat - jin - iblis- manusia - (miris)

Friday 5 June 2015

The Reason I'm Here Happy



Written by:
Ramdan Nugraha 

 

All kind of love and joy you’ve beautifully packed
I’ll never know how to give it all back
Time you’ve spent to me for every single day
Cuz’ I’m too weak and have nothing to say

Thousands women are probably coming
Smiling and making a lot of good things
But you, Mother, the only one get me more than just glad!
You’ve taught me to laugh even after I get sad

And if I have power to talk to the God Almighty
I will surely beg Him to always make you happy
For the endless love of this beautiful life story

Happy Birthday, Mom!
All the best things for you :’)