Oleh: Ramdan Nugraha
PENGANTAR
Pada zaman
dimana manusia pra-sejarah masih hidup dalam kondisi pemenuhan unsur pokok demi
pertahanan hidup, mereka belum pada masa penggunaan nalar logis sebagaimana yang
dilakukan manusia yang hidup hari ini. Kebutuhan untuk bertahan hidup membuat
manusia pra-sejarah lebih memokuskan diri untuk melakukan kegiatan seperti
berburu sebagai pememenuhan kebutuhan pokok hidupnya. Kegiatan berburu ini
tentu harus didukung oleh kebutuhan penunjang lain semisal alat berburu, maka
manusia pra-sejarah memiliki keahlian membuat alat berburu tradisional seperti
kapak dan tombak yang mereka buat untuk
melakukan perburuan demi pemenuhan kebutuhan yang tujuan utamanya adalah
bertahan dan mempertahankan komunitasnya untuk tetap hidup.
Puluhan
ribu tahun setelah itu, ketika manusia sudah pada masa terpenuhi sandang, pangan, dan papannya,
mereka kemudian memiliki apa yang pernah disampaikan oleh Luthfi Assyaukanie
dalam kuliah umumnya sebagai “waktu luang”. Waktu luang inilah yang kemudian
menjadi titik manusia untuk melakukan perenungan nalar dengan situasi yang relaxed dan mampu
secara radikal bertransformasi dan bersumbangsih untuk peradaban bumi dengan
sangat cepat dibanding usia bumi itu sendiri. Dari durasi puluhan ribu tahun
saja usia bumi diantara
panjangnya kurun waktu dari seluruh rangkaian sejarah semesta, manusia
mampu melakukan penjelajahan nalar-rasionya dalam bentuk penelitian dan
pencarian sejarah penciptaan planet yang mereka tempati yang usianya sudah
miliaran tahun sejak terjadinya big bang
yang menjadi magnum opus dari teori yang
dikemukakan oleh Stephen Hawking.
Hal
tersebut diatas menguatkan bahwa manusia adalah makhluk luar biasa yang mampu
melakukan sesuatu yang boleh jadi melebihi jangkauan fisiknya yang—relatif—lemah, namun tidak dengan otaknya
yang terus berkembang mengejawantahkan nilai-nilai budaya yang sudah terbangun
oleh para moyangnya dengan inovasi yang sangat transformatif dan revolusioner. Pendidikan
merupakan salah satu aspek paling penting dalam kehidupan manusia. Dari
pendidikan, manusia mampu menjelajahi dimensi paling jauh dalam sejarah
peradaban makhluk hidup bahkan pada titik paling awal kehadiran semesta dalam
ukuran nalar rasio yang bekerja melalui otak mereka.
Pendidikan
merupakan salah satu produk budaya autentik manusia sejak dirinya hadir di muka
bumi. Selama manusia telah ada dan masih ada,
maka pendidikan itu telah hadir dan terus berkembang. Saya
melihat dasar-dasar nilai pendidikan yang dilakukan manusia pra-sejarah lebih
kepada naluri dan intuisi untuk bertahan
hidup atau boleh saya katakan sebagai pendidikan yang sederhana disebabkan
kebutuhan yang juga—masih—sederhana pada masanya. Naluri manusia
pra-sejarah untuk melindungi keluarganya, memberi makan, memberi rasa aman, dan
kebutuhan umum manusiawi lainnya bisa kita sebut sebagai dasar-dasar pendidikan
yang kemudian menjadi cikal-bakal pendidikan sosial yang penjabaran aspeknya
dipelajari oleh manusia hari ini.
Perkembangan
manusia dalam setiap zaman kemudian saling membentuk budaya yang tetap tidak
bisa melepaskan diri dari aspek pendidikan, sebaliknya, memperkuat pendidikan
tersebut pada ruang yang kemudian diformalisasi dalam bentuk institusi dan
kelembagaan yang diikuti oleh unsur-unsurnya seperti guru dan murid. Dalam perkembangannya, pendidikan
mentransformasikan diri untuk beradaptasi dengan setiap zaman yang dibentuk
oleh budaya dan kondisi geografis dan demografis masyarakatnya yang saling
berkaitan dan saling membentuk satu sama lain.
Pendidikan itu sendiri dimulai sejak manusia lahir ke
muka bumi. Sejalan dengan apa yang disampaikan secara definitif oleh Purwanto
dikutip dalam Kumalasari (2008) menyatakan, “pendidikan adalah segala usaha
orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.”
SANG GURU: 13 Wejangan Keramat Agar
Tetap Diingat
Buku perdana yang saya tulis adalah buku catatan empiris
penulis yang telah mengalami berbagai kondisi dalam lingkungan heterogen yang
bersinggungan langsung dengan hal ihwal pedagogis di beberapa lembaga
pendidikan formal dan informal. Semua pengalaman disajikan ke dalam 13 poin--wejangan--yang merepresentasikan setiap pengalaman yang pernah penulis alami. Dari
ketigabelas wejangan yang disajikan, penulis mengkategorikan ke dalam tiga poin
besar; 1) mengingatkan, 2) mengkritik, dan 3) mengajak.
Poin
Mengingatkan
Betapapun sempurnanya manusia dengan pernyataan Tuhan
dalam tradisi Islam yang menyatakan “sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4), namun adanya nafsu
atau hasrat (desire) telah mengajak manusia untuk menyadari bahwa
kesempurnaannya bisa berubah bahkan berpotensi rusak ketika mereka tidak mampu
mengontrol nafsunya dalam kehidupan. Beberapa poin dari 13 wejangan yang
penulis kategorikan sebagai poin untuk mengingatkan adalah seperti:
Your appearance is the first impression
(penampilan anda merupakan kesan pertama),
Reading is the teachers’ need (membaca
adalah kebutuhan guru),
Teaching is sharing things (mengajar
adalah membagikan banyak hal),
Critics should be our vitamin (kritik
harus menjadi vitamin untuk kita)
Dari keempat wejangan diatas, penulis ingin mengingatkan
diri sendiri dan juga lingkungan pendidik yang seringkali lupa dengan beberapa
prinsip pokok yang harus mampu diejawantahkan sebagai seorang pendidik terhadap
murid yang kami didik. Masih ada sementara pendidik yang berpandangan bahwa
penampilan tidak lebih berfungsi kecuali hanya sebagai cangkang dari esensi
yang pokok. Namun penulis rasa kita harus mampu lebih bijak untuk melihat
kearifan budaya dan tradisi tempat dan masyarakat dimana kita berkecimpung dan
berkomunikasi. Tetap ada rambu-rambu budaya yang tidak bisa kita bentuk untuk
mengikuti apa yang kita anggap—secara subjektif—paling benar dan kemudian
memaksakan kehendak dengan cara menabrak segala rambu yang membahayakan tidak
hanya diri sendiri namun juga banyak pihak.
Poin
Mengkritik
Dari poin besar yang kedua ini, penulis merangkum
beberapa poin yang bersifat kritis dari 13 wejangan dalam buku penulis yaitu:
Question is not an evil (pertanyaan
bukanlah hal yang menakutkan),
Being mistaken, why not? (melakukan
kesalahan, kenapa tidak?),
Be nice to the unique ones
(berbaiksangkalah kepada murid yang unik),
Loving them is not different with loving
our wives (menyayangi mereka tidak sama dengan menyayangi istri kita),
Our problems are not theirs (masalah
kita bukanlah masalah mereka)
Saya sebagai penulis sadar sepenuhnya bahwa ketika
melakukan sebuah kritik, saya juga harus sudah adil untuk melakukan autokritik pada diri saya sendiri. Namun
faktanya memang seringkali saya dan mungkin sebagian-sementara yang lain,
terjebak pada nafsu subjektifitas yang seringkali tidak adil melihat dan
bertindak. Kelima poin kritis tersebut diatas adalah pengalaman yang pernah
memaksa penulis untuk berintrospeksi secara mendalam dan reflektif, sehingga penulis kira ini perlu untuk kemudian dibagikan kepada mereka yang mungkin pernah
mengalami hal yang sama.
Ada pendidik yang tidak ingin kehilangan kredibilitasnya
dihadapan murid ketika dia tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan, sehingga,
melakukan kebohongan publik menjadi pilihan demi menyelamatkan harga dirinya.
Menurut para pelaku hal semacam ini, menjadi salah adalah sebuah aib yang tidak
boleh terjadi. Atau ada juga yang tidak mampu sabar membaca anak muridnya yang
hadir dengan karakter yang sangat unik dan beragam, sehingga, mengacuhkan murid
tersebut dipilih sebagai jalan umum yang sangat tidak etis. Lebih buruk, ada
pendidik yang tidak mampu mengontrol syahwatnya sehingga memandang murid
sebagai objek yang bisa dia kuasai dengan kapasitasnya sebagai seorang guru.
Hal-hal diatas itu perlu kritik tajam dari kita yang
masih menyimpan dan menggunakan nalar dan nurani yang seimbang untuk dengan
tegas memosisikan etika dan moral sebagai keutamaan manusia hidup di muka bumi.
Kecerdasan setinggi apapun akan runtuh nilainya ketika etika dan moral telah
mereka penjara dalam jeruji nafsu liar yang tidak mengenal batas-batas apapun.
Poin
Mengajak (persuasi)
Poin besar yang terakhir dari 13 wejangan buku saya
adalah poin mengajak atau persuasi. Poin-poin tersebut adalah:
Loving your students to make you loved
(sayangi murid anda agar anda pun disayangi),
The classroom is your home sweet home
(ruang kelas adalah rumah anda),
Appreciating is motivating
(mengapresiasi artinya memotivasi),
Teacher inside, friend outside (guru di
dalam, kawan di luar)
Keempat poin diatas mengajak pembaca terutama para
pendidk dan calon pendidik agar mampu melihat hal-hal yang boleh jadi terlihat
sangat sederhana, namun sebenarnya berimplikasi besar. Selama penulis mengikuti
berbagai forum kegiatan, ada beberapa diantaranya mengajarkan penulis bahwa
apresiasi itu sangat penting dan mampu memberikan kekuatan diluar ekspektasi
umum.
Menjadi pendidik yang tidak peka untuk memberikan
apresiasi terhadap anak didiknya akan memberikan proses pendidikan yang hampa
nilai dan hanya berakhir pada teori yang sulit termanifestasikan dalam
kehidupan baik untuk guru maupun muridnya. Atau pendidik yang hanya hadir di
kelas dengan segala materi yang perlu untuk diajarkan namun dia tidak membawa
jiwanya masuk ke dalam, hanya akan membentuk atmosfir pendidikan yang kaku dan
miskin nilai.
Akhirnya, penulis dengan mantap menyatakan bahwa
pendidikan adalah unsur pokok hidup manusia yang akan tetap ada dan berkembang
selama manusia itu masih ada. Pendidikan akan sangat menentukan arah peradaban
manusia dalam setiap zamannya, karena dia, seperti yang pernah disinggung oleh
Aristoteles dalam Tate (2015: 32) yang disebut dengan “practical wisdom” dimana
pendidikan memliki peran penting dalam menentukan pilihan moral manusia dalam
kehidupan. Pengelolaan dan evaluasi pendidikan yang baik akan secara signifikan
berpengaruh pada segala hal berkait dengan manusia dan seluruh unsur kehidupan yang
mengikatnya. Merawat dan mengelola pendidikan adalah usaha mutlak untuk merawat
dan mengelola peradaban manusia.
REFERENSI
Kumalasari, Dyah (2008). Diktat Pengantar Sejarah
Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta
Nugraha, Ramdan (2017). SANG GURU: 13 Wejangan
Keramat Agar Tetap Diingat. CV Samudra Biru, Yogyakarta
Tate, Nicholas (2015). What Is Education For: the
view of the great thinkers and their relevance today. John Catt Educational
Ltd.