Sunday 26 April 2015

KESALIHAN ISLAM SIMBOLIK


Oleh: Ramdan Nugraha



Kehidupan para Nabi dan Rasul utusan Allah swt banyak terjadi di Timur Tengah khususnya di tanah Arab. Sehingga budaya yang begitu kuat terlihat oleh para pembelajar Islam adalah budaya Timur Tengah itu sendiri atau budaya Arab tepatnya. Budaya itu sendiri adalah cara hidup kelompok atau komunitas manusia yang secara bersama-sama disetujui dan dijadikan warna tersendiri dalam menjalankan kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, cara makan dan minum, jenis-jenis pekerjaan, bentuk tempat tinggal, bahasa, dll.
Islam diawali dan tumbuh subur di tanah Arab yang sekaligus membawa aspek budaya dalam penyebarannya ke daerah-daerah yang di-Islamisasi. Ketika Islam sampai ke Indonesia, maka aspek yang paling pertama dilihat adalah penampilan fisik para pendakwahnya. Akhirnya, penampilan tersebut seolah menjadi warna identitas bahwa bila masuk Islam maka lebih baik pula berpenampilan seperti para penyebar agama dari daerah asalnya. Fenomena inilah yang ternyata masih begitu kuat dibawa bahkan oleh para penganut Islam di zaman modern seperti saat ini.
Islam yang baik adalah mereka yang memakai gamis, memakai hijab panjang dan lebar, memanjangkan jenggot, saling bersapa “akhi, ukhti, ana, ente” hingga membangun suatu rumah tangga dengan warna Arab “abi dan umi”. Kemudian ada pandangan keliru mereka yang memberi vonis bahwa sholat memakai jeans dan t-shirt itu tidak sopan, bahkan sholatnya tidak diterima. Ada pula yang mengatakan bila masih mengenakan kerudung yang hanya terurai sampai leher itu belum bisa dikatakan menutup aurat, dll.
Inilah petaka dimulainya simbolisasi Islam. Pemunduran pemikiran dan interpretasi kandungan Islam yang dipersempit ke dalam bentuk penampilan yang sebenarnya tidak lebih dari budaya para pemeluk Islam mula-mula di tanah asalnya di Timur Tengah. Islam yang kemudian hanya berhenti pada tatanan penampilan yang esensi moralnya sangat jauh dari yang Nabi dan Rasulnya harapkan. Maka tidaklah aneh berhijab dan berzina antara “ikhwan dan akhwat”, atau ukhti-ukhti yang saling ber-ghibah satu sama lain tentang orang atau kelompok yang mereka yakini belum atau bahkan tidak beriman.
Begitulah produk terserapnya ajaran budaya yang memilki sakralitas sebagai syarat kesalihan dalam bentuk simbolisasi penampilan. Maka implikasinya adalah ibadah-ibadah seperti sholat, membaca Al-qur’an, puasa, zakat, dll hanya akan bermuara pada gerakan ritual fisik saja, dan meninggalkan esensi yang kemudian membusuk tak bernilai yang akhirnya menjadi produk KESALIHAN ISLAM SIMBOLIK.

No comments: