Sunday 31 May 2015

MUNGKIN SUDAH BOSAN SHOLAT

Oleh: Ramdan Nugraha



Setelah mengikuti sholat Jum’at kali ini, akhirnya saya harus menulis kisah ini sebagai puncak dari kekecewaan yang telah dipendam demi berbaik sangka terhadap segala gejala yang ternyata memang kurang baik. Di mesjid milik salah satu universitas swasta di Bogor ini, seperti biasanya, pukul 11.30 wib saya sudah ambil wudhu, bukan karena sikap disiplin saya, namun lebih kepada tindakan antisipatif saya untuk tetap mendapatkan tempat duduk dibarisan depan jemaah jum’at, sehingga mudah untuk untuk saya menyimak khutbah dari sang khotib.  Tidak bermaksud riya, namun rasanya ada yang kurang bila masuk mesjid tanpa menunaikan sholat sunnah, dua rokaat saja saya kerjakan demi memberikan atmosfir lebih kuat diantara menit-menit masuk pada orbit ilahi hari itu.
Saya lihat banyak yang melakukan hal yang sama dengan apa yang telah saya lakukan, hanya kuantitas mereka lebih banyak dan itu memang lebih baik. Diantara mereka, ada yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagian lain membaca artikel “Al-Islam” penuh kekhusukan. Tidak lama kumandang adzan dilantunkan dengan begitu menyentuh hati dan memanggil untuk lebih mendekat kepada Sang Pencipta. Ow ya, saya lupa menyampaikan bahwa saya duduk diantara dua jamaah; jemaah disebelah kiri saya berbadan gemuk mengenakan gamis putih dan berjenggot. Tampaknya dia masih muda berusia diantara 30-35 tahunan, dan jemaah sebelah kanan saya lelaki sekitar 40-45 tahunan dengan mengenakan baju koko berwarna biru dan celana bahan hitam.
Khutbah dimulai dan semua berjalan dengan wajar hingga pada beberapa waktu setelah khotib membuka khutbahnya, tampak laki-laki gemuk disamping kiri saya mulai menunduk terlihat mendengarkan dengan khusuk. Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu mulai menarik fokus saya dari sang khotib dan membawa pandangan saya mengarah tepat ke arahnya. Saya melihat laki-laki itu merubah posisi topangan kepalanya meminggir sehingga terlihat jelas wajahnya yang layu dengan mata tertutup mirip dengan orang yang sedang tertidur (dan ternyata memang sedang tidur, hehhe). Saya menyudahi pandangan saya dan melanjutkan mendengarkan khotib yang membahas tentang bahaya pluralisme yang kebablasan (entah kenapa kok bahasannya bisa kebetulan mengena sekali di hati dan pemikiran saya, hahahaha, Subhanallah).
Akhirnya khutbah selesai dan iqomah dikumandangkan dengan diiringi semua jemaah yang segera berdiri bersiap melakukan doa dalam kemasan gerakan filosofis sholat dan tak terkecuali dua orang jemaah disamping saya yang ternyata tidak berpindah shaf dan tetap pada posisinya (disamping saya). Ketika takbir telah digemakan, semua jemaah hening dalam sholatnya. Dalam keheningan itu, seketika mulai dipecahkan oleh gerakan laki-laki gemuk bergamis disebelah saya. Dia menggaruk-garuk punggung tangan kirinya dengan jari-jari tangan kanannya berkali-kali hingga saya terprovokasi untuk menyaksikannya. Kemudian laki-laki itu berhenti (alhamdulillah), namun prediksi saya salah dengan mengira rasa gatal ditangannya telah sirna, dia melakukan hal lain yaitu menggaruk dan mengusap jenggot panjangnya secara agak kasar. Hal itu berjalan tidak hanya sekali pada rokaat pertama, dan ternyata kegiatannya dilanjutkan juga dalam rokaat kedua dan semakin mengganggu saya sebagai orang yang berdiri tepat disamping kanannya karena gerakan yang dia lakukan ternyata membuat badan saya yang kalah jauh besar menjadi goyang-goyang karena gerakan tangannya yang menggaruk itu sedikit bersinggungan dengan badan saya.
Yang saya nantikan akhirnya datang, yaitu tahiyat, gerakan orang itu pun akan berakhir. Saya ingat ketika dia menggaruk bagian yang gatal ditangannya, dia seperti memberi sedikit liur pada jari-jari kanannya yang dia pakai untuk menggaruk. Jelas sekali hal itu dilakukan dengan dibarengi suara seperti “jilatan” kecil dari lidahnya. Saya hanya takjub dengan cara pengobatan gatal seperti itu, apakah ada penelitian yang telah dilakukan? Hehehhee.
Akhirnya sholat berakhir dan ditutup dengan salam namun tidak menghentikan analisa temuan sholat Jum’at hari itu. Tidak habis fikir, seorang yang memakai gamis dan berjenggot panjang kok ritual sholatnya secuek itu. Saya meyakini betul bahwa bila ada rapat dengan pimpinannya, mungkin dia akan begitu sigap mendengarkan pidato pimpinannya, nah ini bertemu Allah swt kok seakan cuma sekedar gerakan maju mundur ruku saja dan naik turun sujud? Tapi saya ingat kata Ayah saya ketika menunaikan ibadah haji, beliau mengatakan; “Nu, didepan ka’bah itu banyak orang-orang gak sopan maen lewat depan bapak yang lagi sholat, kebanyakan yang sholatnya gak tumaninah itu orang Arabnya sendiri”. Seketika saya memaklumi, mungkin orang disamping saya itu sangat ARABI, terlihat dari gaya berpakaian dan bahkan juga pada pelaksanaan ritual sholatnya. Karena Arab negeri pertama yang di Islamkan secara utuh, mungkin mereka mulai bosan dengan sholat sehingga tidak lagi khusuk dan mendalami gerakan sholat seperti ulama-ulama yang memadati mesjid-mesjid atau surau di desa-desa terpencil di Indonesia. Yah, mungkin mereka SUDAH BOSAN SHOLAT. Yang jelas, pakaian atau penampilan tidak akan mempengaruhi signifikansi pemahaman seseorang tentang kebenaran, sayangnya di Indonesia masih begitu kuat pola pikir kuantitatif yang melihat lebih kepada permukaan, bukan esensinya. Semoga menjadi bahan evaluasi untuk saya pribadi dan semua yang membaca postingan ini.

2 comments:

Aden Gustiar Widodo said...

yapz betul sekali pak, orang-orang kita masih mudah percaya dengan penampilan rapi apalagi islami. Sehingga gampang untuk "dibodohi", ya seperti kriminal yang berdasi, ber jas bahkan ber peci.(koruptor):D

Ramdan Nugraha said...

thanks a lot for commenting my article. I see you've meaningfully understood the message of what I've written here. ;)