Wednesday 24 February 2016

MENOLAK PENDAPAT HIZBUT TAHRIR: Menyelami Pandangan Yusuf Qardhawi Dalam "FIQIH JIHAD"



Oleh: Ramdan Nugraha

Pada kesempatan kali ini saya ingin kembali mengutip beberapa paragraf lengkap yang redaksinya tidak saya tambahi atau saya kurangi sesuai dengan teks aslinya. Buku yang menjadi rujukan kali ini adalah FIQIH JIHAD karya Yusuf Qardhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara sah. Paragraf yang akan saya kutip masih tentang kesadaran kita untuk tidak menjadi pemberontak negara dengan memperdagangkan nama Tuhan sebagai legitimasi aksi-aksi pemberontakan baik yang bersifat fisik maupun pemikiran.
Kali ini pembahasan lebih difokuskan pada makna jihad menurut Al-Qur’an dan Sunnah yang membantah paradigma berfikir salah satu gerakan Islam kontemporer transnasional bernama Hizbut Tahrir yang dilihat dari pandangan pendirinya Taqiyuddin Al-Nabhani yang memahami perjuangan  Rasulullah sebagai perjuangan ofensif termasuk pada tataran penyebaran Islam pada masanya dan ijtihad pemahaman ini di terjemahkan oleh seorang intelektual muslim ternama yaitu Yusuf Qardhawi.  Berikut kutipan paragraf yang saya kutip dari buku yang cukup tebal ini dengan jumlah halaman sebanyak 1227.

Menolak Pendapat Hizbut Tahrir

“Masih dalam konteks sebelumnya, Syaikh Al-Ghazali mengatakan, “Ambillah sebuah contoh yang lain:

‘Setelah 10 tahun menanggung aniaya dan kesedihan, Nabi Saw. beserta orang-orang yang beriman kepadanya diusir dari Makkah.
Setelah hijrah pun, permusuhan Quraisy terhadap Islam belum mereda, bahkan orang yang berani menampakkan keislamannya secara terang-terangan di Makkah, kelak akan ditimpa malapetaka. Di antara doa orang-orang yang lemah dan diuji adalah, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu (QS Al-Nisa’ [4]: 75).

Karena itu, apakah masih bisa dikatakan bahwa perang yang dilakukan kaum Muslim terhadap orang-orang musyrik itu sebagai perang ofensif?
Sebagaimana diketahui, Kerajaan Romawi itu telah tersebar di Asia dan Afrika layaknya belalang yang hinggap di daun yang hijau dan yang kering. Penjajahan Romawi itu penuh dengan tirani, kekejaman, dan arogansi.
Romawi telah memeluk Kristen dan mengubahnya cenderung seperti paganisme, serta mengusir bahkan memusnahkan gereja-gereja yang masih menganut monoteisme. Ketika Islam muncul, Romawi menghalangi jalannya dan tidak memberi kebebasan untuk bergerak, serta memeranginya di sebelah utara jazirah agar dapat melenyapkannya!
Apakah perlawanan kaum Muslim terhadap Romawi dan penghancuran kekuatan yang sudah dibangun itu disebut dengan perang ofensif, yang lahir dari keinginan Islam untuk menyebarkan agamanya? Apakah hak agama yang baru untuk menyampaikannya kepada semua manusia, layak dipandang sebagai kejahatan? Bukankah penolakan mereka dengan membungkam mulut dan menebar fitnah layak dipandang sebagai bentuk penistaan dan penghinaan terhadap agama Allah?
Dengan keputusan yang nyata ini, seorang ketua organisasi Islam menulis dalam buletin yang sangat panjang kepada anggota organisasinya, “Sesungguhnya Islam dimulai dengan perangdan merencanakan serangan terhadap musuh-musuhnya.”
Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani rahimahullah berkata, “Sesungguhnya perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. menunjukkan dengan jelas bahwa jihad adalah mendahului orang-orang kafir dalam peperangan untuk mengakkan kalimat Allah dan menyebarkan Islam. Sesungguhnya Rasulullah Saw. pergi ke Badar untuk memerangi kafilah Quraisy dan beliau adalah pihak yang mendahului perang tersebut. Quraisy adalah sebuah negara dan tidak menyerang terlebih dahulu kepada Rasul atau ke Madinah, sehingga beliau harus melawannya. Bahkan, beliaulah yang memulai peperangan itu!”

Persepsi terhadap fakta-fakta seperti ini lebih menyerupai lelucon menggelikan yang mengada-ada ketimbang sebagai sebuah pernyataan. Saya tidak tahu bagaimana mungkin di dalam otak manusia ada pikiran bahwa orang-orang yang mengusir bangsa lainnya dari negeri mereka sendiri dan mengintimidasi keyakinan mereka, tidak dinilai sebagai bentuk kejahatan dan permusuhan yang layak dilawan?
Ketua Hizbut Tahrir Al-Islami mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Saw. mengirim pasukan ke Mu’tah untuk memerangi Romawi dan ke Tabuk mendekati perbatasan Romawi. Karena itu, jelaslah bahwa beliau yang pertama kali memerangi mereka.”
Perkataan ini sangatlah aneh. Dengan logika yang menakjubkan ini dapat dikatakan bahwa perang yang dilakukan bangsa kulit hitam di Afrika Selatan sekarang sebagai perang ofensif, dan pertempuran yang dilakukan oleh Palestina melawan negara Israel itu sebagai perang ofensif. Bagaimana mungkin?
Pikiran menyesatkan seperti ini nyata-nyata harus disingkirkan dari setiap Muslim. Ironisnya, pemikiran semacam ini justru tumbuh di kalangan orang-orang Islam sendiri.
Yang dibutuhkan Islam hanyalah iklim yang bebas agar orang-orang yang ingin masuk ke dalamnya dapat menentukan sendiri keyakinannya, dalam suasana damai tanpa halangan dan gangguan. Kita tidak boleh memaksa seorang pun untuk memeluk Islam, dan Islam tidak menerima keimanan yang terpaksa.”

Begitulah kutipan dari apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi terkait pandangannya pada gerakan yang secara awam memahami makna jihad dalam Islam. Hizbut Tahrir lahir dari pemahaman pendirinya yang kurang tepat namun dijadikan falsafah gerakan yang dianggap paling benar. Sehingga tidak akan asing ketika banyak syababnya yang mudah sekali menjastifikasi kekafiran sesama saudara Muslim hanya karena berbeda pandangan terkait memaknai nilai dan makna Al-Qur’an yang kaya itu, terutama mereka yang tidak tergabung secara baku dalam organisasi yang didirikan Taqiyuddin Al-Nabhani itu. Terlihat jelas Hizbut Tahrir menjadi gerakan penghambat persatuan umat Islam karena arogansinya dalam memonopoli kebenaran hukum Allah seakan ijtihad dan pemikiran mereka saja yang paling diterima oleh Allah, dan itu jelas sekali sangat kontradiktif dengan misi besarnya yaitu menyatukan umat dalam payung besar khilafah yang tampaknya semakin jauh dari kenyataan.
Semoga kita semua tetap berpegang pada nilai otentik Islam yang bisa diinterpretasi secara kontekstual dan tidak bertentangan dengan zaman, namun sejalan seiring dalam satu harmoni yang indah. Amin

No comments: