Oleh: Ramdan Nugraha
Bismillaahirrohmaanirrohiim
A. Al-Qur’an Bukanlah Jimat Para
Dukun
Tulisan ini saya buat berdasarkan timbulnya perbedaan pandangan terkait
dengan pemberian hadiah “pahala” untuk orang yang telah tiada. Sebagian
golongan di Indonesia mengatakan bahwa membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an yang
kemudian pahala membacanya dapat dikirimkan kepada orang yang telah tiada,
namun sebagian besar lainnya memiliki perbedaan tafsir bahwa tidak akan sampai
pahala dari amalan yang dikerjakan oleh orang yang masih hidup yang kemudian
dikirim kepada orang yang telah wafat. Tulisan ini tidak dibuat untuk tujuan
provokatif, namun lebih kepada hal-hal yang mungkin belum difahami atau memang
kebenaran yang disembunyikan sejak lama.
Pada hakikatnya, Alloh menurunkan beberapa kitab suci untuk manusia, Zabur,
Taurot, Injil, dan Al-Qur’an. Ketiga kitab sebelum Al-Qur’an itu dikirim
sebagai “problem solving” terkait dengan masalah-masalah yang timbul dikalangan
masyarakat saat itu yang menjadi tugas para nabi Alloh untuk memberikan berita
akan kebenaran yang harus dijalani tanpa terkecuali. Namun sifat dari ketiga
kitab suci itu adalah insidental atau temporari, mengapa demikian? Karena
ketiga kitab itu memang diturunkan untuk menyelesaikan perkara-perkara pada
saat itu dan aturan-aturan dalam kitab-kitab tersebut berlaku dan lebih
diprioritaskan untuk zaman tersebut. Salah bila orang mengatakan “jangan pernah
baca kitabnya orang kafir seperti Injil”. Orang yang mengatakan demikian tidak
menyadari bahwa kitab tersebut masih diturunkan oleh Alloh untuk nabi-Nya
bernama Isa a.s., begitupun kitab-kitab lainnya.
Kedatangan Rasululloh Muhammad s.a.w. ke bumi menjadi titik terang diantara
gelapnya kehidupan manusia saat itu yang dipenuhi maksiat dan segala hal buruk
yang telah menjadi lumrah dilakukan penduduknya yang dikenal dengan zaman
“zahiliyah” atau zaman kebodohan. Muhammad s.a.w dibekali beberapa kemampuan
yang secara langsung diberikan oleh Alloh terhadapnya yang kita kenal sebagai
“mukjijat”. Diantara mukjijatnya yang menjadi cahaya untuk manusia hinggga
akhir zaman adalah kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan secara
berangsur-angsur, ayat demi ayat yang kemudian dibukukan demi menjaga
kelengkapan kalimat-kalimat Alloh tersebut dan menjadi “guidance” umat Islam
diseluruh dunia sampai hari akhir nanti, aamiin.
Pertanyaan mendasar terkait diturunkannya Al-Qur’an sekarang adalah: Apakah
Alloh menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan “jimat”, lalu dikenakan pada anak-anak
dan orang-orang sakit? Apakah Alloh menurunkan Al-Qur’an untuk dibacakan kepada
mayit dikuburan-kuburan dan dijadikan oleh orang-orang yang dianggap syaikh
sebagai sarana untuk merampas harta orang lain dengan cara yang tidak benar?
Apakah Al-Qur’an diturunkan agar para pembohong menulisnya di wadah-wadah
supaya orang-orang lemah dan para korban sihir meminum airnya? Apakah Al-Qur’an
diturunkan supaya para pemalas dan pengangguran membacanya ditengah jalan untuk
meminta-minta? Apakah Dia menurunkan Al-Qur’an agar para dukun menjadikannya
sebagai mantra dan berteriak di pintu-pintu masjid, “ayat kursi, surat
Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, surat An-Nas dan ayat lain yang bisa mendatangkan
keselamatan dihargai sekian rupiah? Apakah Dia menurunkan Al-Qur’an agar para
penyanyi melagukannya, sedangkan para pendengarnya memukul alat musik sambil
berteriak kegirangan seakan-akan mereka berada ditempat hiburan? Apakah Dia
menurunkan Al-Qur’an setelah generasi pertama umat Islam berhasil menaklukan
dunia, namun hari ini diletakkan di sudut ruangan yang gelap dan tertimbun debu?
Sungguh kalaupun semua umat Islam menangis tersedu, air mata mereka tak
akan mampu menggantikan kekecewaan para pejuang Islam yang telah syahid membela
agama Alloh ini dengan semua yang mereka miliki. Dan demi Alloh Al-Qur’an tidak
diturunkan untuk semua bentuk kesesatan diatas tadi. Rasululloh bersabda “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian
sesuatu. Selama kalian berpegang teguh terhadapnya, maka kalian tidak akan
pernah tersesat. Sesuatu itu adalah Kitabulloh dan sunnah Nabi-Nya.” (H.R.
Al-Hakim dan sanadnya hasan)
B. Kiriman Pahala Untuk Mayit (orang
yang telah wafat)
Seorang mayit (orang yang telah wafat) bisa mendapatkan manfaat dari semua
hal yang telah ditetapkan syariat Islam dalam Al-Qqur’an dan tuntunan
Rasul-Nya. Dalam sebuah hadist shahih Rasululloh bersabda; “Apabila seseorang wafat, maka terputuslah
amalannya kecuali tiga perkara, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bisa
diperoleh manfaatnya, dan anak sholih yang senantiasa mendoakannya.”
Apabila umat Islam bersama syaikh-syaikhnya dapat berpikir jernih dan mulai
menerima pendapat dan tafsir yang benar dan juga mengesampingkan ego mereka
untuk bertahan dengan tafsir yang mereka sendiri tahu bahwa itu salah, maka
sabda Rasululloh diatas sudah lebih dari cukup untuk menginterpretasikan sampai
tidaknya pahala membaca ayat-ayat dalam tahlilan di masyarakat Indonesia.
Salah satu kalimat Alloh menjelaskan: “Bahwasannya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(An-Najm [53]:39)
Ibnu Katsir selanjutnya berkata; “Dari ayat yang mulya ini, Imam
Asy-Syafi’i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an
tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah wafat karena bukan berasal dari
amal dan usaha mereka. Tidak ada pula riwayat dari seorang sahabatpun yang
melakukan hal itu. Seandainya perbuatan itu baik, tentulah mereka lebih dulu
melakukannya daripada kita. Namun mengapa golongan yang mengklaim diri mereka
mengikuti Rasulullah melakukan hal-hal hasil pemikiran dan tafsir sendiri yang
tidak bersumber dari Al-Qur’an dan sunahnya.
“Tidaklah seseorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri. Seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An’am [6]: 164)
Di akhir surat Al-An’am, setelah mengemukakan pembahasan panjang, Rasyid
Ridha berkata, “Sesungguhnya semua perbuatan yang biasa dilakukan orang, yaitu
membaca Al-Qur’an dan dzikir lalu mempersembahkan pahalanya untuk mayit,
mengupah orang untuk itu, dan memberikan waqaf untuk keperluan itu adalah
bid’ah dan tidak sesuai syariat.” Seandainya perbuatan tersebut mempunyai dasar
dalam Islam, tentu para ulama salaf mengetahuinya. Seandainya mereka
mengetahuinya, tentu mereka tidak akan menyepelekan pelaksanaannya.
Salah seorang ulama ahli hadist, Ad-Daruquthni mengatakan; “ Ketahuilah
bahwa membacakan surat Al-Fatihah kepada mayit, seperti yang sangat populer
dikalangan masyarakat, tidak disebutkan dikalangan dalam hadist shahih maupun
dha’if. Hal itu termasuk bid’ah yang menyelisihi syariat berdasarkan nash-nash
qath’i terdahulu. Akan tetapi perbuatan itu menjadi populer seiring diamnya
orang-orang yang mengenakan pakaian ulama, persetujuan mereka terhadapnya,
melalui sunah-sunah muakkadah atau kewajiban-kewajiban yang pasti.”
Dia pun berkata bahwa perkara-perkara ibadah harus dilandaskan kepada
nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah serta amalan generasi pertama salafus shalih.
Dan semua hal itu telah dinyatakan bahwa di akhirat nanti manusia hanya akan
diberi pahala berdasarkan perbuatan mereka, bukan pahala hasil kiriman dari
orang-orang hidup yang membacakan ayat-ayat Alloh dalam acara tahlilan.
Rasyid Ridha menukil riwayat dari Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa dia ditanya
mengenai orang yang membaca Al-Qur’an kemudian berkata dalam doanya; “Ya Alloh,
jadikanlah pahala bacaanku sebagai tambahan kemuliaan tuan kami Rasulullah”.
Ibnu Hajar menjawab, “ini merupakan perkara yang diada-adakan oleh orang-orang
yang membaca Al-Qur’an dari generasi belakangan.”
Banyak orang yang dianggap syaikh padahal mereka tidak memahami makna ayat
Al-Qur’an yang mulia. Mereka tidak memahami ayat:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah.” (Al-Hasyr [59]:
7)
Mereka tidak memahami hadist shahih:
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang tidak ada perintah kami terhadapnya, maka amalan itu tertolak”
C. Pendapat Empat Imam Madzhab
1. Madzhab Abu Hanifah
Dalam kitab Al-Fiqh Al-Akbar karya Imam Ali Al-Qari Al-Hanafi, h. 110
disebutkan: “kemudian membaca Al-Qur’an di kuburan adalah makruh menurut Abu
Hanifah, Malik, dan Ahmad dalam sebuah riwayat, sebab perbuatan itu adalah
bid’ah dan tidak dikemukakan oleh sunnah.
2. Madzhab Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i mengemukakan dalil mengenai tidak sampainya pahala bacaan
Al-Qur’an dengan ayat:
“Bahwasannya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm [53]: 39). Dan
juga hadist: “apabila seorang mati, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang senantiasa
mendoakannya”.
Ketika menjelaskan hadist tersebut, Imam An-Nawawi berkata; “mengenai
membaca Al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengerjakan sholat
atas namanya, dan semisalnya, maka Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat
bahwa semua itu tidak akan sampai kepada mayit.
3. Madzhab Malikiyah
Syaikh ibnu Abi Jamrah berkata; “membaca Al-Qur’an di kuburan adalah bid’ah
dan bukan sunnah”. Sementara itu, Syaikh Ad-Dardiri berkata dalam kitab
Asy-Syarh Ash-Shagir (Juz 1 hlm.180); “Makruh
membaca ayat Al-Qur’an ketika seorang meninggal maupun setelahnya di kuburan,
karena hal itu tidak dilakukan oleh generasi salaf. Yang mereka lakukan
hanyalah berdoa untuk memohonkan ampun dan rahmat serta memberi nasihat.”
4. Madzhab Hanbali
Imam Abul Hasan Al-Ba’li berkata dalam Al-Ikhtiyarat, “tidak sah mengupah
seseorang untuk membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit.
Sebab, tidak ada riwayat dari seorang ulama pun mengenai adanya izin untuk
perkara itu.”
Para ulama berkata; “apabila seseorang membaca Al-Qur’an dengan tujuan agar
mendapatkan harta, maka dia tidak akan memperoleh pahala. Lantas apa yang bisa
dihadiahkan kepada mayit?”. Akan tetapi yang sampai kepada mayit hanyalah amal
sholih.
Demikian sedikit referensi terkait sampai tidaknya pahala membaca Al-Qur’an
untuk orang yang telah wafat. Pahala bukanlah layaknya uang yang bisa di
transfer untuk menolong kerabat yang kesulitan. Kebenaran tidak perlu lagi
diperdebatkan, namun alangkah baiknya dicerna dan dimengerti secara mendalam.
Praktik sunnah dikatakan bid’ah, namun hal-hal yang mutlak bid’ah malah
dikatakan sunnah. Sungguh Rasulullah akan merasa sedih melihat kerusakan aqidah
umatnya terutama di Indonesia. Sekalipun peradaban Indonesia dibangun oleh
kepercayaan animisme dan dinamisme kemudian berkembang menjadi Hindu dan Budha,
namun semua itu sudah sepatutnya diluruskan oleh Islam tanpa adanya
ritual-ritual dan kepercayaan serapan dari kepercayaan kuno sebelum Islam
datang sebagai pencerah. Wallohu’alam bissowab.
No comments:
Post a Comment