Wednesday 9 April 2014

Bid'ah Tetapi Lumrah

Oleh: Ramdan Nugraha

Bismillaahirrohmaanirrohiim

A. Al-Qur’an Bukanlah Jimat Para Dukun
Tulisan ini saya buat berdasarkan timbulnya perbedaan pandangan terkait dengan pemberian hadiah “pahala” untuk orang yang telah tiada. Sebagian golongan di Indonesia mengatakan bahwa membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an yang kemudian pahala membacanya dapat dikirimkan kepada orang yang telah tiada, namun sebagian besar lainnya memiliki perbedaan tafsir bahwa tidak akan sampai pahala dari amalan yang dikerjakan oleh orang yang masih hidup yang kemudian dikirim kepada orang yang telah wafat. Tulisan ini tidak dibuat untuk tujuan provokatif, namun lebih kepada hal-hal yang mungkin belum difahami atau memang kebenaran yang disembunyikan sejak lama.

Pada hakikatnya, Alloh menurunkan beberapa kitab suci untuk manusia, Zabur, Taurot, Injil, dan Al-Qur’an. Ketiga kitab sebelum Al-Qur’an itu dikirim sebagai “problem solving” terkait dengan masalah-masalah yang timbul dikalangan masyarakat saat itu yang menjadi tugas para nabi Alloh untuk memberikan berita akan kebenaran yang harus dijalani tanpa terkecuali. Namun sifat dari ketiga kitab suci itu adalah insidental atau temporari, mengapa demikian? Karena ketiga kitab itu memang diturunkan untuk menyelesaikan perkara-perkara pada saat itu dan aturan-aturan dalam kitab-kitab tersebut berlaku dan lebih diprioritaskan untuk zaman tersebut. Salah bila orang mengatakan “jangan pernah baca kitabnya orang kafir seperti Injil”. Orang yang mengatakan demikian tidak menyadari bahwa kitab tersebut masih diturunkan oleh Alloh untuk nabi-Nya bernama Isa a.s., begitupun kitab-kitab lainnya.

Kedatangan Rasululloh Muhammad s.a.w. ke bumi menjadi titik terang diantara gelapnya kehidupan manusia saat itu yang dipenuhi maksiat dan segala hal buruk yang telah menjadi lumrah dilakukan penduduknya yang dikenal dengan zaman “zahiliyah” atau zaman kebodohan. Muhammad s.a.w dibekali beberapa kemampuan yang secara langsung diberikan oleh Alloh terhadapnya yang kita kenal sebagai “mukjijat”. Diantara mukjijatnya yang menjadi cahaya untuk manusia hinggga akhir zaman adalah kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur, ayat demi ayat yang kemudian dibukukan demi menjaga kelengkapan kalimat-kalimat Alloh tersebut dan menjadi “guidance” umat Islam diseluruh dunia sampai hari akhir nanti, aamiin.

Pertanyaan mendasar terkait diturunkannya Al-Qur’an sekarang adalah: Apakah Alloh menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan “jimat”, lalu dikenakan pada anak-anak dan orang-orang sakit? Apakah Alloh menurunkan Al-Qur’an untuk dibacakan kepada mayit dikuburan-kuburan dan dijadikan oleh orang-orang yang dianggap syaikh sebagai sarana untuk merampas harta orang lain dengan cara yang tidak benar? Apakah Al-Qur’an diturunkan agar para pembohong menulisnya di wadah-wadah supaya orang-orang lemah dan para korban sihir meminum airnya? Apakah Al-Qur’an diturunkan supaya para pemalas dan pengangguran membacanya ditengah jalan untuk meminta-minta? Apakah Dia menurunkan Al-Qur’an agar para dukun menjadikannya sebagai mantra dan berteriak di pintu-pintu masjid, “ayat kursi, surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, surat An-Nas dan ayat lain yang bisa mendatangkan keselamatan dihargai sekian rupiah? Apakah Dia menurunkan Al-Qur’an agar para penyanyi melagukannya, sedangkan para pendengarnya memukul alat musik sambil berteriak kegirangan seakan-akan mereka berada ditempat hiburan? Apakah Dia menurunkan Al-Qur’an setelah generasi pertama umat Islam berhasil menaklukan dunia, namun hari ini diletakkan di sudut ruangan yang gelap dan  tertimbun debu?

Sungguh kalaupun semua umat Islam menangis tersedu, air mata mereka tak akan mampu menggantikan kekecewaan para pejuang Islam yang telah syahid membela agama Alloh ini dengan semua yang mereka miliki. Dan demi Alloh Al-Qur’an tidak diturunkan untuk semua bentuk kesesatan diatas tadi. Rasululloh bersabda “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu. Selama kalian berpegang teguh terhadapnya, maka kalian tidak akan pernah tersesat. Sesuatu itu adalah Kitabulloh dan sunnah Nabi-Nya.” (H.R. Al-Hakim dan sanadnya hasan)


B. Kiriman Pahala Untuk Mayit (orang yang telah wafat)
Seorang mayit (orang yang telah wafat) bisa mendapatkan manfaat dari semua hal yang telah ditetapkan syariat Islam dalam Al-Qqur’an dan tuntunan Rasul-Nya. Dalam sebuah hadist shahih Rasululloh bersabda; “Apabila seseorang wafat, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bisa diperoleh manfaatnya, dan anak sholih yang senantiasa mendoakannya.” Apabila umat Islam bersama syaikh-syaikhnya dapat berpikir jernih dan mulai menerima pendapat dan tafsir yang benar dan juga mengesampingkan ego mereka untuk bertahan dengan tafsir yang mereka sendiri tahu bahwa itu salah, maka sabda Rasululloh diatas sudah lebih dari cukup untuk menginterpretasikan sampai tidaknya pahala membaca ayat-ayat dalam tahlilan di masyarakat Indonesia.

Salah satu kalimat Alloh menjelaskan: “Bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm [53]:39)

Ibnu Katsir selanjutnya berkata; “Dari ayat yang mulya ini, Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah wafat karena bukan berasal dari amal dan usaha mereka. Tidak ada pula riwayat dari seorang sahabatpun yang melakukan hal itu. Seandainya perbuatan itu baik, tentulah mereka lebih dulu melakukannya daripada kita. Namun mengapa golongan yang mengklaim diri mereka mengikuti Rasulullah melakukan hal-hal hasil pemikiran dan tafsir sendiri yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan sunahnya.

“Tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri. Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An’am [6]: 164)

Di akhir surat Al-An’am, setelah mengemukakan pembahasan panjang, Rasyid Ridha berkata, “Sesungguhnya semua perbuatan yang biasa dilakukan orang, yaitu membaca Al-Qur’an dan dzikir lalu mempersembahkan pahalanya untuk mayit, mengupah orang untuk itu, dan memberikan waqaf untuk keperluan itu adalah bid’ah dan tidak sesuai syariat.” Seandainya perbuatan tersebut mempunyai dasar dalam Islam, tentu para ulama salaf mengetahuinya. Seandainya mereka mengetahuinya, tentu mereka tidak akan menyepelekan pelaksanaannya.

Salah seorang ulama ahli hadist, Ad-Daruquthni mengatakan; “ Ketahuilah bahwa membacakan surat Al-Fatihah kepada mayit, seperti yang sangat populer dikalangan masyarakat, tidak disebutkan dikalangan dalam hadist shahih maupun dha’if. Hal itu termasuk bid’ah yang menyelisihi syariat berdasarkan nash-nash qath’i terdahulu. Akan tetapi perbuatan itu menjadi populer seiring diamnya orang-orang yang mengenakan pakaian ulama, persetujuan mereka terhadapnya, melalui sunah-sunah muakkadah atau kewajiban-kewajiban yang pasti.”

Dia pun berkata bahwa perkara-perkara ibadah harus dilandaskan kepada nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah serta amalan generasi pertama salafus shalih. Dan semua hal itu telah dinyatakan bahwa di akhirat nanti manusia hanya akan diberi pahala berdasarkan perbuatan mereka, bukan pahala hasil kiriman dari orang-orang hidup yang membacakan ayat-ayat Alloh dalam acara tahlilan.

Rasyid Ridha menukil riwayat dari Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa dia ditanya mengenai orang yang membaca Al-Qur’an kemudian berkata dalam doanya; “Ya Alloh, jadikanlah pahala bacaanku sebagai tambahan kemuliaan tuan kami Rasulullah”. Ibnu Hajar menjawab, “ini merupakan perkara yang diada-adakan oleh orang-orang yang membaca Al-Qur’an dari generasi belakangan.”

Banyak orang yang dianggap syaikh padahal mereka tidak memahami makna ayat Al-Qur’an yang mulia. Mereka tidak memahami ayat:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah.” (Al-Hasyr [59]: 7)
Mereka tidak memahami hadist shahih:
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami terhadapnya, maka amalan itu tertolak


C. Pendapat Empat Imam Madzhab

1. Madzhab Abu Hanifah
Dalam kitab Al-Fiqh Al-Akbar karya Imam Ali Al-Qari Al-Hanafi, h. 110 disebutkan: “kemudian membaca Al-Qur’an di kuburan adalah makruh menurut Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad dalam sebuah riwayat, sebab perbuatan itu adalah bid’ah dan tidak dikemukakan oleh sunnah.

2. Madzhab Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i mengemukakan dalil mengenai tidak sampainya pahala bacaan Al-Qur’an dengan ayat:
Bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm [53]: 39). Dan juga hadist: “apabila seorang mati, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang senantiasa mendoakannya”.
Ketika menjelaskan hadist tersebut, Imam An-Nawawi berkata; “mengenai membaca Al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengerjakan sholat atas namanya, dan semisalnya, maka Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa semua itu tidak akan sampai kepada mayit.

3. Madzhab Malikiyah
Syaikh ibnu Abi Jamrah berkata; “membaca Al-Qur’an di kuburan adalah bid’ah dan bukan sunnah”. Sementara itu, Syaikh Ad-Dardiri berkata dalam kitab Asy-Syarh Ash-Shagir (Juz 1 hlm.180); “Makruh membaca ayat Al-Qur’an ketika seorang meninggal maupun setelahnya di kuburan, karena hal itu tidak dilakukan oleh generasi salaf. Yang mereka lakukan hanyalah berdoa untuk memohonkan ampun dan rahmat serta memberi nasihat.”

4. Madzhab Hanbali
Imam Abul Hasan Al-Ba’li berkata dalam Al-Ikhtiyarat, “tidak sah mengupah seseorang untuk membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit. Sebab, tidak ada riwayat dari seorang ulama pun mengenai adanya izin untuk perkara itu.”
Para ulama berkata; “apabila seseorang membaca Al-Qur’an dengan tujuan agar mendapatkan harta, maka dia tidak akan memperoleh pahala. Lantas apa yang bisa dihadiahkan kepada mayit?”. Akan tetapi yang sampai kepada mayit hanyalah amal sholih.

Demikian sedikit referensi terkait sampai tidaknya pahala membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah wafat. Pahala bukanlah layaknya uang yang bisa di transfer untuk menolong kerabat yang kesulitan. Kebenaran tidak perlu lagi diperdebatkan, namun alangkah baiknya dicerna dan dimengerti secara mendalam. Praktik sunnah dikatakan bid’ah, namun hal-hal yang mutlak bid’ah malah dikatakan sunnah. Sungguh Rasulullah akan merasa sedih melihat kerusakan aqidah umatnya terutama di Indonesia. Sekalipun peradaban Indonesia dibangun oleh kepercayaan animisme dan dinamisme kemudian berkembang menjadi Hindu dan Budha, namun semua itu sudah sepatutnya diluruskan oleh Islam tanpa adanya ritual-ritual dan kepercayaan serapan dari kepercayaan kuno sebelum Islam datang sebagai pencerah. Wallohu’alam bissowab.

No comments: